Gandhie, Aku Kirim Salam
Sudah tiga hari ini saya berada di kampung halaman, sebuah desa yang terletak jauh di luar jangkauan hiruk-pikuk kota. Perjalanan menuju tempat ini memakan waktu sekitar tujuh jam dengan menggunakan transportasi umum dari Yogyakarta. Rasanya, jarak yang jauh itu seperti mengingatkan saya pada banyak hal — kenangan, waktu, dan tentu saja keluarga.
Saya ingat, sekitar beberapa tahun yang lalu, Ibu saya meninggal dunia di kampung ini. Waktu itu, suasana desa yang tenang seketika berubah menjadi ramai dengan kedatangan sanak saudara, tetangga, dan teman-teman keluarga. Mereka datang untuk memberikan penghormatan terakhir, untuk menyampaikan doa dan takziah. Yang membuat saya takkan pernah lupa, adalah ketika Gandhie sudah tiba lebih dulu di rumah kami sebelum sebagian besar yang lain datang. Saya tak tahu pasti bagaimana caranya, yang jelas, dia selalu memiliki cara untuk datang tepat waktu, seolah tahu kapan waktu yang paling dibutuhkan.
Gandhie adalah teman keluarga Maiyah, sosok yang selalu hadir dengan ketenangan, seolah dia membawa kedamaian dalam setiap langkahnya. Keberadaannya di kampung saat itu memberi saya rasa nyaman, meskipun hati saya sedang hancur. Sejak kepergian Ibu, kampung ini seakan menyimpan lebih banyak kenangan. Setiap sudutnya, dari rumah-rumah tradisional yang berdiri kokoh hingga jalan-jalan sempit yang biasa saya lewati saat kecil, semuanya terasa begitu akrab sekaligus penuh dengan perasaan yang tak bisa saya ungkapkan dengan kata-kata.
Kini, berada di sini lagi, rasanya ada sedikit ketenangan meski hati saya tetap membawa beban. Tiga hari yang saya habiskan di kampung halaman ini, mengingatkan saya pada banyak hal yang tak terucapkan. Saya berkeliling, menyapa beberapa tetangga, mengunjungi makam Ibu, dan merenung. Tempat ini selalu memberi ruang untuk pulang, tak hanya fisik, tetapi juga emosional. Mengenang kembali saat-saat yang telah berlalu, saya sadar bahwa meskipun banyak hal yang hilang, banyak juga yang tetap ada — kenangan, cinta, dan ikatan yang tak terputuskan oleh waktu.
Peristiwa yang terjadi saat Ibu saya meninggal di kampung ini, bagi saya, bukan hanya sebuah kenangan tentang kehilangan, tetapi juga sebuah cermin dari karakter yang dimiliki oleh Gandhie. Ketika saya menyebutkan bahwa Gandhie sudah tiba di kampung sebelum yang lain, ada lebih dari sekadar kecepatan atau ketepatan waktu dalam kehadirannya. Ada sebuah kepekaan yang dalam terhadap kebutuhan orang lain, terutama dalam momen-momen sulit seperti yang kami alami. Kepekaan itu bukan sesuatu yang bisa dipelajari atau dilatih; ia datang dari hati yang tulus dan solidaritas yang mendalam terhadap lingkungan sekitar.
Gandhie selalu hadir dengan cara yang sangat sederhana, namun penuh makna. Dia tidak hanya datang sebagai bagian dari teman-teman keluarga Maiyah, tetapi sebagai pribadi yang benar-benar peka terhadap perasaan orang-orang di sekitarnya. Waktu itu, saat Ibu saya meninggal, kedatangan Gandhie seakan menenangkan banyak hal tanpa harus mengucapkan banyak kata. Dia tahu betul kapan waktu yang tepat untuk hadir, kapan harus memberikan dukungan tanpa harus diminta, dan bagaimana menghadirkan kedamaian melalui sikapnya yang tenang dan penuh empati.
Solidaritas yang dia tunjukkan bukan hanya kepada saya atau keluarga saya, tetapi juga kepada siapa saja di lingkungan Maiyah. Saya tahu bahwa Gandhie selalu memiliki perhatian yang sama besar kepada setiap orang, tanpa terkecuali. Entah itu teman dekat, kerabat jauh, atau bahkan orang yang baru saja dikenalnya. Dia melihat kebutuhan orang lain tanpa harus ditunjukkan atau diberitahukan, dan itulah yang membuatnya begitu istimewa. Di lingkungan Maiyah, di mana hubungan antar anggota sangat kental dengan rasa kebersamaan, Gandhie adalah sosok yang seakan menjadi penjaga jiwa solidaritas. Dia adalah contoh nyata bagaimana sebuah komunitas bisa hidup dengan penuh saling menguatkan, dengan prinsip bahwa kebersamaan itu lebih dari sekadar kata-kata, tetapi juga aksi nyata yang bisa dirasakan.
