Belajar Analogi Kereta Shalawat dan Doa
Para ulama menyatakan, bahwa amalan yang pasti diterima Allah adalah shalawat. Perihal ini kita dapat menyimak (dan berpijak) salah satu pernyataan ulama besar Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi dalam Kitab Kifayatul Atqiya, yang artinya: “semua amal ibadah berpotensi diterima dan ditolak Allah kecuali shalawat kepada Nabi Muhammad Saw, karena ibadah shalawat dipastikan penerimaannya sebagai bentuk penghormatan kepada Nabi agung Muhammad Saw.”
Selain pasti diterima, amalan shalawat ini juga istimewa. Bagaimana tidak, Allah Swt memerintahkan kita semua untuk melakukan ibadah lain seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lainnya, tetapi Allah sendiri tidak melakukannya. Nah, khusus shalawat, Allah menyuruh kita bershalawat, dan Allah pun turut melakukannnya. Bahkan sebelum Allah memerintahkan kita untuk bershalawat, Dia sendiri sudah melakukan shalawat kepada Nabi Muhammad. Hal itu termaktub dalam firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 56.
Sungguh Allah dan malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Muhammad Saw. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk nabi. Ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.
Dengan alasan valid itulah mestinya bershalawat ini kita jadikan hobi. Hobi yang kemudian jadi habit. Sehari-hari. Setiap saat, setiap waktu. Setiap detik, menit, jam, lisan ini secara otomatis ndremimil bershalawat. Sadar atau tidak sadar. Ibadah yang sangat murah dan mudah untuk dilakukan, tetapi pasti diterima Allah Swt. Luaaar biasa.
***
Di sisi lain, shalawat ini juga ajaib khasiatnya. Hal ini berkaitan dengan doa. Seorang kiai muda di tempat tinggal saya pernah menyampaikan ke para jamaah yasinan. “Sebaiknya, awali dan akhirilah doa-doa kita dengan pujian shalawat kepada Kanjeng Nabi.”
Apa alasannya? Sederhana.
Di depan dikemukakan bahwa shalawat merupakan amalan yang pasti diterima. Karena pasti, maka penting untuk dilakukan di awal. Namanya awalan ya, yang pasti-pasti aja. Nggak resiko! Cari aman. Lha wong pasti kok, ngapain kita ragu untuk melakukan? Maka, sebelum merapal doa-doa permohonan ke Allah, kita awali dulu dengan bershalawat kepada Nabiyullah. Allahuma shalli ‘ala sayyidina Muhammad. Berikut bacaan shalawat lainnya (sebisa kita). Setelah shalawat dilantunkan, barulah hajat kita utarakan. Dengan suara lirih atau cukup dalam hati dipersilahkan. Sungguh Allah Maha Mendengar dan Mengetahui. Innaka sami’un alim.
Seberes doa, hajat, dan munajat diikrarkan, diakhiri kembali dengan bershalawat. Awali dan pungkasi dengan shalawat. Awal diterima, akhir juga diterima. Pertanyaannya, kalau awal dan akhir diterima, kira-kira bagian yang tengah (yang berisi doa-doa kita) apakah diterima atau tidak?
Mari kita onceki pelan-pelan.
Supaya lebih logic, dan mudah dipahami, coba konsep shalawat-doa kita analogikan ke cara kerja sebuah kereta. Jadi, kita anggap shalawat dan doa itu seperti rangkaian gerbong kereta api. Awalan shalawat adalah lokomotif. Bagian mesin kereta yang paling depan. Lalu doa hajat kita adalah gerbong kereta bagian tengah. Sedangkan akhiran shalawat yakni gerbong kereta paling belakang.
Lokomotif, selaku mesin utama akan bekerja “menarik” rangkaian gerbong kereta yang ada di belakangnya. Misal, kereta Argo Wilis rute Solo Balapan tujuan stasiun Gubeng, Surabaya. Perjalanan kereta Argo Wilis akan menempuh jarak sejauh 263 kilometer dalam waktu 3 – 4,5 jam. Ketika loko Argo Wilis sampai di stasiun Gubeng, pastilah gerbong-gerbong kereta di belakangnya juga bebarengan tiba di sana. Beruntun. Berurutan. Tidak mungkin tercecer, atau ketinggalan. Lokomotif akan sampai di stasiun tujuan bersama dengan rangkaian gerbong kereta.
Nah, dengan memakai konsep “kereta” tersebut, maka doa-doa yang diawali dan diakhiri dengan shalawat, layaknya pasti diterima. Kalau bagian depan dan belakang diterima (sampai ke Allah), mosok yang tengah tidak? Begitu logikanya.
Logic kan?
***
Di saat pikiran dan hati ini meyakini cara kerja rumus “kereta shalawat dan doa”, sayup-sayup terdengar sayatan biola lagu sendu Tuhan Aku Berguru KepadaMu yang dinyanyikan oleh Kiai Kanjeng. Lirik yang sangat menyentuh ini ditulis oleh Mbah Nun.
Tuhan aku berguru kepada-Mu
Tidak tidur di kereta waktu
Tuhan aku berguru kepada-Mu
Meragukan setiap yang kutemuKelemahan menyimpan berlimpah kekuatan
Buta mata menganugerahi penglihatan
Ketika aku tahu, terasa betapa tak tahu
Waktu melihat betapa penuh rahasia
Gelap yang dikandung oleh cahaya
Seketika keyakinan saya memudar. Saya meragukan sendiri konsep analogi “kereta shalawat—doa” yang saya kemukakan itu. Jangan-jangan itu tidak benar. Jangan-jangan itu hanya asumsi bodoh diri saya sendiri. Yang benar-benar mutlak tahu kebenaran hanyalah Allah. Allah-lah yang Maha Segala Tahu. Sedangkan hamba sok tahu. Atau hanya sedikit tahu. Ketika aku tahu, terasa betapa tak tahu. Ya Tuhan, maafkanlah kekerdilan hamba-Mu.
Bahkan level Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di gua Hira, dan diminta Malaikat Jibril untuk iqro’ (bacalah), beliau dengan rendah hati mengatakan ma ana bi qori’ (saya tidak bisa membaca). Seorang hamba yang senantiasa merasa tidak tahu/ tidak bisa melakukan segala sesuatu tanpa pertolongan Allah, niscaya mendapatkan derajat yang tinggi di sisi-Nya.
Walloohu ‘alam bi shawab
***
Tuhan, aku benar-benar berguru Kepada-Mu. Meragukan setiap yang kutemu. Diterima atau tidak doa-doaku, hamba akan tiasa bershalawat untuk Kanjeng Nabi, sebagai rasa hormat-cinta kami. Serta bersujud sepanjang hidup sebagai wujud tunduk dan syukur atas segala kemurahan-Mu.
***
Selamat menyongsong tahun baru, kawan. Walau masa-masa berat akan datang, semoga kita kuat dan ditangguhkan. Rabbana atina min ladunka rahmatan wahayyi’ lana min amrina rashada. Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad.
Gemolong, penghujung tahun 2024