CakNun.com

Gandhie, Praktisi Disiplin Yang Sebenarnya

Fahmi Agustian
Waktu baca ± 7 menit

Singkat. Padat. Jelas. Dan saya hanya bisa menjawab: Oke. Pada beberapa percakapan dengan Gandhie memang seringkali seperti itu. Tidak bertele-tele. Kecuali memang Gandhie mengajak diskusi, dan selalu diawali dengan kalimat: Mi, selo ra? Kalau Gandhie di awal sudah menanyakan seperti itu, maka ada sesuatu yang perlu dibahas dengan serius. Entah hanya lewat chat atau call. Tapi sekarang sudah tidak akan ada lagi chat atau call dari Gandhie.

Sebenarnya saya belum semangat nulis tentang Gandhie. Terlalu banyak kenangan yang saya rekam. Baru kali ini saya merasakan patah hati sesakit ini. Gagal dalam percintaan itu biasa, patah hatinya ya begitu saja. Tapi, ditinggal Gandhie selamanya, saya ambruk.

Kabar mengagetkan di Senin dinihari kemarin (14/10) benar-benar membuat hari-hari ini terasa hambar. Tidak ada gairah sama sekali. Kamu pergi terlalu cepat, Gandh.

***

Saya sedikit lupa, medio 2009 atau setelahnya. Saat itu, saya mengetahui Kenduri Cinta dari Media Sosial, lewat Hilmy Nugraha, Penggiat Juguran Syafaat. Ia beberapa kali posting tentang Kenduri Cinta di akun Facebook-nya. Saya penasaran, kemudian saya mulai mencari informasi lanjut. Saat itu, Twitter (kini X) mulai booming di Indonesia. Dari akun Twitter, saya mencari Kenduri Cinta, ketemulah tagar khas Kenduri Cinta, sesuai bulannya. Jika Kenduri Cinta bulan Oktober, maka tagarnya adalah #KCOkt. Setelah saya follow Kenduri Cinta di Twitter, saya kemudian mencari akun-akun yang bersinggungan dengan Kenduri Cinta saat itu, sekian akun saya follow, hingga kemudian ketemulah akun @abuzakarkeling.

Beberapa teman-teman KC saat itu sering berbalas mention dengan akun itu. Saya penasaran, siapa dia. Sampai akhirnya, entah informasi dari siapa, saya akhirnya mengetahui bahwa akun itu adalah milik Gandhie. Yang kemudian di Facebook pun saya temukan akun Abu Zakar Keling. Saat itu WhatsApp belum banyak penggunanya, Blackberry Messenger masih menjadi raja. Hingga suatu hari, saya memberanikan diri mengontak si @abuzakarkeling itu untuk meminta Pin BBM melalui DM Twitter. Sayangnya record DM itu saya cari sudah tidak ada.

Tersambunglah saat itu saya dengan Gandhie melalui BBM, hingga medio 2014 kalau tidak salah. Bahkan, suatu kali device Blackberry saya nge-hang, saya minta bantuan Gandhie untuk menginstall ulang OS-nya. Di suatu malam, di Sevel Mampang, sebelah Trans TV. Salah satu tempat cangkruk favorit dengan Gandhie saat itu. Oiya, bukan hanya dengan saya dan teman-teman KC seperti Tri, Nink atau Amien. Tapi juga dengan siapa saja yang nyambung dengan Gandhie, sering diajak untuk nyangkruk bareng di Sevel. Tempat lain yang juga favorit untuk nyangkruk adalah Angkringan Mampang, dekat dengan kos-kosannya Gandhie.

