CakNun.com

Gandhie, Nama yang Menenangkan Mbah Nun di Philadelphia

Jamal Jufree Ahmad
Waktu baca ± 5 menit

Usai shalat maghrib saya bergegas menuju rumah Mas Adit yang jaraknya hanya beberapa blok dari Masjid Al-Falah. Selama jalan kaki ke sana, berdua bersama Luthfi, kami membahas suasana yang tidak nyaman yang terjadi siang tadi. Sepanjang langkah kaki, kami menyiapkan mental bertemu Mbah Nun.

Mas Adit dan Mbak Irza, istrinya, menyambut kami dan mempersilahkan duduk lesehan di ruang tamu. Mbah Nun dan Ibu Via masih di atas. Kami dan Mas Adit berbincang, sementara Mbak Irza menyiapkan makan malam. Sembari menunggu Mbah Nun dan Ibu Via turun, kami merutuki suasana kacau yang seharusnya berakhir indah dan menyenangkan.

Suasana acara tahun 2015 yang dipersiapkan teman-teman pengurus masjid masyarakat Indonesia selama berbulan-bulan, dengan mengundang Mbah Nun jauh-jauh ke Amerika itu, menjadi rusak oleh seseorang yang mengklaim dirinya ustadz. Dia datang tiba-tiba sehari sebelum acara, diajak oleh salah seorang anggota Dewan Penasehat Masjid yang memaksa melibatkannya dalam pengajian dan fundraising esok pagi, tanpa sebelumnya ada kesepakatan dengan panitia. Orang ini “membajak” acara sejak pertengahan hingga usai.

Mbah Nun dan Ibu Via mengawali sinau bareng khas maiyahan, yang ceria dan riang gembira, yang melibatkan anak-anak dengan tetap penuh ilmu dan hikmah. Orang ini akhirnya kami beri waktu juga untuk ceramah, sebagai selingan. Namun, ternyata dia menyerobot jatah waktu yang seharusnya diperuntukkan kembali untuk Mbah Nun, bahkan lebih lama, sampai hampir menjelang siang.

Terpaksa, walaupun telat, kami menghentikannya. Mbah Nun kami persilahkan lagi untuk mengambil kendali. Tapi suasana hati masyarakat Indonesia yang hadir–bahkan ada yang jauh sekali nyetir dari negara bagian New York yang berbatasan dengan Kanada demi Mbah Nun–terlanjur sudah tidak menyenangkan. Energi yang muncul sudah negatif. Atmosfer bahagia yang dibangun Mbah Nun di awal, telah runtuh. Rasanya sulit dikembalikan lagi. Waktu juga terbatas, karena aula yang kami sewa akan dipakai penyewa lain siang itu. Tak ayal Mbah Nun segera mengakhiri saja dengan doa.

Kami panitia kecewa sekaligus jengkel kepada si ustadz. Namun, tampaknya, urat kepekaannya sudah putus. Eh, dia raih kembali mikrofon dan melanjutkan ceramahnya. Padahal sudah jelas, acara telah ditutup doa. Mbah Nun dan Ibu Via duduk di samping panggung. Wajah beliau sudah tidak enak. Saya merasakan kejengkelan beliau. Saya tidak tega beliau berdua harus mendengarkan orang niradab ini. Saya pun berinisiatif “mengevakuasi” Mbah Nun dan Ibu Via kembali ke rumah Mas Adit dengan diantarkan Pak Didon (allahyarham). Ini juga supaya beliau berdua istirahat. Baru landing kemarin siang, beliau berdua pasti masih jetlag.

Itulah yang kami bahas bertiga di ruang tamu, hampir setengah jam. Mbah Nun dan Ibu Via akhirnya turun. Wajah Mbah Nun masih seperti siang tadi. Dingin dan menakutkan.