Kepekaan dan solidaritas Gandhie menciptakan sebuah ruang yang penuh kedamaian di mana setiap orang merasa dihargai dan diperhatikan, terutama dalam saat-saat yang penuh kesulitan. Gandhie adalah bukti bahwa empati dan perhatian terhadap orang lain adalah bentuk kekuatan yang tidak ternilai harganya — sebuah kekuatan yang mampu memberikan ketenangan di tengah kesedihan, serta menjalin hubungan yang lebih dalam antar sesama.
Peran Gandhie dalam komunitas Maiyah memang sulit untuk digambarkan dengan kata-kata formal atau jabatan tertentu, karena sejatinya dia bukan sosok yang terikat dengan struktur atau peran yang jelas. Namun, jika harus menggambarkan Gandhie, saya rasa dia adalah semacam “penghubung” yang sangat penting di antara berbagai orang dan berbagai hal yang ada di komunitas ini. Dalam suasana apapun — baik yang penuh suka cita maupun yang penuh duka — Gandhie selalu ada, dengan cara yang sangat khas.
Saat-saat sedih, seperti ketika saya kehilangan Ibu, atau saat-saat gembira, seperti saat ada acara besar Maiyah, Gandhie selalu hadir dengan cara yang sama: tidak menonjolkan dirinya, namun sangat terasa kehadirannya. Bahkan, yang lebih menarik lagi, jika ada sesuatu yang terkait dengan Cak Nun (Mbah Nun), bisa dipastikan bahwa Gandhie tidak akan pernah jauh. Entah itu dalam urusan diskusi tentang ajaran-ajaran Maiyah atau dalam pelaksanaan kegiatan yang membutuhkan koordinasi dan kerja keras, Gandhie selalu hadir, seperti penjaga yang memastikan setiap hal berjalan dengan lancar, tepat waktu, dan sesuai dengan semangat yang sudah disepakati bersama.
Meskipun tidak ada posisi formal yang melekat padanya, Gandhie seakan memiliki peran yang sangat vital dalam menjaga ritme kehidupan komunitas Maiyah. Perannya bisa dibilang sebagai “pengingat”, atau bahkan bisa disebut juga sebagai “penagih kesepakatan”. Setiap kali ada sesuatu yang telah disepakati, terutama yang berkaitan dengan tanggung jawab bersama, Gandhie tidak akan segan-segan mengingatkan, bahkan menggebu-gebu menagih jika ada yang belum terlaksana. Kalau ada deadline yang belum dipenuhi, bisa dipastikan dia akan mengejar dan memastikan semua yang telah dijanjikan benar-benar dipenuhi. Di sini, Gandhie bisa sangat keras, bahkan terkesan dingin, ketika hal-hal yang sudah disepakati tidak dijalankan dengan baik.
Namun, ada sisi lain dari Gandhie yang tidak kalah kuat dan penting: kelembutannya. Ketika berbicara tentang solidaritas sosial, Gandhie adalah sosok yang penuh kehangatan, penuh perhatian. Dia memiliki kepekaan yang luar biasa terhadap lingkungan sekitarnya, selalu siap membantu siapa saja yang membutuhkan, baik itu secara fisik, materiil, ataupun emosional. Sikapnya yang penuh empati dan kepedulian terhadap orang lain membuat Gandhie menjadi figur yang sangat dihormati dan dicintai oleh banyak orang. Dalam hal-hal sosial, dia bisa dibilang sangat lembut — selalu mengutamakan kebersamaan, selalu mengingatkan kita akan pentingnya menjaga hubungan sosial yang harmonis dalam setiap aspek kehidupan.
Jadi, jika digambarkan secara utuh, Gandhie adalah kombinasi dari dua sifat yang seolah bertolak belakang, namun justru saling melengkapi: dia bisa sangat tegas dan keras dalam hal-hal yang berkaitan dengan tanggung jawab, namun sangat lembut dan penuh kasih dalam urusan solidaritas sosial. Dia bukan hanya menjadi pengingat dalam hal-hal praktis dan administratif, tetapi juga menjadi penghubung yang menjaga jiwa dan semangat kebersamaan di dalam komunitas Maiyah. Keberadaannya adalah sebuah keseimbangan antara ketegasan dalam mengingatkan dan kelembutan dalam merawat hubungan antar sesama, yang menjadikannya sosok yang tak ternilai harganya dalam kehidupan komunitas ini.
