Cakrawala Anallah, Menyibak Tabir Mengenal Diri
Sejauh mata memandang, seluas semesta pengalaman dan ilmu pengetahuan kita-manusia hanyalah tetes dari samudra cakrawala ke-Maha Besar-Nya. Kita dihadapan-Nya tak berdaya apa-apa, namun bersama di dalam Rahman-Rahim-Nya kita dapat bahagia-bergembira menjalani menghadapi la’ibun wa lahwun kehidupan dunia. Kalimat ini jadi penutup Tulisan Mukadimah Kenduri Cinta edisi ke-250 pada November 2024 sekaligus menjadi pengantar tema Kenduri Cinta bulan ini yang bertajuk Cakrawala Anallah.
Sehabis waktu Maghrib, awan gelap mulai menyelimuti langit di Taman Ismail Marzuki (TIM) sebuah tanda bahwa kemungkinan besar hujan akan segera turun. Semua penggiat seperti biasa, bersiap dan memastikan segala rencana serta segala hal teknis tidak ada kendala sejak siang hari. Betapapun dan bagaimanapun bentuk langit sore menjelang malam itu, semua tetap siaga, terbiasa “mengasyiki” segala hal yang datangnya dari Allah. Seolah beracah-acah pada kemungkinan: akan selebat apa hujan malam itu, dan pada kemungkinan setelahnya? Apakah forum akan tetap dijalankan? Semua masih pada kuda-kuda solid, bahwa kita mesti mengoptimalkan apa yang dapat kita kerjakan, seraya memasrahkan yang tak bisa kita pastikan-yang merupakan domain Tuhan yang Maha Segala.
Pada Jumat malam, kita juga menyaksikan tim nasional sepak bola Indonesia bertanding melawan Jepang di Lapangan Gelora Bung Karno. Bertindak sebagai tuan rumah babak kualifikasi ketiga Zona Asia untuk Piala Dunia 2026. Pertandingan dimulai pukul 19.00 WIB sedang Kenduri Cinta seperti biasa akan dimulai pukul 19.30 WIB. Ramai di media sosial, bahwa Kenduri Cinta bulan ini sangat pas, karena sehabis nonton bola langsung dapat merapat Maiyahan. Ada juga yang sejak maghrib menunggu di lapangan TIM, sejak sore sudah menanti forum Kenduri Cinta. Benar saja, hujan lebat langsung mengguyur TIM sekitar pukul 18.30 WIB, Penggiat dan Jamaah yang sudah berada di tempat, bergotong-royong menggulung alas tikar terpal yang sudah digelar dan merapat ke arah tenda dan panggung agar tak basah. Pukul 19.15 WIB, hujan perlahan berhenti, rintiknya sudah tak lebat. Penggiat dan Jamaah yang sudah hadir, segera bersiap untuk bersholawat.
Mas Mizani, Mas Munawir, Mas Rizal, dan Mas Adi memimpin sholawat malam itu. Perlahan dari berbagai penjuru, Jamaah berduyun merapat, segera duduk bersila di lantai yang masih lembab, menyesuaikan untuk bergabung bersholawat. Suara sholawat meninggi, semilir angin kecil sehabis hujan mencubit bulu kuduk, dingin mulai sedikit terasa, setelah seharian terik kering udara Jakarta. Dihangatkan segera oleh Wirid Mawlan Siwallah dan sebagai upaya untuk selalu menebalkan kehadiran Allah dan menyapa Rasulullah SAW di malam 15 November itu. Pada momen itu, tak lupa, doa melangit untuk Mas Gandhie yang mendahului kita kembali pada Gusti Allah. Kembali ke haribaan yang abadi. Kembali dari sumber segala sumber permulaan, menyatu pada keabadian sejati.
Kenduri Cinta kali ini memang didedikasikan untuk Mas Gandhie. Kenduri Cinta yang secara konsep adalah Forum Reboan yang “diperbesar” terasa sekali kehilangan Mas Gandhie. Pada tiga kali Forum Reboan, nama itu tak absen sekalipun dari pembahasan. Dialektika di dalamnya-yang entah sengaja atau tidak- muncul karena Mas Gandhie. Ia meneguhkan nilai, menginspirasi lewat laku, menyampaikannya dalam bentuk hikmah-yang menggerakkan yang lain, tak henti dan istiqomah. Bahkan tema “Cakrawala Anallah” muncul setelah menenggelami nama belakang Gandhie Tanjung Wicaksono. “Wicaksono” dalam bahasa Indonesia artinya adalah “Bijaksana”. Kata bijaksana, tak luput dari kata dasar “bijak”, dan elaborasi atas “kebijakasanaan” dapat menjadi pelbagai topik bahasan. Hingga pada keputusan bahwa mengingat Mas Gadhie juga dapat dengan kembali melihat diri sendiri untuk selalu berproses jadi manusia yang semakin lebih baik setiap harinya, hingga mampu jadi manusia yang “Wicaksana”.
Forum dilanjutkan langsung dengan sesi pertama. Mas Amin dan Mas Rizal menjadi moderator sesi diskusi ini. Sesi awal dimulai sekitar pukul 20.15 WIB. Ada 3 keyword yang menjadi pemantik: “Man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa rabbahu”, Anallah, dan Kebijaksanaan. Tarikan dan elaborasi ketiga kata itu luas sekali. Kenduri Cinta kali ini cukup berbeda: biasanya sesi awal adalah sesi mukadimah, namun kali ini sesi dipadatkan menjadi satu sesi diskusi utuh. Ada tiga pembicara pada sesi ini, yakni: Mas Pram, Mas Karim, dan Mas Nanda. Kombinasi tiga pembicara yang ciamik. Perbedaan pisau analisa dan latar belakang ketiganya membuat Jamaah khidmat menyimak. Perbedaan itu mempertajam pemahaman dan meluaskan pandangan, memotret jelas nilai “universiltas” yang diajarkan Mbah Nun pada kita semua.