CakNun.com

#FYP: GUS

Munzir Madjid
Waktu baca ± 3 menit
Ponpes Tremas Pacitan, 12 Desember 2017. Foto: Adin (Dok Progress)

Gus Khayat protes kepada Mbah Moen.

“Kenapa harus saya Mbah, ilmu saya masih jauh dibanding kealiman Gus Anam, atau Gus Baha?”

Mbah Moen menjawab enteng, “Karena awakmu jagoan…”

Gus Khayat, Gus Anam dan Gus Baha merupakan santri-santri yang mengentaskan pendidikannya di Pondok Pesantren Sarang, Rembang, asuhan KH Maimoen Zoebair.

Ketika Mbah Moen berangkat haji, selain keluarga, Gus Khayat ikut dalam rombongan Mbah Moen, dan menjadi salah satu saksi ketika Mbah Moen wafat pada 6 Agustus 2019, hingga dimakamkan di pemakaman Ma’la, salah satu kompleks pemakaman tertua di Makkah. Letak Makam Mbah Moen hanya dibatasi jalan raya dengan makamnya Siti Khadijah, istri Nabi.

Perawakan Gus Khayat, pengasuh Pondok Pesantren Alif Baa di Desa Mantrianom, Bawang, Banjarnegara, memang layaknya –mohon maaf lho Gus– preman. Berbadan kekar dan berambut gondrong. Berbeda dengan Gus Anam dan Gus Baha. Gus Anam, selain menjadi kyai di Pesantren Leler, Banyumas, juga aktif di salah satu partai politik. Sementara Gus Baha sangat dikenal khalayak dengan pengajian yang menentramkan hati, serta mampu mengurai persoalan-persoalan berat dengan bahasa yang mudah dicerna oleh pemahaman awam.

***

Beda dengan Gus yang satu ini punya akun aplikasi transportasi mobil online . Beredar di jalanan untuk mencari “mangsa” penumpang. Tetap saja, sasarannya wanita-wanita muslimah yang cantik. Sudah dirancang, jok belakang atau tengah dibuat berantakan, disiram air atau apalah, sehingga mau atau tidak penumpang terpaksa harus duduk di depan di sebelah sang driver.

“Aduh maaf ya, tadi ada penumpang numpahin apa gitu, belum sempat dibersihin.”

Percayalah, drivernya sangat sopan.

Ada beberapa kamera yang sudah dipersiapkan, terpasang dari depan, kiri dan kanan. Ini tentu saja persiapan matang untuk sebuah konten, dibuat untuk tayangan di Youtube. Sementara potongan-potongan durasi pendeknya disebar pada platform lain miliknya, seperti tiktok, shorts dan reels.

Gus yang nyamar jadi driver transportasi online akan membuka percakapan awal yang standar. Namanya siapa, menegaskan ulang, yang pada dasarnya sudah tahu namanya dari orderan. Tujuannya mau kemana, atau ada urusan apa. Pokoknya banyak omong basa-basi entah apa saja. Dari obrolan ringan untuk membangun suasana, kecanggungan penumpang dengan driver kian memudar. Kian lepaslah obrolan terbangun, dengan diselipi gombalan khas youtuber-youtuber sebagaimana beredar saat ini. Pick up line yang smooth lah.

“Aku emang suka ga jelas sih, tapi kalau suka kamu itu udah jelas.”

“Tuhan nomor satu. Orang tua nomor dua. Keluarga nomor tiga. Kalau kamu nomor WA nya berapa nih?”

Ya, yang gitu-gitu deh.

Langkah berikutnya, meminta izin untuk menyanyikan sebuah lagu yang dibuat sumbang, sehingga mendapatkan reaksi penumpang dengan mimik ekspresi wajah tidak suka. Namun ketika ditanyakan apakah bagus suaranya, pastilah akan dijawab “bagus kok!”, sebab tidak pekewuh jika berkata jujur,

Inilah saatnya tiba. Gus Driver bersiap-siap 180° berbalik, akan melantunkan salawat dengan suara yang sangat merdu. Sang penumpang dengan wajah yang terkagum-kagum tergambar jelas lewat kamera.

Namanya Prank Salawat.

Ya Allah, salawat kok diprank.

Salawat kepada Kanjeng Nabi, tentu saja dengan niatan agar disayang dan mendapat syafaat dari Nabi dengan Ridha Allah. Tapi ini prank, melagukan salawat agar mendapat pujian dari penumpang, tanpa sadar berbangga diri. Ujub.

Seminggu kemudian setelah rampung di-edit, konten segera tayang di Youtube. Potongan-potongan yang dianggap menarik terlebih dahulu untuk promosi diposting di Instagram dan Tiktok.

Postingan telah diputar oleh jutaan viewers. Pundi-pundi cuan mengalir.

***

Cerita di atas hanya ilustrasi. Kisah yang terjadi pada hari-hari ini.

Fenomena Gus, dan juga habib, begitu marketable pada tontonan-tontonan yang tayang pada segenggam layar smartphone. Di manapun berada, di antrian membeli fastfood, berdiri berdesakan di commuter line, di tongkrongan warung kopi; kapan saja, jari-jari bisa nge-klik HP di tangan.

Pada konten-konten sosial media: menyeruak orang-orang yang menyebut dirinya Gus dan Habib, memberikan petuah-petuah, nasehat dan kata-kata bijak inspiratif. Untuk menjadi viral tidaklah mengikuti perkataan yang pernah diungkap Ali Bin Abi Thalib: “Undzur ma qala wa la tandzur man qala” –lihatlah apa yang dikatakan, bukan siapa yang mengatakan. Tidak berlaku. Yang laku siapa yang bicara. Karena yang bicara adalah Gus, orang akan menengok. Berhenti sejenak. Lalu menjadi acuan. Menjadi anutan.

Sebagaimana catatan saya tempo hari, bahwa sebutan Gus adalah sematan kehormatan sebagai anak turun keluarga kyai. Artinya, tidak sembarang orang bisa disemati sebutan Gus.

Dalam tradisi bermaiyah dalam tuntunan yang diberikan oleh Mbah Nun, tidak pernah sekalipun generasi yang tumbuh, seseorang atau person, dari Maiyah yang kemudian tiba-tiba dianugerahi sebagai Gus.

Berbeda jika panggilan itu sudah tersemat dalam dirinya dari lingkaran keluarga kyai, kemudian berada dalam aktifitas Maiyah. Silakan juga, jika sebutan Gus dianugerahi oleh pihak lain, di luar keluarga Mbah Nun dan tradisi Maiyah. Di Maiyah yang ada Gus Box (driver mobil box) dan Gus Syeikh Teng (Agus Seteng Yuniawan – sepurane, tek pinjam ya Mas Teng), sebagaimana beberapa kawan memanggil saya Habib Munzir. []

Lainnya

Exit mobile version