Pertama kali ketemu Gandhie, di Mocopat Syafaat kalau tidak salah, antara 2011 atau 2012. Karena saat itu dia ngajak cewek, mungkin yang saat itu sedang didekati. Hanya sekilas saja bertemu, dan saya ledekin, “Sopo kuwi, Bung?”, tidak dijawab tentu saja oleh Gandhie. Kelakuan teman-teman dekatnya Gandhie emang kurang ajar nakalnya. Kalau Gandhie dekat dengan seorang perempuan, pasti ada aja yang gangguin. Zaman era Facebook dulu, begitu Gandhie dekat dengan seorang perempuan, teman-teman Gandhie yang lain tau-tau udah nongkrong aja di Facebook si perempuan itu, dan sudah ada yang ngirim pesan di inbox. Kurang ajar emang.

Singkat cerita, September 2013 saya ke Jakarta dan diterima kerja di sebuah perusahaan. Kebetulan saat itu penempatan kerjanya pun masih di Gambir, dekat dengan Cikini. Praktis setiap Rabu malam, selepas pulang kerja saya mampir ke TIM untuk Reboan.

Sebelumnya, kenapa saya bisa dekat dengan Gandhie ya karena saat itu, ketika pertama kali mengenal Kenduri Cinta saya menikmati Reportasenya setiap bulan. Dari situ saya coba-coba menulis reportase untuk Mocopat Syafaat dan beberapa Maiyahan kalau pas ada Maiyahan di Yogyakarta. Setelahnya, saya diminta untuk menulis reportase Maiyahan di tempat lain. Gandhie biasanya mengirim file rekaman audio melalui Google Drive, kemudian saya proses verbatim lalu dipoles oleh Gandhie sebelum tayang di website, baik kenduricinta.com maupun caknun.com. Proses itu yang kemudian membawa saya menjadi lebih intens berkolaborasi dengan Gandhie.

Apakah itu password bagi saya untuk kemudian bisa dekat dengan Cak Nun? Tentu saja TIDAK. Seperti yang sudah kalian baca di tulisan-tulisan lain, Gandhie memang sangat ketat “menjaga” Cak Nun agar tidak sembarangan orang bisa bertemu. Simple saja alasannya, kalau hanya untuk setor kuping, ya pas Maiyahan saja kamu datang, duduk melingkar bersama yang lain. Make sense sih, agar tidak ada pamrih pribadi. Saya ingat, “dinas” pertama saya dengan Gandhie itu di suatu dinihari di tahun 2014. Saya lupa harinya, tapi itu hari kerja.

Jam 1 dinihari, saya di-BBM Gandhie, untuk menuju markas Komunitas Jazz Kemayoran, asuhan alm Beben Jazz. Perintahnya singkat; “Aku di Kemayoran, Kampung Irian, Markas KJK. Segera kesini!”. Tidak ada opsi menolak, tunggu sebentar, atau alasan lain. Saat itu belum ada Gojek, Grab, Maxim dan yang lainnya. Apalagi Uber. Yang ada saya nguber-nguber Bajaj sendiri di sekitaran Paseban, Salemba untuk bisa sampai ke Kemayoran. Dan itu jam 1 dinihari! Dan saat itu, handphone saya masih Blackberry, maps-nya masih belum canggih. Akhirnya nyasar! Dan Gandhie juga tidak share loc lokasinya.

Untungnya, supir Bajaj saat itu paham daerah Kemayoran, saya cuma bilang: “Ke Jl. Kampung Irian, Pak”. Tidak ada kejelasan nomor rumah, tidak ada info cat rumahnya warna apa dari Gandhie. Saya cuma ingat, yang jadi patokan untuk memastikan bahwa saya tidak salah rumah adalah Mobil Nissan XTrail punya Mas Hendra KW yang dipakai Gandhie malam itu. Meskipun juga teplek. Lha wong saya nggak hapal plat nomornya. Alhamdulillah, benar. Dan memang ada Cak Nun di situ sedang ngobrol-ngobrol sama Mas Beben dan juga musisi KJK lainnya. Saya hanya duduk sebentar, lalu tidak seberapa lama kami bergerak menuju bandara karena Cak Nun harus terbang ke Jogja dengan flight pertama pagi itu.

