Gandhie dan Semarak Simpul Sinau Bareng
Suatu hari, pada akhir 2014 Gandhie saya kirimi pesan BBM, kemudian tidak menunggu lama, ia menelepon dan menanggapi beberapa hal, juga sekaligus menumpahkan beberapa uneg-unegnya mengenai Maiyah. Dia sedang punya rencana untuk mengumpulkan semua simpul untuk menjadi ajang annual silaturahmi Keluarga Maiyah namun masih belum ketemu metodenya.
Saya sendiri waktu itu sedang ingin menceritakan ke Gandhie tentang sebuah peristiwa di dalam mimpi yang terasa mengandung isyarat cukup serius untuk diperhatikan. Di dalam mimpi tersebut, saya mendapati suasana di sebuah tanah lapang yang berumput hijau dengan dikelilingi oleh pepohonan. Ratusan atau bahkan ribuan orang-orang yang saya pahami sebagai keluarga besar Maiyah bersama-sama memenuhi tempat tersebut dengan bermacam aktivitas, sepertinya sedang ada acara kemah bersama. Banyak kemah-kemah kecil dibangun di bawah pohon-pohon, ada yang di tempat landai ada pula yang berada hingga di area lebih tinggi, setiap tanah berundak selalu tampak kemah-kemah dibangun. Pakaian yang dikenakan cukup simbolis, yakni pakaian putih-putih. Ada yang lalu-lalang, ada yang tampak mengambil air, ada yang memasak di luar tenda dengan asap mengepul, ada yang membuat lingkaran kecil di atas tikar. Semuanya terasa damai dan tidak sedikit pun terbersit adanya ancaman. Perasaan hati justru didominasi dengan penuh kebahagiaan dan kegembiraan berkumpul, berinteraksi, beraktivitas penuh manfaat.
Sesaat kemudian, tampak semua orang berduyun-duyun menuju sungai, ternyata untuk berwudlu dan setelah itu semuanya segera menempatkan diri di lapangan rumput. Semua segera membangun shaf dengan rapi dan tertib, siap melaksanakan Sholat berjamaah dengan Mbah Nun sendiri sebagai imamnya. Kami semua mendirikan sholat dan adegan berikutnya saya sudah tidak ingat. Saat bangun, masih lekat nuansa sholat berjamaah itu, suasana di tengah tanah lapang dengan dikelilingi pepohonan yang menyejukkan, kemah-kemah yang berderet dan bertebaran di bawah pepohonan, seolah masih berlanjut dalam kesadaran. Saya menerjemahkan bahwa ini adalah isyarat bahwa seluruh keluarga Maiyah yang bertaburan di berbagai tempat sudah saatnya untuk berkumpul dan menyatukan langkah agar tidak terlanjur menjadi aktivitas independen yang alih-alih bersaing ‘paling maiyah’ di kemudian hari.
Tentu saja, fenomena mimpi itu gaung bersambut dengan gagasan Gandhie. Lantas disepakati untuk mengadakan pertemuan kecil-kecilan menyatukan tujuan. Hajat ini akhirnya terlaksana pada November 2014. Ada beberapa simpul _yang saat itu masih baru_ membersamai hajat pertemuan ini, selain Kenduri Cinta yang dihadiri oleh Gandhie sendiri, ada pula wakil dari Juguran Syafaat yang dihadiri oleh Hilmy. Maneges Qudroh yang dihadiri oleh Eko dan Dhidha. Perwakilan dari Jogja ada mas Zaenal, Bayu FGD, Ajik KMS. Malang, Tuban oleh Yoyok, Pasuruan oleh sanak-kadang yang kemudian membangun lingkaran sinau bareng: Sulthon Penanggunan. Temanggung oleh Tyo Prasetyo, Demak oleh Wachid _saat itu masih belum ada simpul Kalijagan_, yang mana kehadirannya menjadi penggiat Gambang Syafaat yang lain seperti Andy Rahman Arifianto, Fatma Patmo Effendy, Ary boker susanto, menjadi bagian dari tim tuan rumah, acara diadakan tepatnya di area Candi Gedongsongo, Kabupaten Semarang. Saat itu, posisi saya masih memegang tugas dari Cak Zakki dan Om Toto menjadi inisiator bagi Gambang Syafaat. Sebelum ke Gedongsongo, semua peserta berkumpul terlebih dahulu di kediaman saya lantas melanjutkan bersama-sama ke Gedong Songo.
