Dirty Food
Perkara pangan dan kedaulatannya sudah berulang kali kita bincangkan di pelbagai majelis Sinau Bareng beberapa tahun terakhir. Data-data pangan Indonesia sebagai sebuah negara yang konon agraris, sungguh tidak menggembirakan. Jangankan di dunia, di level Asia Tenggara saja kita tertinggal./p>
Fenomena mahalnya harga beras hanya satu hal saja. Bagaimana tidak, produksi gabah dari petani nasional kita defisit. Sebagai bangsa, kita terlalu baik hati pada tengkulak/rente/broker/mafia yang menguasai tata niaga bahan pangan hanya untuk kepentingan kelompok kecilnya. Perihal pangan adalah problem yang kompleks dan sistemik.
Pada awal 2023, Mbah Nun pernah mengingatkan kita pada risiko tentang krisis pangan ini dan menyarankan kita untuk memperkuat sistem pangan lokal. Para akademisi pun sebenarnya senada pula, krisis iklim hanya bisa diatasi melalui solusi-solusi yang sifatnya selokal mungkin./p>
Pak Toto Rahardjo pernah menyampaikan bahwa untuk melawan kebobrokan sistem di Indonesia, jangan telurkan solusi top to down, tapi sebaliknya harus dimulai dengan memperkuat sistem dari tingkat desa, atau lebih kecil lagi dari entitas keluarga./p>
Mocopat Syafaat edisi Maret 2024 ini hendak melokalkan tawaran ketahanan pangan. Apabila kita hendak nandur secara perorangan atau kelompok, Yogyakarta memiliki situasi dan kondisi yang cukup pelik. Lahan untuk hunian hampir tidak terjangkau harganya di banyak ruas area. Penyempitan lahan pertanian terjadi sepanjang waktu./p>
Bagi yang memiliki lahan, satu faktor sudah di tangan. Lantas apa yang bisa kita lakukan sebagai warga Yogyakarta? Apakah urban farming langsung menjadi solusi begitu saja? Ataukah ada wacana lain yang terjangkau selain itu? Mari kita bincangkan dan tata langkah bersama di tanggal 17.