Bersemayam di Negeri Al-Quran
“Kami ini jumlahnya hanya beberapa biji. Tidak punya daya apa pun untuk melakukan perubahan di lingkungan kami. Jangankan Indonesia yang terlalu besar dan terlalu luas serta terlalu ruwet ini. Maka sebagai kaum yang kecil dan sangat minimal jumlahnya, sekurang-kurangnya kami sendiri jangan sampai kehilangan nikmat dari Allah. Maka sebisa mungkin kami melakukan perubahan-perubahan atas diri kami sendiri…” – Toling, Bersemayam di Negeri Al-Quran
Tema Pengajian Padhangmbulan, Sabtu, 24 Februari 2024, pukul 20.oo WIB di Desa Mentoro Kec. Sumobito Kab. Jombang, tidak mengajak jamaah melarikan diri dari kenyataan, lalu bersembunyi di balik pembenaran keputusan subjektif diri sendiri. Sesakit dan sepedih apa pun kenyataan yang harus dihadapi, Allah sudah menakarnya sesuai kemampuan hamba-Nya.
Ayat yang kerap dijadikan sandaran adalah “Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya” (Al-Baqarah: 286). ”Tidak membebani” dapat diartikan bahwa Allah tidak memaksa seseorang melakukan pekerjaan (beserta tanggung jawabnya) yang berada di luar jangkauan kemampuannya.
Sasaran pemberitahuan ayat tersebut adalah seseorang, individu, person—bukan Allah. Apakah seseorang yang menjadi sasaran dari “sikap” pernyataan Allah itu memahami kapasitas dirinya, mengerti jangkauan kemampuannya, menyadari fungsi dan perannya? Apakah seseorang mengerti bahwa dirinya, umpamanya, adalah siswa kelas 5 SD sehingga tidak dipaksa untuk menjawab pertanyaan siswa kelas 12 SMA?
Kalau didalami lagi: ini bukan terutama saya, Anda, dan kita semua adalah siswa SD, SMA, Profesor, Ulama atau pedagang nasi goreng, tetapi: apakah kita telah melakukan ijtihad — mendayagunakan potensi, fadlilah, bakat, talenta — yang dianugerahkan Allah untuk menanam kebaikan?
Kalau pun kita menyadari bahwa “Jangankan Indonesia yang terlalu besar dan terlalu luas serta terlalu ruwet ini” berada di luar jangkauan kemampuan kita untuk melakukan perubahan, apakah tidak ada yang dapat dikerjakan, diam saja, lalu putus asa?
Pasti ada yang dapat dikerjakan. “Sebagai kaum yang kecil dan sangat minimal jumlahnya, sekurang-kurangnya kami sendiri jangan sampai kehilangan nikmat dari Allah.” Ini kewajiban dasar sebagai manusia, hamba, dan khalifah Allah SWT. Ruang lingkupnya adalah iman. Ketika dikurung oleh situasi sebab-akibat dholuman jahula, jangan sampai kita hilang iman.
“Maka sebisa mungkin kami melakukan perubahan-perubahan atas diri kami sendiri,” adalah ruang lingkup ilmu yang memang seyogianya dikerjakan oleh siapa pun. Bahkan esok hari menjelang kiamat, sesuai kapasitas dan kemampuan masing-masing kita tetap menanam kebaikan yang bermanfaat untuk diri kita dan lingkungan.
“Kami bekerja keras tiap hari mencari nafkah semampu-mampu kami. Sekedar supaya tidak kelaparan dan mengupayakan punya tempat berteduh. Wala tansa nashibaka minad-dunya. Sekedar supaya tidak mati kelaparan di dunia. Tetapi hati, pikiran dan jiwa kami kalau bisa bertempat tinggal di Negeri Al-Qur`an…,” demikian saran Junit dan menjadi tekad kita bersama.
Bersemayam di Negeri Al-Quran, dengan demikian, memasang kewaspadaan bahwa “Baginya ada sesuatu (pahala) dari (kebajikan) yang diusahakannya dan terhadapnya ada (pula) sesuatu (siksa) atas (kejahatan) yang diperbuatnya.” Ayat ini menguliti kesemberonoan (sekelompok) manusia yang kemampuannya hanya bisa menyatakan aku dan kami pasti benar. Dia dan mereka pasti salah.
“Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami. Maka, tolonglah kami dalam menghadapi kaum kafir.”
Doa itu kita batinkan setiap saat sambil tetap bekerja untuk keluarga dan bersedekah untuk Indonesia.