Dan itu era “kere”-nya Gandhie. Kami hanya bisa mengantar Cak Nun ke Bandara, lalu Cak Nun langsung masuk ke ruang tunggu. Benar-benar kere, miskin. Nggak mampu ngajak Cak Nun ngopi di sebuah Cafe di Soetta. Mobil aja pinjem Mas Hendra, sudah pasti BBM dan E-Toll nya juga difasilitasi Mas Hendra. Dan yang punya juga tidak ikut dinas. Bobok nyenyak di kos-kosannya.

Ternyata, itu tes tahap pertama Gandhie ke saya. Saat menuju Bandara, Gandhie yang nyetir. Sepulang dari Bandara, Gandhie minta saya yang nyetir. Dan itu, pertama kalinya saya nyetir mobil matic. Dan benar saja, saat mau mengembalikan Mobil, saya kebablasan, salah pilih exit tol dalam kota. Harusnya keluar di exit Senayan, malah keluar di exit Semanggi. Akhirnya putar balik di Kuningan, untuk menuju Patal Senayan, kosnya Mas Hendra saat itu. Tapi alhamdulillah, ujian nyetirnya lancar. Karena selama perjalanan dari Bandara ke Semanggi, Gandhie tidur nyenyak.

Tes kedua adalah ketika acara di Mizan, Bandung. 21 Agustus 2015. Gandhie meminta saya nyetir sepulang acara, malam hari, dari Bandung ke Jakarta. Alhamdulillah, lulus. Cak Nun di kursi tengah bisa istirahat dan tidur nyenyak sepanjang perjalanan. Setelahnya, Gandhie sering mengajak saya untuk tugas mendampingi Cak Nun ketika berada di Jakarta. Tidak ada alasan hari kerja, weekend atau hari libur. Pokoknya setiap Gandhie mengirim pesan: “Besok tugas.”, ya sudah itu perintah yang tidak bisa ditolak.

Ada kisah konyol tentang cerita jemput-menjemput di Bandara. Suatu hari, saya di Jakarta. Gandhie dan Cak Nun berada di Surabaya karena ada acara Maiyahan Cak Nun dan KiaiKanjeng malam itu, saya lupa di kota mana. Yang jelas, Gandhie dan Cak Nun mengejar pesawat pertama dari Juanda menuju Halim Perdanakusuma. Adalah Wak Mad yang bikin konyol. Sudahlah sedang mengejar pesawat pertama, Wak Mad maksa untuk mampir dulu ke rumah. Entah kenapa saat itu Gandhie tidak bisa menolak ajakan Wak Mad. Benar saja, sampai Juanda sudah terlambat. Pintu boarding sudah ditutup. Gandhie dan Cak Nun tidak bisa ikut pesawat pertama menuju Halim.

“Asu! Ketinggalan pesawat!”, saya menerima pesan itu saat saya baru saja memarkir mobil di Halim. Singkat cerita, Gandhie segera mencari tiket pesawat lain, hanya jadwal terdekat bukan menuju Halim, tetapi Soetta, Cengkareng!

“Oke, tiket lock!”. Setelah menerima pesan itu, saya bergegas meluncur dari Halim menuju Soetta. Untungnya tidak ketinggalan pesawat lagi, Gandhie bersama Cak Nun terbang ke Soetta. Rugi double. Tiket hangus, dan jam istirahat berkurang. Sepanjang perjalanan dari Soetta menuju lokasi istirahat, Gandhie muring-muring. Tapi saya bisa apa? Wong yang diuring-uring kan Wak Mad, bukan saya!

Kisah konyol kedua. Ini kesalahan saya. Suatu hari, setelah dari Padhangmbulan, saya pulang duluan ke Jakarta naik kereta. Sampai di Jakarta Subuh, kemudian saya bergegas menuju Patal Senayan untuk mengambil mobil Mas Hendra, lalu menuju Soetta menjemput Gandhie dan Cak Nun yang malam sebelumnya ada Maiyahan di Bojonegoro, kalau tidak salah. Tapi saat itu bukan pesawat pertama sepertinya, karena sudah agak siang saya menjemput di Bandara.