Kematian, meskipun adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan, tetap saja seringkali membuat kita terhenyak. Terkadang, meskipun kita tahu bahwa suatu saat kita semua akan menghadapinya, kenyataan tersebut tetap sulit untuk diterima. Seperti ketika pagi itu, di waktu yang hampir tak terasa, saya mendapat kabar bahwa Gandhie, teman yang sudah begitu dekat, telah meninggalkan kita semua. Saat itu, rasanya seperti ada yang menghalangi dada, seperti ada waktu yang melambat dan mengendap begitu lama. Saya merasa tak siap, meskipun sebenarnya saya tahu bahwa tak ada siap atau tidak siap untuk hal seperti ini.
Rasanya memang begitu berat untuk menerima kenyataan tersebut. Ada banyak hal yang menghalangi, salah satunya adalah kenangan yang terpatri begitu dalam dalam ingatan saya. Gandhie bukan sekadar seorang teman atau saudara dalam komunitas Maiyah—dia adalah bagian dari relasi yang lebih besar, sebuah hubungan yang tidak hanya terbatas pada waktu, tetapi juga pada rasa kebersamaan dan semangat yang telah terbentuk di antara kita. Semua kenangan itu, meskipun indah, seakan-akan menjadi beban yang sulit dilepaskan. Seperti benang-benang yang saling terkait erat, setiap momen bersama Gandhie yang hadir dalam ingatan terasa begitu hidup. Ia selalu ada di sana, dengan segala kepedulian, ketegasan, dan kelembutannya yang menjadi bagian dari keseharian kami.
Ketika kabar itu datang, kenangan-kenangan itu tiba-tiba membanjiri saya. Setiap kali teringat, saya merasa kehilangan lebih dari sekadar seorang teman; saya merasa kehilangan sebuah bagian dari hidup saya yang tak mudah digantikan. Dalam suasana duka itu, saya menyadari bahwa apa yang membuat saya merasa begitu berat adalah betapa relasi yang telah dibangun bersama Gandhie terpatri begitu kuat. Kenangan itu mengikat kami dalam sebuah ikatan yang tak mudah dilepaskan. Bahkan, terkadang kenangan itu malah terasa seperti penghambat — sebuah penghalang yang membuat saya lebih sulit menerima kenyataan bahwa Gandhie sudah tidak ada di antara kami lagi.
Saat-saat seperti ini membuat saya berpikir lebih dalam tentang bagaimana kita berhubungan dengan orang-orang yang kita cintai. Terkadang, kita terlalu menggantungkan diri pada kenangan dan ikatan-ikatan yang telah terjalin, sehingga kesedihan dan rasa kehilangan itu membuat kita terperangkap dalam masa lalu. Kita menjadi sulit untuk menerima kenyataan bahwa hidup terus berjalan, meskipun seseorang yang kita anggap sebagai bagian penting dalam hidup kita telah pergi.
Namun, meskipun kenyataan itu terasa sangat pahit, saya akhirnya menyadari bahwa menerima kehilangan bukan berarti melupakan.
Kenangan yang kita bawa bersamanya, semua momen yang pernah kami lalui, justru menjadi bagian dari hidup yang tak terpisahkan. Meski berat, meski susah, pada akhirnya saya harus mengakui bahwa inilah bagian dari perjalanan hidup — kehilangan adalah bagian dari hidup itu sendiri. Gandhie tidak akan pernah benar-benar hilang, karena dia telah meninggalkan jejak yang dalam dalam hati dan ingatan kami, jejak yang tidak akan mudah terhapus meskipun fisiknya tidak lagi ada di antara kami.
Pada akhirnya, saya pun belajar bahwa untuk menerima kenyataan, kita tidak perlu menghapus kenangan atau menghindari kesedihan, tetapi belajar untuk hidup berdampingan dengan keduanya. Kesedihan adalah bagian dari mencintai, dan kenangan adalah cara kita terus menghargai dan mengenang mereka yang telah pergi. Itulah cara kita belajar menerima realitas, meskipun terkadang, waktu memang memerlukan banyak ruang untuk menyembuhkan luka-luka tersebut.[]
Lawen, 7 November 2024