Cakrawala Anallah, Menyibak Tabir Mengenal Diri
Cakrawala sebagai Metafora Tak Terhingga
Diskusi kemudian berlanjut, Mas Nanda mengambil pelantang dan mulai berpendapat. Mas Nanda mengajak kita merenung pada makna cakrawala, bukan sekadar batas pandang mata, melainkan sebagai metafora tak berujung dari pencarian makna. Dalam kosmologi Jawa, cakrawala adalah pertemuan langit dan bumi, sebuah pertemuan yang tak pernah terjadi namun senantiasa menjadi imaji. Ia adalah simbol dari segala yang tak terhingga, seperti usaha manusia untuk memahami keagungan Tuhan.
Kata-kata, seindah dan sedalam apa pun, tak mampu menampung seluruh keagungan Tuhan. Ibarat samudra dijadikan tinta, tak akan cukup untuk menuliskan seluruh asma-Nya. Cakrawala menjadi pengingat akan keterbatasan bahasa manusia di hadapan misteri Ilahi.
Perjalanan spiritual manusia diibaratkan sebagai upaya mencapai cakrawala. Semakin dekat kita merasa dengan Tuhan, semakin luas cakrawala pemahaman kita. Namun, layaknya cakrawala yang selalu tampak di depan mata namun tak pernah tergapai, pencarian makna hidup ini tak pernah benar-benar selesai.
Dalam perjalanan hidup ini, kita dihadapkan pada berbagai nafsu. Mas Nanda menjelaskan konsep hierarki nafsu yang terdiri dari: Nafsu Amarah, Nafsu Penyesalan, Nafsu Ilham, dan Nafsu Ridho (Ridho kepada Allah dan Allah pun ridho). Pengelolaan nafsu menjadi kunci penting dalam spiritualitas di dalam hidup.
Lebih jauh lagi, Mas Nanda mengingatkan kita akan pentingnya adab dalam berinteraksi dengan Yang Maha Kuasa. Konsep dualitas antara manusia dan Tuhan pada kata “Anaallah” hanyalah konstruksi pikiran. Pada hakikatnya, segala sesuatu adalah satu-kesatuan. Mencapai kesatuan dengan Tuhan adalah tujuan akhir dari perjalanan spiritual, sebuah proses yang membutuhkan kesabaran dan ketekunan.
***
Diskusi Kenduri Cinta malam ini semakin menghangat dengan pertanyaan dan jawaban yang menarik dari Jamaah dan Pembicara. Mas Rizal menambahkan penjelasan makna cakrawala dengan analogi pendakian gunung, di mana semakin tinggi kita mendaki, semakin luas cakrawala yang kita lihat. Hal ini dikaitkan dengan perluasan pengetahuan dan perspektif. Mas Karim menambahkan bahwa dalam belajar, tidak ada batasan antara guru dan murid, seperti yang diajarkan Mbah Nun. Beliau juga menyoroti keunikan Kenduri Cinta yang mampu menciptakan ruang di mana perbedaan gender tidak menjadi penghalang untuk berdiskusi.
Mas Nanda dan Mas Amin juga membahas poster Kenduri Cinta kali ini yang menggambarkan generasi baru yang penuh harapan. Salah satu jamaah perempuan, Mbak Ade. Ia berbagi pengalaman pribadinya dan mengajukan pertanyaan tentang cara mempertahankan prinsip agama di lingkungan kerja yang beragam dan termasuk minoritas. Dalam konteks ini, Mbak Ade bercerita bahwa ia berkantor di kawasan SCBD Jakarta dimana ia mungkin tidak sampai 5% populasi orang berjilbab di kantor tempat ia bekerja, menanyakan “bagaimana untuk terus berteguh pada nilai yang Ia anggap baik? Sedang lingkungan kantor tidak sepenuhnya mendukung”. Mas Nanda dan Mas Karim memberikan jawaban yang menekankan pentingnya sikap yang seimbang dan menjadi teladan bagi orang lain. Bahwa sebagaimana pesan Mbah Nun, tugas kita adalah berbuat baik dan terus berbuat baik dalam keadaan apapun, serta kepada siapapun. Malam menunjukkan hampir pukul 22.00 WIB. Akhirnya, sesi ini ditutup dengan ucapan selamat ulang tahun ke-56 untuk Taman Ismail Marzuki yang telah membersamai lebih dari 20 tahun kenduri Cinta oleh Penggiat mewakili semua Jamaah.
***
Seperti biasa, sesi diskusi disisipkan penampilan musik. “Crewsakan” membawakan beberapa lagu yang berhasil membuat jarak dan sejenak memberi hiburan pada penat kepala Jamaah Kenduri Cinta-yang datang dari berbagai latar belakang dan aktivitas harian. Pada beberapa celetukan terdengar bahwa Kenduri Cinta adalah tempat mereka beristirahat. Tempat merebahkan rutinitas, memenuhi dan memberi makan diri agar tetap “terjaga” menjadi manusia utuh.
Sesi selanjutnya biasa adalah sesi Pamungkas. Pada sesi ini hadir Sabrang, Hendri Satrio, dan Ustadz Noorshofa. Mas Hadi, Mas Tri Mulyana dan Mas Fahmi menjadi moderator. Moderator menebalkan dan semakin memperjelas tema diskusi malam ini. Elaborasi tema dari sesi sebelumnya mengalir begitu alami, dari cakrawala hingga ke persoalan sehari-hari. Ini menunjukkan bahwa tema dalam Kenduri Cinta itu begitu dinamis, selalu berubah dan berkembang sesuai dengan konteks dan kebutuhan. Mas Tri dan Mas Hadi menyampaikan bahwa ada semacam ‘dialektika tema’ yang terjadi saat Forum Reboan, terdapat berbagai interpretasi dan pengembangan berdasarkan pengalaman dan perspektif masing-masing Penggiat. Mas Fahmi pun berujar jika Reboan terakhir sebelum Kenduri Cinta November adalah salah satu reboan yang menggembirakan dan menggairahkan. Dari proses diskusi, bahasan tema menjadi lebih kaya, lebih kompleks, dan bahkan menggugah untuk diskursus tambahan lebih lanjut.