Saya salah terminal! Asu!

Gandhie menelepon; “Nang ndi?!”. Saya bingung, aku di 2C. Kemudian saya buka BBM: “Terminal 1C!”. Saya bergegas memacu mobil dari Terminal 2 ke Terminal 1. Sudah pasti bakalan diuntal sepanjang perjalanan dari Bandara menuju lokasi istirahat.

***

Seperti halnya mengenai reportase Maiyahan, hal yang selalu dia tanyakan pada setiap selesai acara. Pasti dia selalu segera mengirim pesan WhatsApp ke saya: “Mi, News dioyak ya”. Padahal, belum juga istirahat setelah acara Kenduri Cinta. Tapi mau protes bagaimana? Gandhie saja setelah KC pasti mengantar Cak Nun ke Bandara, dan setelah dari Bandara dia masih nyetir sendirian ke Bogor. Belum lagi pasca pandemi lalu. Atas pertimbangan banyak hal, Gandhie memilih menjemput Cak Nun di Jogja dan mendampingi. Sudah biasa bagi Gandhie, dari Jakarta naik Kereta malam hari, lalu sampai di stasiun Tugu jam 3, kemudian Mas Agus jemput di stasiun, lalu Cak Nun sudah stand by di rumah, tidak berapa lama kemudian berangkat lagi ke Bandara untuk mengejar flight pertama menuju Jakarta.

Setelah sampai Jakarta, seharian mendampingi Cak Nun, kemudian acara Kenduri Cinta. Selesai acara KC, Gandhie bersama Cak Nun menuju Bandara, mobilnya ia parkir di Bandara, kemudian Gandhie mengantar Cak Nun hingga Jogja. “Mendarat Jogja”. Itu adalah hal yang biasa ia kabarkan. Tidak ada orang selain Gandhie yang sangat telaten mengabarkan semua informasi. Sekecil informasi bahwa ia sudah sampai di Jogja. Hal yang mungkin bagi kita biasa saja. Tapi, Gandhie sangat rajin untuk mengabarkan hal itu. Baginya, menikmati dan mensyukuri proses perjalanan itu harus dilakukan, diimplementasikan.

Setelah sampai Jogja, hanya ada 2 pilihan untuk kembali ke Jakarta, jalur darat dengan kereta atau jalur udara dengan pesawat, dengan biaya yang lebih mahal tentunya. Jika sedang longgar isi dompetnya, ia gunakan untuk membeli tiket pesawat. Dan itu dia biayai dengan uang sendiri. Sudahlah tenaga dan pikiran ia korbankan, penghasilan yang ia dapatkan per bulan pun ia gunakan untuk semua itu. Tiket pesawat hangus? Sudah hal biasa bagi Gandhie. Jangan tanya itu dibayar cash atau pakai credit card. Yang saya tahu, Gandhie pegang tiket untuk operasional. Nggak ada ruang untuk mendiskusikan itu. Bagaimana mungkin saya berani menolak apa yang dia minta hanya untuk menulis reportase?

Setahun terakhir, bukan hanya reportase yang diminta oleh Gandhie. Kurasi video, judul video, caption untuk Instagram, memilih foto untuk diupload di Instagram, dan seterusnya, dan seterusnya. Selain saya, ada Toni yang juga selalu dikejar Gandhie untuk ngedit video, ada Yudi yang juga kena pressure untuk segera mengupload foto. Heri? Bukan dikejar lagi. Ibaratnya, Gandhie sudah sampe pegang lengannya Heri untuk segera menyelesaikan materi desain visual untuk segera diupload di media sosial.

Sekarang, sudah nggak ada lagi yang ngoyak-oyak aku untuk itu semua. Kamu terlalu cepat pergi Gandh. Ada banyak hal yang bakal aku tulis tentang kamu, Gandh. Kamu terlalu spesial untuk dilupakan begitu saja.

Bersambung….

Jakarta, 15-16 Oktober 2024

Lainnya

Topik