Gandhie: Maiyah 100%, Profesional 100%, Keluarga 100%
Sejak pertama mengenal Gandhie, yang saya catat adalah orangnya sangat disiplin terhadap setiap detail. Sekecil apapun urusannya, ia sangat detail. Kedisiplinannya itu didukung dengan ingatannya yang sangat cemerlang. Sesuatu hal yang didiskusikan beberapa waktu lalu, ia pasti akan ingat dan menanyakan jika urusan tersebut belum selesai.
Di Kenduri Cinta, jika sudah menjelang hari gelaran acara, Gandhie selalu menanyakan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dia yang bertanya. Bagi kami di KC, Gandhie seharusnya sudah tidak perlu lagi menanyakan perihal tenda, sound system, panggung, lokasi acara, support kebersihan dari teman-teman cleaning Taman Ismail Marzuki. Seharusnya, Gandhie sudah cukup fokus mengurus Cak Nun saja. Karena sudah harus ke Jogja, harus ke Bandara, dan mendampingi Cak Nun selama di Jakarta.
Tapi, Gandhie tetaplah Gandhie. Dia tidak merasa tenang jika dia tidak menanyakan ke teman-teman KC perihal detail printilan persiapan KC itu. Jika sudah sampai di hari H pelaksanaan KC, sudah pasti Gandhie akan menjadi orang paling sibuk untuk menanyakan berbagai hal, sejak pagi hari. Mungkin, bagi teman-teman KC yang lain beranggapan, nanti kalau sudah pasti akan diinformasikan. Tapi tidak bagi Gandhie, karena segala tahapan harus diinformasikan. ”Sound sampai mana?”, ”Backdrop sudah diambil dari percetakan?”, ”Listrik sudah dicoba, menyala atau tidak? Kalau belum menyala, coba tes drijimu dilebokke neng colokan!”. ”Ono sing ndhuwe cita-cita ngirim foto-foto persiapan di lapangan ora?!”. Begitulah pesan dari Gandhie, datang bertubi-tubi pada setiap gelaran KC.
Belum lagi saat KC berlangsung, Gandhie akan lebih kenceng lagi untuk mengatur irama koordinasi di grup WA. ”Wirid dan Sholawat kapan mulai?”. ”Talent jeda sesi 1 sudah stand by, Bram?”. ”Kencleng arep muter kapan, rek?”. “Foto-foto, sudah ada yang bisa di-share?”. “Habis Sabrang, biar Hadi aja yang nyaut, lalu lempar ke jamaah untuk tanya jawab”, dan banyak lagi direction yang muncul. Tidak jarang, ada arahan yang selalu saja kami langgar, karena bagi moderator yang bertugas di panggung tentu merasakan pressure yang berbeda lagi, melihat kondisi jamaah, juga menimbang situasi narasumber dan banyak lagi pertimbangan lainnya. Tapi, Gandhie juga fair, jika memang ada pertimbangan lain yang lebih efektif, tentu akan disetujui juga oleh Gandhie.
Begitu selesai KC, Gandhie masih akan menanyakan banyak hal di grup WA. “Nink, tanggungan-tanggungan wis kabeh?”, biasanya pesan itu ditanyakan mengenai biaya-biaya yang harus segera dibayarkan. “Ojo lali matur suwun dengan pihak yang terlibat”. “Foto-foto, sudah dishare ke narasumber?”. Dan banyak lagi hal yang ditanyakan. Maka, kepergian Gandhie di Senin lalu itu sangat mengagetkan, karena Jumat sebelumnya Kenduri Cinta edisi Oktober baru selesai digelar, hari Sabtu dan Minggu, Gandhie masih berkoordinasi mengenai banyak hal terkait KC Oktober.
Support Gandhie untuk Cak Nun luar biasa. Yang kita lihat hanyalah Gandhie mendampingi Cak Nun. Padahal, persentuhan Gandhie jauh lebih dalam dari sekadar mendampingi. Medio 2017, Cak Nun sangat produktif menulis. Hampir setiap hari merilis tulisan baru. Kalau ada Maiyahan, Cak Nun baru mengirimkan tulisan itu ke Gandhie lewat tengah malam. Sempat beberapa kali, tulisan itu dikirim oleh Cak Nun jam 3 dinihari. Saat itu, Gandhie meminta saya untuk membantu memeriksa tulisan Cak Nun. Hanya melakukan pengecekan, apakah ada kesalahan pengetikan (typo), atau jika Cak Nun menuliskan kisah seseorang, kami mengkonfirmasi nama tersebut, benar atau tidak penulisannya. Sama sekali bukan merevisi tulisan Cak Nun. Setelah dicek, saya convert ke PDF, Gandhie kemudian menyebarkan tulisan tersebut dalam 2 bentuk: Teks chat WA dan PDF ke ratusan kontak di Handphone-nya. Tentu saja, utamanya adalah teman-teman Maiyah. Bisa dikatakan, kapanpun Cak Nun menghubungi Gandhie, saat itu juga Gandhie merespons. Dan hal itu juga yang selalu saya dapati. Kapanpun saya ngontak Gandhie, hampir tidak pernah lewat dari 2 menit, dia merespons. Dan saya yakin, jika Mbak Via, Cak Zakki, Yai Tohar, juga teman-teman KC dan Maiyah lainnya menghubungi Gandhie pun akan merasakan hal yang sama.