Kami duduk lesehan bersama, sambil menyantap rawon andalan Mas Adit dan Mbak Irza, pasangan arek Suroboyo. Saya dan Luthfi tidak berani mengajak Mbah Nun bicara. Kami ini santri pesantren, takut kalau Kyai kami sedang marah. Mas Adit dan Mbak Irza, yang tidak punya problem psikologis santri, bisa leluasa berbincang. Sampailah akhirnya Mbah Nun bertanya ke saya, masih dengan raut wajah dingin dan menakutkan itu, “Nggon kerjomu adoh, Mal?”. Saya jawab secukupnya dengan sedikit penjelasan mengenai pekerjaan saya di Philadelphia.

Usai mendengarkan jawaban saya, Mbah Nun tidak merespons. Diam saja menyantap nasi rawon sambil sesekali membuka hape. Rawon di lidah saya jadi terasa hambar. Saya putar otak, bagaimana caranya mengembalikan mood beliau yang tidak enak, apalagi masih capek. Bayangkan, Mbah Nun berangkat dari Yogya usai subuh setelah Mocopat Syafaat. Belum tidur, beliau langsung ke Jakarta dan lanjut terbang ke Philadelphia via Doha, Qatar. Makbedunduk, Allah memberi saya ilham untuk menyambung perbincangan. Saya setel mode curhat, “Ini dari tadi Mas Gandhie WA saya. Dia tanya terus, Cak, gimana acara tadi. Saya belum jawab. Bingung mau ngomongnya.”

Alhamdulillah. Seketika, wajah Mbah Nun berubah. Sambil senyum dengan energi relaks, Mbah Nun merespons, “Piye… piye, Gandhie piye?” Seketika saya langsung plong. Lezatnya rawon pun kembali terasa. Obrolan kami mengalir. Mbah Nun bahkan mengusulkan, untuk ‘recovery’, diadakan lagi saja pengajian untuk mengobati kekecewaan siang tadi. Kebetulan empat hari lagi Idul Adha. Usai shalat ied di masjid, kami pun maiyahan riang gembira lagi.

Nama Gandhie bagai obat penenang. Nama itu memberi energi positif dan menenangkan Mbah Nun yang jauh dari si empunya nama di belahan bumi sebaliknya. Itu baru namanya, apalagi orangnya. Bagi kami di Progress, bila ada Gandhie di sisi Mbah Nun, kami semua otomatis tenang. Karena Gandhie adalah orang baik kesayangan Mbah Nun.

***

Dua minggu lalu, Gandhie tiba-tiba WA saya, menanyakan jarak antara rumah saya di Chicago ke kota Houston di Texas. Saya berharap pertanyaan itu sebagai isyarat dia ada rencana mau ke sana. Jika iya, saya senang sekali. Tapi ternyata tidak. Dia malah meminta saya untuk sekali-sekali ke sana. Ah, kalau hanya 3 jam perjalan darat, sudah sejak kemarin-kemarin saya pasti ke sana. Masalahnya, 3 jam itu perjalanan udara. Kalau nyetir, minimal harus 16 jam.

Dia meminta saya menjenguk keponakan Maiyah kita, putra Cak Rahmat BBW, yang sedang kuliah di Houston. Pilihan studi S1 di Amerika, ketimbang di Malaysia, adalah atas dorongan dan arahan yang sangat kuat dari Gandhie. Tahun 2023 lalu, Gandhie dan Cak Rahmat, seusai Tawashshulan di Kadipiro, meminta saya ikut ngompori juga agar sang putra mau ke Texas. Mumpung ada beasiswa.

Permintaan Gandhie itu saya jawab insyaAllah tahun depan kalau bisa main ke Texas. Di ujung perbincangan WA itu, saya menanyakan dokumentasi Mbah Nun dan Ibu Via ketika ke Amerika sembilan tahun lalu. Waktu itu, semua foto dan video yang kami abadikan, saya kirim ke Gandhie. Kini, saya berniat menceritakan kembali perjalanan itu.

Gandhie adalah tumpuan kedua saya dalam melacak dokumentasi Maiyah, setelah server Progress di Kadipiro. Data-data selalu tersimpan rapi di sistem penyimpanannya. Untuk urusan teknologi, dia jauh lebih canggih dari saya. Sesuai pekerjaannya di seputar IT dalam posisi mentereng di perusahaan multinasional. Bos-bosnya yang orang India dan Eropa, harus tunduk dengan jadwal Gandhie, yang bisa leluasa tidak ngantor, demi ngancani Mbah Nun. Sambil menemani perjalanan Mbah Nun di dalam dan luar negeri, tugas-tugas kantor dia kerjakan sesuai target.

