Gadget
Aku masuk ke bangsal perawatan lewat pintu belakang. Aku masuki satu persatu ruangan tempat “guru-guruku” bermukim, tanpa ada yang mengikutiku. Ada yang sedang sarapan, ada pula yang sedang berselimut. Ada yang sedang mandi, ada pula yang sedang bercengkerama dengan gadgetnya. Ada yang bermain game di gadgetnya, ada pula yang sedang video call dengan kakaknya di rumah.
Aku lihat dari 15 kamar yang kumasuki, hanya ada satu kamar yang menyalakan televisi. Melihat berita pagi yang menayangkan perkembangan politik pagi ini. Tentu saja ini konsumsi bapak ibunya, bukan untuk si Malik, “guruku” yang asik bermain game di tab-nya.
Beginilah situasi yang ada di tengah-tengah berkembang pesatnya teknologi. Aku tengok ‘ruang bermain’ yang memang disediakan khusus untuk anak-anak agar bisa melukis, menggambar, bermain kereta api, menonton video edukasi, bahkan bisa membikin mainan dari kertas, kayu, lilin dan juga menyusun lego. Namun sayangnya ruangan ini terlalu kecil, sehingga hanya beberapa anak saja yang bisa tertampung. Tetapi ruangan ini pun cukup bermanfaat buat menghilangkan kejenuhan anak-anak, ”guru-guru” saya dari pengobatan yang mereka dapatkan, yang bisa memakan waktu berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Maka gadget menjadi tempat pelampiasan kejenuhan itu. Manakala jenuh bermain gadget, mereka mencari pelampiasan dan hiburan dengan permainan konvensional.
Demikian pula ketika sampai di lobby keperawatan, hampir semua teman saya perawat asik di depan komputer. Ada empat komputer dan satu laptop yang semuanya tak ada yang nganggur.
“Pada ngapain sih, kok semua asik di depan komputer?” tanyaku
“Yaaa beginilah, Dok. Semuanya harus ter-rekam dengan jelas, pasti, dan akuntabel,” jawab Ranung sambil nyengir.
“Mana kemampuan tulis kami hanya bermodalkan teknik sebelas jari,” lanjutnya.
“Bagaimanapun ini akan menyita waktu kami untuk kontak langsung dengan pasien.”
“Biasanya kami bisa bertandang dan bercengkerama dengan pasien serta ibunya, mendengar keluh kesah mereka, atau sekadar menerima curhatan mereka yang terpaksa harus meninggalkan bayi mereka di desa, karena harus menunggu kakaknya yang sedang menjalani kemoterapi. Atau curhatan dari bapaknya yang terpaksa harus kehilangan pekerjaannya karena harus mengurusi anaknya yang sedang dalam masa pengobatan, sedangkan ibunya di kampung harus menunggui anak anak yang lain,” sambung Ranung.
“Belum lagi, kalau yang sudah senior (baca: sepuh) seperti Bu Endang, Bu Kus, Bu Nanik dan yang lain, pasti mereka nunak-nunuk dalam mengoperasikan keyboard yang selama ini jarang mereka sentuh,” kata Ranung sambil lanjut mengetik dengan teknk 11 jarinya itu.
Kemajuan teknologi dan peradaban pasti akan berdampak pada hal lain. Kemajuan zaman yang menuntut kita berakrab-akrab dengan teknologi gadget, menyisakan problema besar dengan berkurangnya interaksi langsung antar manusia. Dehumanisasi terjadi.
Manusia lebih sering berhadapan dengan gadget di tangannya ketimbang berhadapan dengan sesama manusia. Bisa ngamuk-ngamuk di WAG di medsos, namun ketika berhadapan langsung ciut nyalinya.
Senyum, tawa, tangis hanya diwakili emoticon. Tanpa kita tahu senyum yang mana yang dilontarkannya. Senyum manis, atau senyum sinis? Tawa terbahak atau tawa sekadarnya. Maka di sinilah pentingnya silaturahmi.
‘Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu’ (QS. An-Nisa’ [4]: 1).
Yogyakarta, 2 Januari 2024