Bagaimana dengan pekerjaan Gandhie? Saya agak lupa, sepertinya 2017 Gandhie pindah ke kantor baru yang mungkin bisa dikatakan sangat proper dari kantor-kantor sebelumnya. Saat itu, Gandhie merasa harus seperti masuk “penjara”, karena aturan di kantor barunya ini sangat ketat. Harus menggunakan celana kain dan kemeja yang dimasukkan, sepatu harus pantofel warna hitam, dan yang paling mengganggu bagi Gandhie adalah, rambut tidak boleh gondrong!
Tapi, bukan Gandhie kalau tidak berhasil menakklukan kantor barunya itu. Hanya melewati masa probation 3 bulan, atasannya, bahkan C-level di atas manajernya, sudah bisa ditaklukkan. Mulai dari soal jam kerja yang secara kondisi di Maiyah tidak memungkinkan Gandhie untuk berada di kantor sesuai jam kerja: 08.00-17.00 WIB. Di awal, Gandhie sering meninggalkan kantor tanpa izin. Tidak pernah dicari oleh atasannya karena memang pekerjaannya selalu beres. Di sela-sela mendampingi Cak Nun, Gandhie akan mencari waktu luang untuk membuka laptop dan menyelesaikan pekerjaannya. KPI-nya selalu achieve. Namun, Gandhie merasa tidak enak hati, sampai suatu hari ia memberanikan diri mengirimkan surat pengunduran diri ke CFO-nya. Hari itu juga ia dipanggil oleh CFO-nya dan ditanya kenapa mau keluar? Semua yang diresahkan Gandhie disampaikan, terutama mengenai jam kerja. CFO-nya enteng saja menjawab, bahwa Gandhie diperbolehkan untuk tidak harus masuk kantor, selama pekerjaannya beres. Dan tentu saja, yang diminta oleh Gandhie adalah tentang rambut gondrong! Lagi-lagi, CFO-nya juga memberikan kebebasan. Mungkin rambutnya sedikit mulai rapi setelah dia menikah. Hehehehhe….
Sampai akhirnya sebelum pandemi, Gandhie dipromosikan menjadi Head of IT. Praktis dia yang mengatur ritme pekerjaan di departemen yang ia pimpin. Anak buahnya pun ia bebaskan untuk bekerja dari luar kantor, dengan jaminan bahwa pekerjaannya harus beres. Terlebih setelah memasuki masa pandemi, momen itu semakin memperkuat argumen Gandhie kepada seluruh C-level di kantornya, bahwa bekerja dari mana saja terbukti tidak ada masalah dan tetap bisa menyelesaikan semua pekerjaan. Bahkan, Gandhie sangat luwes, jika ada anak buahnya yang mengajukan cuti, tidak perlu waktu lama baginya untuk menyetujui izin cuti tersebut.
Termasuk jadwal meeting, baik yang online maupun offline. Gandhie mampu mengatur irama jadwal itu, sehingga dia mampu mengatur keseimbangan antara jadwal bekerja di kantor dengan jadwal mendampingi Cak Nun dan berkontribusi di Kenduri Cinta. Menjadi hal yang biasa, saat Gandhie mengajak saya menjemput Cak Nun di Bandara, saat keluar dari Bandara, di dalam mobil, Gandhie kemudian melakukan meeting online dengan rekan kerja di kantor. Oh iya, soal seragam, pada akhirnya karena perusahaan tempat Gandhie bekerja adalah Multi Nasional, Head Quarter perusahaannya di tahun 2019 memutuskan bahwa tidak ada lagi seragam yang saklek. Seluruh karyawan di kantor boleh memakai celana jeans, dan kemeja yang bebas, tanpa dimasukkan ke dalam celana.
