Cakrawala Anallah, Menyibak Tabir Mengenal Diri

Pijakan dan Ke ‘satu’ an

Mas Tri, meminta Mas Sabrang untuk memberikan perspektifnya mengenai tema Kenduri Cinta malam itu. Mas Sabrang mengawali diskusi dengan mengajak kita semua berefleksi. Beliau bertanya dengan pertanyaan mendasar, “Apakah sebetulnya kita siap menjadi pijakan pada banyak hal?”
Beliau kemudian mengajak kita untuk melihat hidup sebagai sebuah permainan atau game, di mana kita seringkali terjebak dalam peran sebagai pemain utama dan lupa akan tujuan game itu sendiri. Melalui analogi berbagai warna yang apabila menyatu hanya akan menjadi satu warna, yaitu: putih, Mas Sabrang menjelaskan konsep Anallah. Beliau melanjutkan bahwa “keberadaan” itu sendiri merupakan hasil dari pemisahan dari kesatuan yang sempurna. atau secara sederhana.
“Keber’ada’an adalah pengurangan dari kelengkapan.”
Dalam konteks fisik, untuk mencapai kesempurnaan, kita justru harus menambahkan segala kekurangan yang ada pada diri kita. Namun, dalam hal spiritual, kita harus menguranginya untuk kemudian menjadi lengkap. Beliau juga menekankan pentingnya introspeksi diri untuk mengenal diri sendiri lebih baik karena kita menghadapi tematik masalah hidup yang berulang. Dengan memahami pola-pola yang berulang dalam hidup kita, kita dapat mengambil langkah-langkah yang lebih bijaksana di masa depan. Sebelum ditambahkan pembicara lain, Mas Sabrang mengajak kita untuk selalu merenung, mengurangi ego, dan mencari kesatuan dengan alam semesta.
***
Riuh tepuk tangan mengawali pandangan Hendri Satrio malam itu setelah dipantik oleh Mas Hadi dan Mas Fahmi. Setelah Sabrang, Hendri Satrio yang pada edisi sebelumnya selalu dipanggil “Hensat” dengan gurau meminta untuk dipanggil Hensa saja. Karena jika ditambahkan kata “Bang Hensat” apabila disingkat jadi “kurang menyenangkan” tutur beliau. Jamaah pun ikut terbahak sembari menertawakan kata-kata yang mampir pada pikiran mereka masing-masing.
Bayang-bayang Kolonial dalam Negeri Merdeka
Hendri Satrio mengajak kita menyelami relung-relung sejarah bangsa, di mana bayang-bayang kolonialisme masih menghantui. Ia mengutip teori Daron Acemoglu, sang peraih Nobel Ekonomi tahun ini, yang menggarisbawahi bahwa nasib suatu bangsa seringkali ditentukan oleh jejak kaki penjajahnya. Negara-negara yang pernah dijajah dengan sistem inklusif, di mana penduduk lokal turut serta dalam pembangunan, cenderung lebih maju. Sebaliknya, negara-negara yang dieksploitasi secara ekstraktif, di mana kekayaan alamnya disedot habis oleh penjajah, cenderung menderita kemiskinan dan kesenjangan yang mendalam.
Indonesia, dengan sejarah kolonial yang panjang dan kompleks, tak luput dari pengaruh ini. Fenomena dan berita akhir-akhir ini soal penimbunan uang triliunan di rak kantor kementerian tak luput jadi poin penting yang perlu disampaikan oleh Bang Hensa. Ia berkata bahwa ini adalah cerminan dari sistem ekstraktif yang masih membekas hingga kini. Kekayaan alam yang melimpah justru dinikmati oleh segelintir kelompok, sementara mayoritas rakyat masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Bang Hensa menyelipkan pesan Mas Gandhie, dengan penuh hikmah, mengingatkannya akan pentingnya penyampaian teori dalam memahami realitas untuk Jamaah Maiyah. “Agar Jamaah, ketika pulang membawa konsep dan teori baru dalam hidupnya”. Teori bukan sekadar kumpulan kata-kata belaka, melainkan lensa yang membantu kita melihat dunia dengan lebih jernih. Dengan memahami teori-teori ekonomi dan politik, kita dapat mengurai benang kusut permasalahan bangsa dan mencari solusi yang tepat.
Pertandingan sepak bola Indonesia melawan Jepang menjadi metafora yang menarik. Beberapa lelucon dilempar, membuat Jamaah tak bisa untuk tak tersenyum. Sama seperti dalam pertandingan sepak bola, dalam perjalanan sejarah bangsa, kita seringkali dihadapkan pada berbagai tantangan dan rintangan. Untuk memenangkan pertandingan ini, kita perlu mengenal diri sendiri, memahami kekuatan dan kelemahan kita, serta mempelajari strategi lawan. Suasana kekalahan 0-4 Indonesia atas Jepang tak luput dari diskusi Kenduri Cinta malam itu.
***
Di tengah sesi Mas Sabrang dan Hensa, Ustadz Noorshofa Thohir pun hadir. Membalas rindu Jamaah yang dalam akan kehadirannya. Tanpa panjang -lebar, setelah pendapat Hensa, moderator menyerahkan pelantang kepada Ustadz Noorshofa untuk menyapa Jamaah.