Acara berlangsung 3 hari tiga malam, meskipun tidak full di Gedongsongo. Acara diskusi berikutnya dilanjutkan di rumah. Acara ini membahas banyak hal tentang langkah dan integrasi pergerakan dan pertumbuhan Maiyah. Dari situ lantas ditawarkan oleh Gandhie, untuk perlu membangun pertemuan lebih lanjut, luas dan melibatkan banyak lingkaran simpul Maiyah. Gagasan ini disambut antusias oleh semuanya dan bahkan Juguran maupun Maneges bersiap-sedia untuk menjadi tuan rumahnya. Jadilah sebulan kemudian, Silatnas perdana pada Desember 2014 di Purwokerto dengan Simpul Juguran Syafaat sebagai tuan rumahnya, dan setahun berikutnya (2015) di Magelang dengan Simpul Maneges Qudroh menjadi tuan rumah untuk Silatnas kedua.
Peristiwa silaturahmi nasional yang dibersamai secara masif oleh berbagai simpul dan lingkaran Maiyah dari berbagai kota dan daerah di seluruh Indonesia. Mulailah bermunculan simpul-simpul baru yang meniatkan diri untuk secara reguler menggelar sinau bareng dengan tertib dan serempak menjunjung pola sinau bareng dengan tata cara seirama. Memang, sebagaimana dhawuh Mbah Nun bahwa Maiyah bukan organisasi sehingga tidak perlu dipadatkan, namun Maiyah adalah Organisme dimana sebuah habitat organisme musti terarah dan menjunjung prinsip perilaku yang seiring meskipun dengan tugas yang berlainan.
Kilas Balik Silatnas Maiyah
SILATNAS 2014 – JUGURAN SYAFAAT PURWOKERTO
Pada Silatnas pertama, masing-masing simpul beradaptasi dengan suasana yang cukup asing bagi Maiyah. Momentum ini menjadi suasana yang sama-sama dirasakan baik oleh simpul lama maupun simpul baru yang masih pupus. Tujuannya memang agar bisa mencuatkan gagasan-gagasan ekstra dengan dikondisikan secara lebih formal dan juga tidak terdikotomi senior maupun yunior. Akhirnya memang muncul beberapa gagasan-gagasan dan tentu saja komplain dengan format acara yang ‘kurang maiyah’. Tapi semua lantas dijelaskan bahwa justru maiyah itu harus bisa berada di metode apa saja, maka metode formal seharusnya bukan hambatan bagi warga maiyah tetap tampil otentik dan adaptif pada bermacam nuansa dan suasana. Adapaun gagasan-gagasan yang mencuat diantaranya: Mengidentifikasi kemunculan simpul dan mulai melakukan pendataan secara baik juga membangun koordinasi yang baik pula di kemudian hari.
SILATNAS II 2015 – MANEGES QUDROH MAGELANG
Silatnas Kedua diadakan di Magelang, kali ini acara berlangsung dengan lebih cair namun tetap tidak meninggalkan ‘tradisi’ silatnas yakni membuat suasana formal pada sesi diskusi. Suasana yang lagi-lagi tidak lazim bagi masyarakat Maiyah yang terbiasa cair dan lesehan dengan gelak tawa persaudaraan yang renyah. Namun, nyatanya semua peserta bisa mengikuti hingga akhir, artinya memang masyarakat maiyah mudah beradaptasi dengan suasana baru dan tetap produktif. Pada Silatnas II ini, peserta telah berkembang lebih banyak, ada kemunculan simpul-simpul baru dari beberapa daerah.
SILATNAS III 2016 – RUMAH MAIYAH KADIPIRO YOGYAKARTA
Pada Silatnas Ketiga ini, perhelatan silaturahmi digelar di rumah inti Maiyah yakni di Kadipiro Jogja. Beberapa hal diwasiatkan oleh mbah Nun, yakni: bertani, berinovasi, berdagang. afdholul makasib az-ziroah tsumma as-shina’ah tsumma at-tijaroh, sebaik-baik pekerjaan untuk pencaharian adalah bercocok tanam atau tandur kemudian teknologi kemudian berdagang.
SILATNAS IV 2017 (REMBUG MAIYAH) – KC JAKARTA
Pencanangan Koordinator Simpul.
Perumusan langkah jangka panjang dan jangka lebih pendek dalam mengambil sikap di berbagai bidang, seperti bidang ekonomi, sikap politik, pendidikan, usaha dan perdagangan, integrasi antar simpul, dan lain sebagainya.
SILATNAS V 2018 – BANG-BANG WETAN SURABAYA
Membangun klaster yang memungkinkan koordinasi simpul dengan simpul sekitar terdekat sebagai keluarga simpul. Setiap klaster bisa membangun tradisi baru dalam berbagai bidang. Bisa mengembang dalam sektor ekonomi, teknologi, pendidikan, media masa, pertanian, perdagangan. Model ini juga disediakan fasilitas platform media sosial yang dikembangkan oleh Mas Sabrang dan team.
SILATNAS VI 2019 – GAMBANG SYAFAAT SEMARANG
Jam’iyah Pengusaha Sorga. Pada Silatnas ini Mbah Nun memberikan penekanan bahwa setiap simpul, setiap anak cucu Maiyah dianjurkan untuk menjadi pengusaha sorga namun juga tidak lupa dengan nasibnya di dunia. Penelaahan terhadap karakteristik simpul dan peran apa yang harus diambil benar-benar perlu kecermatan dan perjuangan.
2020 JEDA – Karena merespon kebijakan negara berkenaan dengan pandemi.
Pada tahun 2021, Mbah Nun mengubah kondisi perjumpaan antar simpul dengan metode terbalik. Bukan anak putu yang sowan dan menyerap dhawuh Mbah Nun, namun Mbah Nun sendiri yang menyediakan diri hadir pada beberapa simpul untuk bisa menjumpai anak-putu maiyah dari berbagai daerah. Ini adalah tanda cinta yang luar biasa dari Mbah Nun untuk terus ngayomi dan menaungi seluruh anak-putunya. Kesediaan Mbah Nun ini kemudian disebut sebagai ‘Sambang anak putu’, yakni Mbah Nun dan Koordinator Simpul menyambangi Simpul-Simpul Maiyah di berbagai wilayah.
SAMBANG ANAK-PUTU MBAH NUN 2021 – Sidoarjo, Ponorogo, Wonosobo, Demak.
Pada pertemuan ini Mbah Nun menekankan pentingnya beradaptasi dengan situasi yang tidak mudah. Dimana pertemuan dibatasi, salaman dibatasi, keluar rumah dibatasi, bertemu dibatasi jarak. Namun orang-orang Maiyah harus tetap mampu menggenggam ini sebagai bentuk Istiqamah dalam menjunjung kemanfaatan dan kemaslahatan bagi sekitar.
SAMBANG ANAK-PUTU MBAH NUN 2022 – Tasikmalaya, Lampung
SILATNAS VII – 2022 KADIPIRO YOGYAKARTA
Pada tahun kembali diadakan Silatnas dengan peserta yang lebih besar dan segar. Banyak wajah-wajah penggiat baru yang hadir sebagai delegasi simpul masing-masing. Silatnas ini juga merekam banyak pesan, nasehat dan harapan Mbah Nun anak-putu Maiyah. Pada momentum ini pula Mbah Nun menerima keris yang bernama Kiai Sangkelat. Mbah Nun wekas, “jika aku kuda, kalian semua kak-kaki kudaku ya Rek”.
