Frekuensi Kegembiraan: Resonansi yang Membahagiakan
Habib Ja’far kemudian menyambung diskusi dengan penjelasan bahwa dalam berbagai sudut pandang, termasuk agama, kebahagiaan adalah tujuan hidup setiap manusia. Dalam Islam, konsep hayyatan thoyyibatan atau hidup yang baik mencakup kebahagiaan bagi diri sendiri dan orang lain. Namun, kebahagiaan sejati memerlukan kedaulatan dari dalam diri, tidak bergantung pada faktor eksternal. Habib Ja’far mencontohkan pendapat Victor Frankl, seorang psikolog kontemporer, bahwa kebahagiaan adalah hasil dari cara kita memandang hidup. Perspektif positif memungkinkan kita menemukan makna bahkan di tengah penderitaan.
Frekuensi kegembiraan dalam Islam digambarkan Habib Ja’far sebagai frekuensi tuma’ninah. Esensi dari tuma’ninah yang dimaksud adalah kemampuan kita untuk memberikan waktu yang cukup dalam merenungkan segala sesuatu dengan tenang. Ketika kita mampu merenungkan setiap peristiwa dengan sabar, kita akan menemukan hikmah di dalamnya dan melatih diri untuk lebih dekat kepada Allah. Allah, sebagai pemilik waktu, memberikan segala sesuatu kepada kita sesuai dengan sunnatullah. Namun, seringkali kita tidak sabar dan tidak memberikan waktu yang cukup untuk memahami kehendak-Nya. Akibatnya, kita merasa menderita ketika hal-hal tidak berjalan sesuai keinginan kita.
Allah mendorong kita untuk mencapai tuma’ninah melalui berbagai cara, salah satunya adalah dengan mendirikan sholat dengan khusyuk. Dalam sholat, kita dilatih untuk fokus pada Allah dan menenangkan hati. Habib Ja’far juga menambahkan bahwa sunnah-sunnah seperti mengenakan pakaian putih atau menggunakan parfum sebelum beribadah adalah bentuk pengondisian yang membantu kita memasuki frekuensi tuma’ninah dengan lebih mudah.
Dalam era digital yang serba cepat, tuma’ninah menjadi semakin relevan. Ketergesa-gesaan seringkali membuat kita hanya merasakan pahitnya hidup tanpa merasakan manisnya. Dengan melatih diri untuk selalu tenang dan sabar dalam menghadapi segala situasi, kita akan mampu menemukan hikmah di balik setiap peristiwa dan mendekatkan diri kepada Allah.
Ketergesa-gesaan di era modern ini, banyak orang yang terjebak dalam mengejar kesenangan sesaat. Liburan, misalnya, seringkali dianggap sebagai cara untuk mencari kebahagiaan. Namun, kenyataannya, kesenangan yang diperoleh dari liburan seringkali bersifat sementara. Kebahagiaan sejati tidak bisa dibeli dengan uang atau dicapai dengan cara yang instan.
Islam mengajarkan kita untuk mencari kebahagiaan yang sesungguhnya, yaitu kebahagiaan yang berasal dari dalam diri dan tidak bergantung pada faktor eksternal. Dengan memahami nilai-nilai Islam, kita dapat menemukan makna hidup yang lebih dalam dan menjalani kehidupan yang penuh kegembiraan dan kebahagiaan.
Kedaulatan Berbahagia
Pertanyaan mendasar tentang kebahagiaan mewarnai diskusi di sesi terakhir. Mas Alfredo memulai dengan pertanyaan: “Apakah kebahagiaan adalah sesuatu yang bisa kita olah atau hanya sekadar perasaan alami?” Pertanyaan ini mengundang kita untuk merenung lebih dalam tentang makna kebahagiaan dan bagaimana kita bisa mencapainya.
Mbak Refina juga berbagi pengalamannya tentang pergulatan mencari kebahagiaan dalam standar sosial di era digital. Mbak Refina mempertanyakan apakah yang didapatkan dari pencapaian materi dan pengakuan sosial benar-benar memberikan kebahagiaan sejati.
Dalam menjawab pertanyaan jamaah, Hendri Satrio menggunakan perspektif yang lebih personal, Hendri Satrio menceritakan kisah seorang mahasiswanya yang menghadapi dilema menjelang pernikahan. Pasangannya didekati orang lain dan akhirnya menerima lamaran teman tersebut. Dalam momen seperti ini, apakah ia harus tetap merasa bergembira atas apa yang terjadi? Hendri Satrio menjelaskan bahwa kegembiraan ternyata bersifat subjektif. Apa yang mungkin membuat seseorang bergembira, bisa jadi dirasakan sebagai penderitaan oleh orang lain. Sama seperti orang yang melawan arah, yang merasa bahagia meski mengganggu orang lain. Ini menunjukkan bahwa kegembiraan tidak selalu diterima oleh semua pihak.
Pandji Pragiwaksono kemudian menambahkan bahwa kebahagiaan bukanlah semata-mata hasil dari pencapaian materi atau kondisi eksternal. Kebahagiaan yang sejati, menurutnya, berasal dari dalam diri. Namun, ketimpangan sosial sering kali mengaburkan pandangan kita tentang kebahagiaan sejati. Ketika kita melihat orang lain memiliki lebih banyak, kita sering merasa iri dan kurang puas. Padahal, kebahagiaan sejati tidak bergantung pada perbandingan dengan orang lain.