Suatu hari, Gandhie meminta saya untuk join di perusahaan tempat ia bekerja. Tentu di departemen yang ia pimpin. Saya menimbang beberapa kali. Sampai akhirnya saya mengiyakan. Dan setelah saya bergabung di kantor yang sama dengan Gandhie, saya semakin mengerti, bagaimana dia mampu meng-influence banyak orang di kantor ini. Hampir di setiap meeting yang saya ikuti dan ada Gandhie di dalamnya, ia selalu nge-lead meeting tersebut. Ia kerap memberikan solusi dari setiap persoalan yang dihadapi. Bahkan, ia sering dilibatkan pada lintas departemen yang sebenarnya ia tidak harus terlibat didalamnya. Terakhir, yang saya ingat, 2 bulan yang lalu ia diminta untuk menjadi Dewan Pengawas Koperasi Karyawan. Padahal sebelumnya, ia bukanlah anggota Koperasi Karyawan. Belum lagi ia juga selalu menjadi tempat bercerita bagi rekan-rekan kerja di kantornya, baik sesama IT maupun selain IT. Persis seperti di Maiyah, ia menampung semua keluh kesah dari teman-teman.
Di hari berpulangnya, saya tidak begitu kaget ketika Pak Sofyan selaku CEO, mengajak serta C-level yang lain untuk takziyah. Bahkan, C-level meeting yang sedianya terjadwal di Senin pagi itu, dibatalkan oleh Pak Sofyan untuk memberi penghormatan terakhir kepada Gandhie. Pak Sofyan bersama C-level dan juga rekan-rekan kerja Gandhie hari itu mengantarkan Gandhie hingga ke pemakaman. Memberikan penghormatan terakhir kepada salah satu rekan terbaiknya. ”Gandhie adalah salah satu karyawan terbaik saya”, begitu ucap Pak Sofyan di hadapan Ibundanya Gandhie.
Dengan keluarga? Gandhie sudah pasti 100%. Seperti yang saya tulis sebelumnya, bahkan saat dia berstatus non-job, Gandhie melakukan rutinitas layaknya seorang pekerja. Ia tinggal di Bogor, di pagi hari setelah Subuh, ia keluar dari rumahnya menuju Stasiun KRL, pergi ke Jakarta. Ia hanya ingin agar Ibunya tidak tahu bahwa ia sedang menganggur. Sesekali, ia mengambil pekerjaan freelance saat itu, yang hanya dibayar 3 bulan sekali. Entah bagaimana manajemen keuangannya, yang penting ia memastikan bahwa kebutuhan Ibunya terpenuhi, karena Ayahnya sudah meninggal sejak Gandhie kuliah tahun 2003 silam.
Bagi yang mengenal Gandhie di Maiyah, mungkin yang terkesan adalah bahwa Gandhie orangnya keras, tegas, lugas, bras-bres, sat-set, cag-ceg. Tapi dia itu penuh kasih sayang. Sama saja, di rumah pun demikian. Tapi, dia sangat sayang luar biasa dengan Ibu dan Adiknya. Momen ulang tahun, baik Ibu maupun Adiknya selalu menjadi momen spesial bagi Gandhie. Selalu ada kado spesial dari Gandhie untuk mereka berdua. Bahkan terakhir, sebelum Gandhie meninggal, di hari Minggunya, ia membelikan kursi roda elektrik untuk Ibunya. Hal ini yang membuat Ibunya merasa sangat terpukul, karena saat membelikan kursi roda itu, Gandhie berkali-kali mengulang kalimat: “Biar nanti Mama pergi ke Mall bisa sendiri”. Hal yang benar-benar terjadi saat ini.
Dengan Istrinya? Lebih-lebih. Gandhie menikah dengan istrinya di bulan Januari 2024. Kami semua berbahagia. KC ngunduh mantu. Setelah menikah, Gandhie semakin bahagia. Beberapa kali saya memnyaksikan momen betapa Gandhie sangat mesra dan sangat sayang kepada Istrinya. Puncaknya, akhir bulan September lalu, menjelang ulang tahun Istrinya, Gandhie mengajak istrinya untuk Umroh. Sebuah kejutan besar bagi Istrinya. Saya hanya bisa mengintip momen kebahagiaan Gandhie dan Istrinya di Mekkah melalui akun IG istri saya yang sudah berteman dengan istrinya Gandhie. Dokumentasi yang tidak mungkin Gandhie unggah di akun Instagramnya sendiri. Dan mungkin pada situasi saat ini akhirnya saya melihat dokumentasi-dokumentasi Gandhie yang tidak pernah saya lihat sebelumnya, karena akhirnya saya tersambung dengan Ibunya dan Istrinya Gandhie di WhatsApp, mereka mengunggah foto-foto kenangan bersama Gandhie di status WA. Dari jauh, saya terharu. Di tengah kesibukannya di Maiyah dan bekerja mencari nafkah, Gandhie benar-benar 100% untuk keluarganya.
Bersambung….