SAMBANG ANAK-PUTU MBAH NUN 2023 – Blora, Ungaran
Dalam kesempatan ini Mbah Nun menekankan pentingnya bersedekah, jiwa sedekah harus benar-benar tertancap dan tertanam dalam sanubari Maiyah. Jangan menunggu orang menengadahkan tangan baru kita bersedekah, namun bagaimana kepekaan hati kita tidak membiarkan tangan seseorang sampai menengadah memohon bantuan. Wasiat Mbah Nun ini disampaikan di Blora dan Ungaran. Selain itu, juga diurai tentang Wakafa dan Keluarga Al Fatihah secara mendalam.
2024 – “GUMREGAH MAIYAH”
Kini tahun 2024, tahun dimana tidak ada lagi Gandhie membersamai secara zahir. Ia biasanya sudah sibuk jauh sebelum dilangsungkan kegiatan Silatnas. Di tahun ini mungkin masih belum bisa diadakan Silaturahmi Nasional Maiyah sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Namun masih ada satu kemungkinan lain sebagai upaya nguri-uri salah satu tinggalan Gandhie untuk Maiyah. Sebagai salah gagasannya, misal pada tahun ini SILATNAS bisa menggunakan pola budaya yang dijunjung bersama. Tidak harus berada dalam satu tempat yang sama secara nasional, melainkan diadakan oleh setiap simpul maiyah dengan model dan tempat yang ditentukan secara mandiri. Bisa juga dijalankan bersama oleh tiap klaster secara serempak.
Semua simpul Maiyah akan punya satu hajatan Nasional dengan tajuk; katakanlah ‘Grebeg Maiyah’ (perayaan Maiyah) atau ‘Gregah Maiyah’ yang artinya ‘Semarak Bangkit Maiyah’ dari kata ‘gumregah’.
Bulan Desember 2024 ini bisa menjadi momentum penyatuan dan kebertautan keluarga besar Maiyah yang diformulasi dalam bentuk baru pertemuan antar simpul. Yakni persambungan hajat kebersamaan dengan menjunjung semangat bersambung dari koordinat masing-masing. Secara metafora seolah: “berkemah bersama, dan sholat berjamaah bersama, dengan Mbah Nun sebagai Imamnya”. Model pertemuannya bisa dengan format resmi seperti di Baturraden. Bisa semi kultural seperti di Magelang. Bisa dengan pola pasinaon seperti di Kadipiro. Bisa serius dan tajam seperti di Jakarta, Bisa bergelora penuh semangat seperti di Surabaya. Bisa juga dengan santai namun sungguh-sungguh seperti di Semarang. Semua pola akan menjadi baik dan indah.
Pola ini bisa dijalankan oleh tiap-tiap klaster sebagai ajang silaturahmi serempak tahunan oleh setiap Simpul Maiyah, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Di dalam kegiatan ini bahkan bisa juga mulai mempertimbangkan pamomongan yang regeneratif, dengan mengadakan kompetisi antar simpul bernuansa edukatif. Bisa kompetisi catur anak antar simpul, turnamen futsal anak antar klaster, karya tulis remaja antar region, perlombaan bidang IT, festival Kanjengan (bagi simpul yang memilikinya). Jika setiap Klaster punya hajat yang serempak di hari dan tanggal yang sama, meskipun berjauh-jauhan, namun sejatinya hati Maiyah menyatu dan menjunjung pernyataan cinta yang serupa, yakni pernyataan cinta antara diri kita sebagai hamba, kepada Allah SWT, dan kepada Rasulullah Muhammad SAW, sebagaimana yang senantiasa menjadi dhawuh mbah Nun.