CakNun.com

Dekonstruksi Makna Melalui Denotasi Konotasi di #KCJuli

Catatan Kenduri Cinta edisi Juli 2024
Kenduri Cinta
Waktu baca ± 12 menit
Dok. Kenduri Cinta

”Dan pola kritik tajam, berani, lugas dilakukan oleh Cak Nun itu sudah dari dulu dilakukan oleh beliau”, lanjut Feri. Salah satu yang juga diingat oleh Feri adalah, jika ada satu acara yang dihadiri oleh Cak Nun sebagai narasumber, ia selalu diajak oleh teman-teman aktivisnya. Baginya, menyimak paparan Cak Nun juga dalam rangka re-charge. Bagi Feri Amsari, salah satu kemampuan yang dimiliki oleh Cak Nun adalah membumikan bahasan-bahasan yang sifatnya filsafat untuk kemudian dijelaskan dalam kalimat yang sederhana, sehingga dapat difahami oleh banyak orang dari berbagai kalangan.

”Mudah-mudahan, forum Kenduri Cinta yang digagas oleh Cak Nun, dengan gagasan-gagasan melalui tulisan-tulisannya, mengajak generasi-generasi baru untuk memikirkan bangsa ini, akan ada perubahan mendasar di Negara ini”, pungkasnya.

Malam itu, hadir juga Isti Nugroho, seorang aktivis senior kelompok studi palagan yang pernah dibui oleh rezim Orde Baru di Nusakambangan karena menggelar diskusi tanpa izin ke aparat setempat. Saat itu, Isti Nugroho divonis dengan tuntutan: Terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan diskusi di rumah/gedung lebih dari 5 orang tanpa izin. Isti Nugroho sedikit menceritakan betapa represifnya rezim Orde Baru saat itu menggunakan Militer (tentara) sebagai kaki tangan penguasa untuk melakukan pengamanan hingga di tingkat terbawah. Acara diskusi yang digelar Isti Nugroho pun digrebek oleh Tentara, bukan Polisi. Bagi Isti, Polisi saat itu tidak begitu menakutkan.

Cak Nun, diceritakan oleh Isti Nugroho, saat di pengadilan menjadi saksi yang meringankan bagi Isti Nugroho. Saat itu Cak Nun berujar: ”Seharusnya yang ditangkap itu saya, bukan Isti Nugroho. Karena yang disampaikan oleh Isti Nugroho itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang saya ucapkan”. Isti mengenang peristiwa itu sebagai persambungan yang hangat antara dirinya dengan Cak Nun. Cak Nun sendiri memang dekat dengan banyak orang dari berbagai kalangan, termasuk aktivis seperti Isti Nugroho ini. Juga, kita mengenal Yai Toto Raharjo dan Simon HT yang juga merupakan ”dedengkot” aktivis di Indonesia.

Menurut Isti Nugroho, kritik kepada penguasa itu tidak mudah dan tidak sederhana dilakukan saat ia menjadi aktivis era 80’an. Pemerintah Orde Baru begitu represif saat itu, sehingga kebebasan berpendapat adalah sesuatu hal yang sangat mahal harganya dan sulit dilakukan. Maka, perjuangan Isti Nugroho dan kawan-kawan aktivis saat itu pun tidak muluk-muluk, ia hanya ingin Indonesia menjadi negara yang demokratis, dimana setiap orang berhak dan bebas bersuara dan mengungkapkan pendapatnya. Meskipun kemudian, diakui juga oleh Isti Nugroho bahwa setelah Reformasi 1998 ternyata tidak ada kemajuan yang signifikan di Indonesia.

”Bayangkan, saya hanya menggelar diskusi, lalu dibui di Nusakambangan”, ujar Isti Nugroho menceritakan pengalamannya. Isti Nugroho menekankan bahwa kebebasan berpendapat yang kita rasakan saat ini di Indonesia adalah sesuatu yang dulu diperjuangkan dengan berdarah-darah dan memakan korban jiwa yang tidak sedikit. Mirisnya, bangsa Indonesia hari ini tidak benar-benar menghargai arti kebebasan itu. Fenomena media sosial yang kita saksikan hari ini justru tidak mencerminkan rasa syukur atas kebebasan berpendapat yang sudah diraih.

Isti Nugroho menceritakan perbedaan yang paling mendasar di era Orde Baru dan era Reformasi hari ini. Menurut Isti, dahulu menjadi seorang aktivis itu yang dibutuhkan adalah keberanian, bukan kepintaran. Itu menjadi syarat nomor satu. Jika memang berani untuk menyampaikan perlawanan kepada penguasa yang otoriter, maka itu yang harus dilakukan. Tidak dibutuhkan kepintaran saat itu. Berbeda dengan hari ini, tidak hanya berani tetapi juga dibutuhkan kecakapan intelektual untuk menyampaikan perlawanan kepada penguasa. Sementara, tantangan zamannya pun semakin bertambah dan jauh berbeda dari tantangan yang dihadapi oleh aktivis era 80’an atau 90’an. ”Tetapi setelah Reformasi, adanya demokrasi dan kebebasan, ternyata Indonesia nggak maju-maju amat. Setelah adanya Reformasi, korupsinya malah menjadi-jadi”, ujar Isti Nugroho.

”Saya dulu berani juga karena Cak Nun. Saya baca tulisan-tulisan Cak Nun, tinggal bersama Cak Nun. Bahkan saat sudah di Jakarta pun, saya tinggal bersama Cak Nun di Tebet, bersama Munzir Madjid juga. Bagaimanapun, Cak Nun itu paling bisa memformulasikan keadaan Indonesia. Baik tahun 70’an, 80’an, 90’an bahkan setelah Reformasi pun, Cak Nun tidak ada lelahnya. Sebenarnya, Negara ini sangat berutang kepada Cak Nun, termasuk masyarakatnya juga. Karena perjuangan yang dilakukan oleh Cak Nun itu sudah sangat banyak”, ungkap Isti Nugroho.

Dok. Kenduri Cinta

”Kalian hari ini menghadapi persoalan yang lebih kompleks dari yang saya hadapi dulu”, lanjut Isti. Digambarkan olehnya bahwa tantangan kita hari ini begitu banyak, dari kehidupan sosial, seperti pandemi Covid lalu yang juga efeknya masih kita rasakan sampai saat ini. Di bidang teknologi, AI menjadi tantangan tersendiri juga yang harus dihadapi. Sementara tantang politiknya pun semakin besar, variabelnya semakin banyak.

Isti Nugroho menyampaikan bahwa dalam waktu dekat bersama Yai Toto Raharjo dan Simon HT akan mementasakan sebuah naskah teater berjudul ”The Jongos”, yang akan dimainkan oleh Joko Kamto, Nevi Budianto dan Eko Winardi. Naskah teater ini diawali dari kalimat: Di luar oligarki adalah korban.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta, majelis ilmu, sumur spiritual, laboratorium sosial, basis gerakan politik bahkan universitas jalanan yang tidak pernah habis pembahasan SKS nya, kurikulum dan mata kuliahnya selalu bertambah, dosennya adalah alam semesta.
Bagikan:

Lainnya

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

Sejak jum’at siang (8/5) KiaiKanjeng sudah berada di Jakarta untuk malamnya menghadiri Kenduri Cinta, setelah menjalani rangkaian Maiyahan di Jawa Timur, mulai tanggal 4 Mei 2015 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian 5 Mei 2015 di Universitas PGRI Adibuana Surabaya, dilanjutkan tanggal 6 Mei-nya di Sidoarjo.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta