Cakrawala Anallah
Allah… Allah… Allah… Allah…
Maa lanaa mawlan siwallah…
Kullama nadaita yaahu…
Qolaa yaa ’abdii Anallah…
Qolaa yaa ’abdii Anallah…
Wirid Ma La Mawlan Siwallah ini merupakan salah satu wirid yang termasuk dalam daftar wirid Maiyah. Seperti halnya Wirid Padhangbulan, Wirid Thibbil Qulub, Hasbunallah hingga Shohibu Baity. Wirid yang dilantunkan sebagai upaya untuk menghadirkan Allah dan menyapa Rasulullah SAW. Ada sebuah istilah yang sangat dikenal dalam ilmu Tasawwuf: “Man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa rabbahu”, sebuah pepatah yang berarti “Siapa yang mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya.” Ungkapan ini mengandung makna mendalam yang menekankan pentingnya mengenali hakikat diri dalam upaya untuk memahami keberadaan Tuhan.
Dalam dimensi ilmu Tasawuf, manusia dipandang memiliki aspek lahiriah (jasad atau fisik) dan aspek batiniah (jiwa atau ruh). Mengenal diri berarti menyelami kedua aspek ini dan memahami batasan, kekurangan, serta potensi yang ada dalam diri. Dengan mengenal sifat-sifat dalam diri — baik itu sifat keutamaan maupun kelemahan — seorang manusia dapat mengarahkan diri kepada sumber semua kebaikan, yaitu Allah.
Dalam ajaran Tasawuf, manusia tidak hanya dipandang sebagai makhluk fisik semata, tetapi juga sebagai entitas yang memiliki dimensi ruhani. Karena itu, mengenal diri di sini bukan sekadar memahami fisik atau kepribadian, melainkan lebih kepada mengenal hakikat batiniah dan kerohanian. Mengenal diri berarti menyadari siapa kita sebenarnya, dari mana kita berasal, dan apa tujuan kita diciptakan.
Konsep ini selaras dengan pandangan bahwa manusia merupakan microcosmos, yakni miniatur alam semesta yang membawa sifat-sifat ciptaan Allah dalam dirinya. Dengan menyadari sifat-sifat tersebut, manusia akan mengenal Sang Pencipta dan menyadari ketergantungannya kepada-Nya.
Manusia sebagai khalifatullah diberi bekal yang lebih lengkap dibandingkan dengan makhluk pendahulunya; alam, binatang, tumbuhan. Manusia, memiliki daya kreatifitas yang memungkinkan dirinya untuk melakukan hal-hal yang lebih baik untuk keseimbangan alam semesta. Manusia dengan bekal kearifan dan kebijaksanaan dalam dirinya, seharusnya mampu mengelola berkah dan rahmat dari Allah berupa alam semesta ini untuk dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama.
Dimensi kebijaksanaan dalam diri manusia adalah sebuah nilai yang tidak datang begitu saja. Sifat bijaksana dalam diri manusia harus dilatih, ditempa dan dibiasakan. Berbagai masalah yang dihadapi oleh manusia dan kemudian bagaimana ia menyelesaikan masalahnya sangat berpengaruh pada kedewasaan diri yang kemudian berpuncak pada semakin terlatihnya kebijaksanaan dalam diri manusia.
Cak Nun pernah menjelaskan mengenai matriks kebaikan dalam salah satu edisi Kenduri Cinta. Bahwa kebaikan itu memiliki 5 dimensi: Khoir, Ma’ruf, Birr, Ihsan dan Sholeh. Khoir adalah kebaikan universal yang bersifat cair, yang murni datang dari Allah. Ma’ruf adalah kebaikan yang sudah dirumuskan dan kemudian disimulasikan, kemudian menjadi norma hukum, sehingga fungsinya berada dalam ranah kehidupan sosial. Birr adalah kebaikan yang sifatnya vertikal, online dengan Tuhan, yang dicapai setiap orang dengan cara ritual ibadah yang bersifat spiritual. Maka dalam Islam, pencapaian seseorang yang melaksanakan ibadah Haji, capaian maksimalnya adalah mabrur.
Sementara Ihsan adalah kebaikan yang lahir dari kemurnian diri manusia, dari sikap tasammuh manusia, dan tidak boleh dijadikan sebuah aturan yang memadat. Perilaku Ihsan adalah sebuah perilaku kebaikan, dimana kita melakukan sebuah kebaikan bukan atas dasar pamrih apalagi atas dasar kewajiban harus melakukan kebaikan, namun kebaikan Ihsan adalah kebaikan yang dilakukan atas dasar keterpanggilan hati nurani. Ketika ada orang miskin yang kelaparan, sebagai rakyat biasa jika kita tidak menolongnya dan tidak memberinya makan, maka kita tidak melanggar hukum Negara, karena kewajiban untuk memberi makan orang miskin tersebut adalah kewajiban Negara.
