CakNun.com

Frekuensi Kegembiraan: Perjalanan Menuju Kebahagiaan Sejati

Kenduri Cinta edisi Desember 2024
Kenduri Cinta
Waktu baca ± 19 menit
Dok. Kenduri Cinta

Habib Husein mengakhiri pemikirannya dengan sebuah analogi, “Logika agama dibangun untuk mendorong kita menuju kebahagiaan. Namun, jika kita tidak berada pada frekuensi yang benar, kita tidak akan bisa merasakannya. Seperti halnya kopi, jika kita hanya menikmati manisnya dulu, kita tidak akan sampai selesai dapat merasakan pahitnya. Begitu juga dengan hidup, jika kita tidak melalui kesulitan dengan sabar, kita tidak akan bisa menikmati kebahagiaan yang sejati.”

Ia mengingatkan tentang kondisi dunia yang terkadang tidak reflektif.

Kenapa seorang tukang yang setiap hari bekerja membangun rumah, tetapi tidak memiliki rumah sendiri? Sama halnya dengan liburan — kita bekerja keras untuk liburan, tapi setelah itu, kita kembali tenggelam dalam rutinitas tanpa refleksi.

Menurut Habib Husein, kebahagiaan sejati adalah sebuah perjalanan yang memerlukan kedalaman dan kesadaran. “Jika kita terbuka, kita akan terus bertemu dengan agama dan menemukan kebahagiaan sejati. Kegembiraan yang sejati adalah kebahagiaan yang dapat kita sebarkan, baik kepada diri kita sendiri maupun orang lain,” tutupnya.

Mas Fahmi melanjutkan sesi dengan menyampaikan rasa terima kasih kepada Habib Husein atas pemikiran-pemikirannya yang mendalam. “Hanya di sini, Habib bisa berbicara tentang agama, teori revolusi, dan nilai kehidupan dengan begitu luas dan bermakna,” ujarnya. Fahmi menggarisbawahi bahwa forum ini memberi ruang yang luar biasa untuk menggali kebahagiaan sejati, tidak hanya dalam konteks spiritual tetapi juga dalam perspektif kehidupan sosial dan pribadi.

Setelah penjelasan dari Habib Husein yang penuh dengan refleksi mendalam tentang kebahagiaan, tuma’ninah, dan cara berpikir yang lebih universal, sesi dilanjutkan dengan jeda untuk memberi kesempatan bagi jamaah untuk merenung lebih jauh. Jeda ini diisi dengan penampilan musik yang mengalun lembut dari Krist Segara, memberikan ketenangan bagi para jamaah untuk meresapi setiap kata yang telah dibagikan dalam diskusi malam itu.

Penampilan musik ini menjadi penyeimbang yang sempurna, menciptakan suasana harmoni yang mendalam, mengundang refleksi pribadi dan memperkuat pesan bahwa kegembiraan sejati datang dari kedamaian batin yang terbentuk dari kedekatan dengan Tuhan dan pemahaman akan hidup yang lebih besar.

***

Kebahagiaan, Kegembiraan, dan Kedaulatan Diri: Refleksi di Kenduri Cinta

Di sesi puncak Kenduri Cinta, setelah beberapa diskusi mendalam yang banyak mengangkat berbagai isu sosial dan spiritual, Mas Hadi sebagai Moderator membuka ruang bagi jamaah untuk mengajukan pertanyaan. Ia memberikan kesempatan bagi peserta untuk menggali lebih dalam pemikiran para pembicara yang telah berbicara sebelumnya. “Apakah ada yang ingin bertanya atau berbagi pemikiran?” tanyanya, mengundang diskusi lebih lanjut tentang kebahagiaan, kegembiraan, dan makna hidup.

Alfredo dari Ciputat membuka diskusi dengan pertanyaan yang menarik perhatian: “Apakah kebahagiaan itu sesuatu yang alami, ataukah bisa kita olah? Bagaimana kita melatih diri untuk berbahagia?” Ia juga menyinggung tentang fenomena orang yang berbuat salah atau melawan arus, tetapi merasa bahagia. “Apakah kebahagiaan kita membuat kita tidak berdaya, bahkan ketika kita melihat orang melawan arah?” ujarnya, mengingatkan kita bahwa kebahagiaan itu seringkali bersifat subyektif dan tidak selalu bisa dipahami oleh orang lain. Hal ini mengarah pada pemikiran bahwa kebahagiaan tidak hanya berasal dari dalam diri, tetapi juga bisa dipengaruhi oleh konteks sosial dan hubungan kita dengan orang lain.

Refina Kusuma Anggraeni, yang datang dari Tangerang, mengangkat isu yang relevan dengan zaman digital saat ini: “Bagaimana kita bisa bahagia jika standard hidup orang lain terus mendikte kita? Bahkan sebelum kita mencapainya, kita sudah merasakan penderitaan.” Ia bertanya lebih jauh, apakah kebahagiaan itu masih dapat dicapai setelah kita mencapai segala yang kita impikan, tetapi tanpa bisa menjadi diri sendiri?. Refina menyentuh keresahan banyak orang yang hidup di bawah tekanan ekspektasi sosial, terutama yang dipicu oleh media sosial dan standard hidup yang terus berkembang.

Mas Hadi meminta kepada Hensa untuk menjawab pertanyaan tersebut. Hensa, yang juga seorang dosen dan memiliki pengalaman membimbing mahasiswa, berbagi cerita tentang seorang mahasiswanya yang menghadapi konflik perasaan menjelang pernikahan. Selama umroh, pasangannya menerima lamaran dari teman lama, dan Hensa bertanya, “Haruskah ia bergembira atas keputusan itu?” Pertanyaan ini membuka pembahasan tentang perbedaan antara kegembiraan dan kebahagiaan. Hensa mempertebal pernyataan bahwa kegembiraan itu subyektif dan bisa dirasakan oleh seseorang sementara orang lain merasakannya sebagai penderitaan, dan menegaskan bahwa kegembiraan sering kali bersifat sementara dan tidak selalu mengarah pada kebahagiaan sejati.

Setelahnya, Pandji melanjutkan repsons dari pertanyaan sebeleumnya. Pandangan Pandji mengarah pada kritik yang tajam terhadap cara kita sering kali mencari kebahagiaan melalui faktor eksternal. “Banyak orang mencari kebahagiaan dari luar, seperti konsumsi atau hiburan, hanya untuk mengalihkan ketidakbahagiaan mereka”. Menurut Pandji, kebahagiaan sejati tidak dapat dicapai melalui hal-hal yang bersifat sementara, melainkan dari kesadaran akan kondisi sosial yang lebih besar. “Kebahagiaan itu struktural—terkait dengan politik, ekonomi, dan kondisi sosial kita,” tambahnya. Pandji menyayangkan bahwa banyak orang di Indonesia tidak peduli dengan politik, bahkan tidak ingat siapa yang mereka pilih dalam pemilu. “Indonesia adalah negara demokrasi, tetapi kualitas demokrasi kita masih diragukan, dan itu mempengaruhi kebahagiaan kita bersama,” ujar Pandji, mengajak kita untuk lebih sadar akan peran kita sebagai rakyat yang memiliki kekuatan besar.

Lainnya

Exit mobile version