Pada pertemuan terakhir kami, sambil menemani Mbah Nun memulihkan kesehatan di rumah beliau tahun 2023 lalu, Gandhie menceritakan proyek sistem IT bidang personalia perusahaannya yang akan bermigrasi ke sistem baru. Saya pun berbagi pengalaman menggunakan sistem personalia yang super efektif selama bekerja di perusahaan Amazon di Chicago.

Usai perbincangan itu, Gandhie memberikan kejutan buat saya. Sebuah undangan pernikahannya. Saya teramat sangat bahagia. Akhirnya Gan. Setelah sekian lama, dia akan menikah. Kami di Progress semua gembira. Tema bujang lapuknya Gandhie selalu menjadi guyonan saat kami berkumpul bersama Mbah Nun. Walaupun sayang sekali, saya bilang ke Gandhie saat itu akan tidak bisa hadir, karena bulan Januari saya sudah kembali ke Amerika. Tapi sekali lagi, saya bahagia untuknya.

Kehandalan dokumentasi Gandhie termasuk untuk ribuan nama-nama bayi yang diberikan Mbah Nun. Selain lewat Cak Zakki, pintu masuk permintaan nama adalah lewat Gandhie. Misal ada yang minta nama bayi lewat saya, protokolnya harus lewat Gandhie dulu, yang akan meminta ke Mbah Nun.

Gandhie tidak menunda permintaan saya tentang dokumentasi maiyahan Amerika itu. Selalu tidak pakai lama, dengan sat-set gat-get wat-wet, Gandhie menyuguhkan dokumentasi secara lengkap. Saya merespons dengan maturnuwun, dan Gandhie selalu memungkasi perbincangan kami dengan jawaban khasnya, “Sip Kak.”

Saya lihat-lihat kembali dokumentasi kegiatan Mbah Nun itu. Saya coba merangkai apa saja yang bisa saya ceritakan. Saya memanggil lebih banyak lagi memori kala itu. Satu per satu sudah terbayang alur ceritanya, secara kronologis. Tapi saya belum juga menuliskannya. Sampailah seminggu lebih berlalu dan tiba-tiba Gandhie pergi mendadak duluan. Ah, ternyata cerita-cerita Mbah Nun dan Ibu Via di Amerika yang saya rencanakan, harus dimulai dari Gandhie dulu, lewat tulisan ini.

***

Ning ndunya pira suwine
Jur bali ning panggonane
Ning akhirat ya sejatine
Mung amal becik sangune 

Lirik lagu Ing Ndonyo Ming Mampir Ngombe dari KiaiKanjeng itu adalah salah satu lagu favorit saya. Mbah Nun selalu mengingatkan, sejak diciptakan, kita akan selalu hidup, baik di dunia maupun akhirat. Hidup di dunia benar-benar hanya mampir sebentar. Dari jutaan tahun usia planet bumi tempat kita hidup di dunia ini, Gandhie hanya mampir di sini selama 42 tahun. Kita, tidak akan tahu berapa lama mampir. Dan, kebanyakan kita mampir hanya singkat. Tidak lebih dari seratus tahun.

Gandhie memanfaatkan mampir singkatnya dengan mengumpulkan sangu sebaik-baiknya, untuk perjalanan berikutnya. Saya yakin amal becik-nya sangat cukup. Ketulusan, totalitas, kesungguhan, dan profesionalitas dalam pengabdian kepada Mbah Nun dan Maiyah dengan hanya gondelan kepada Rasulullah SAW, untuk peradaban manusia yang lebih baik saat mampir hidup di dunia ini, adalah salah satu sangu Gandhie. Persaudaraannya dengan kita semua adalah sangunya yang lain. Terutama amal baktinya kepada sang ibunda. Saya bersaksi, Gandhie orang baik.

Sampai jumpa di perjalanan hidup berikutnya, Kak.[]

Chicago, 17 Oktober 2024

Lainnya