Sementara Sholeh adalah kebaikan yang berupa sebuah rumusan yang berlaku dalam hubungan sosial masyarkat. Tingkat ke-Sholeh-an sebuah kebaikan ditandai dengan semakin sedikitnya mudhlarat yang ditimbulkan seuatu aturan main atau undang-undang yang disepakati bersama. Semakin tinggi mudhlaratnya, maka semakin tidak sholeh undang-undang tersebut. Dan semakin rendah tingkat mudhlaratnya, maka semakin tinggi tingkat ke-sholeh-annya. Sehingga, ketika kita melakukan sebuah perilaku yang kita anggap sebagai sebuah kebaikan, kita masih harus menghitung kembali, apakah kebaikan yang kita lakukan masih mendatangkan mudhlarat atau tidak.
Dari 5 matriks ini jika kita perdalam lagi, lebih deep dive lagi untuk menyelami makna dan juga mengaplikasikannya, akan semakin melatih kebijaksanaan dalam diri kita, sehingga kita juga akan lebih mengenal siapa diri kita.
Mengenal diri mengajarkan manusia untuk menyadari asal-usulnya, tujuannya hidup, dan kekurangannya. Semua aspek ini pada akhirnya membawa manusia untuk memahami bahwa di balik semua penciptaan, ada Tuhan yang Mahakuasa, Mahapengasih, dan Mahabijaksana. Manusia yang mengenal dirinya akan menyadari bahwa hidupnya memiliki tujuan yang mulia, yaitu mengabdikan diri kepada Sang Pencipta.
Mengenal Tuhan melalui diri bukan berarti kita bisa memahami esensi Tuhan sepenuhnya, karena hal itu berada di luar kemampuan manusia. Namun, melalui pencarian dan perenungan tentang diri, kita bisa menggapai sebagian kecil dari kebesaran Allah dan menjadi lebih dekat kepada-Nya.
Ungkapan “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu” mengajarkan kita bahwa perjalanan spiritual dimulai dari mengenal diri sendiri. Dengan mengenal diri, kita menyadari sifat-sifat baik yang harus dikembangkan dan sifat-sifat buruk yang harus dijauhi. Lebih dari itu, kita memahami bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan bahwa hidup ini memiliki tujuan yang lebih tinggi dari sekadar pemenuhan kebutuhan fisik. Aplikasi dari ajaran ini dalam kehidupan sehari-hari dapat membawa seseorang pada perjalanan spiritual yang lebih mendalam, meningkatkan kualitas akhlak, serta menumbuhkan cinta dan ketakwaan kepada Allah.
Dalam Tasawuf, ungkapan seperti Ana al-Haqq atau Anā Allāh tidak dimaksudkan secara harfiah. Ungkapan ini muncul dalam keadaan fana, yaitu keadaan spiritual di mana seorang sufi merasa dirinya “lebur” atau “hilang” dalam kehadiran Tuhan. Dalam kondisi fana, seorang sufi merasa bahwa dirinya tidak lagi memiliki ego atau eksistensi yang independen dari Tuhan. Dengan kata lain, ia merasakan kedekatan dengan Tuhan secara begitu intens sehingga batas antara dirinya dan Tuhan “seakan-akan” hilang.
Pernyataan Anā Allāh atau Anallah adalah ekspresi dari pengalaman persatuan dengan Tuhan, yang dalam bahasa sufi disebut sebagai wahdat al-wujud (kesatuan wujud). Konsep ini mengajarkan bahwa segala sesuatu yang ada berasal dari Tuhan dan selalu bergantung kepada-Nya. Ketika seorang sufi mencapai maqam (tingkatan spiritual) yang tinggi, ia merasa begitu dekat dengan Tuhan sehingga yang ada hanyalah Tuhan, dan dirinya seolah-olah “sirna” atau hilang dalam wujud-Nya.
Namun, pandangan ini tidak menganggap bahwa manusia menjadi Tuhan dalam arti literal. Sebaliknya, hal ini adalah sebuah ekspresi dari pengalaman spiritual mendalam di mana seorang hamba menyadari kebesaran Allah dan kefanaan dirinya secara total.
Anā Allāh atau Anallah dan pernyataan serupa lainnya bukanlah klaim keilahian dalam arti literal, tetapi merupakan ungkapan dari pengalaman spiritual yang mendalam di mana seorang sufi merasa dirinya lebur dalam kebesaran dan kehadiran Allah. Pengalaman ini merupakan bagian dari perjalanan spiritual yang sangat tinggi dalam Tasawuf dan menggambarkan kesadaran akan kefanaan diri dan kebesaran Tuhan. Memahami makna ini dengan benar bisa menginspirasi kita untuk hidup dengan penuh ketundukan, ketakwaan, dan rendah hati, menyadari bahwa semua yang ada hanyalah karena kehendak Allah, dan hanya Dia yang memiliki hakikat sejati.
Sejauh mata memandang, seluas semesta pengalaman dan ilmu pengetahuan kita-manusia hanyalah tetes dari samudra cakrawala ke-Maha Besar-Nya. Kenduri Cinta Edisi November 2024 mengusung Cakrawala Anallah, bahwasanya kita dihadapannya tak berdaya apa-apa, namun bersama di dalam Rahman-Rahim-Nya kita dapat bahagia-bergembira menjalani menghadapi la’ibun wa lahwun kehidupan dunia.