CakNun.com

Awalnya Baperan Kemudian Berperan

Didik W. Kurniawan
Waktu baca ± 3 menit

Iya begini. Melow pasti yak. Kalau dipikir sudah sangat lama sekali tidak melihat Simbah secara fisik. Tapi ya begitu itu regulasi waktu. Yang kadang saya sendiri banyak protesnya. Kenapa sih mesti menua. Kenapa sih mesti regenerasi. Kenapa tidak semuanya abadi. Kan tugas Tuhan gampang, tinggal meridhoi. Apa sih susahnya bagi Beliaunya itu. Maap yak. Memang baru baper ini. Kayak rasanya kangen itu tiada henti. Sampai yang paling agak konyol, saya sempat berpikir apa pindah ke kota Jogja saja yak. Biar bisa sak wayah-wayah sowan. Saya pikir, ah lebih dekat. Rindu ini bakal ketemu obat. Tapi kan, baru saja ambil rumah subsider kower-kower di Sukoharjo. Apa iya harus plung plas begitu saja langsung tancap gas pindah ke Jogja. Anak-anak lagi lucu-lucunya, ibuknya lagi cantik-cantiknya, bapaknya lagi pekok-pekoknya e.

Oh iya perkenalkan nama saya Didik W. Kurniawan. Tiwas nulis ngoyo woro nanti panjenengan semua malah mengernyitkan dahi sembari bertanya, sopo sih koen? Saya bapak dari tiga orang manusia dan suami dari seorang manusia juga. Baru saja, belum ada setahun ini akhirnya kami sekeluarga menempati rumah non-kontraktor. Namun mencicil. Agak sedikit sama saja sih. Hu’um. Dan baru beberapa bulan terakhir ini saya mulai agak aktif di simpul Maiyah Suluk Surakartan. Suluk Surakartan sendiri memang sudah lumayan lama dan masih aktif. Saya saja yang memang kurang begitu mendekat. Buat apa sih kumpul-kumpul gitu. Begitu saya pikir. Kayak nggak ada urusan yang lebih penting buat dikerjakan. Ha???

Tunggu tunggu tunggu. Jadi begini kisanak. Kalau dipikir-pikir lagi, kegiatan macam Suluk Surakartan itu mulainya, malam. Iya. Malam. Bisa sekitar jam 21.00 atau lebih. Berakhir kira-kira jam 23.00, paling lama jam 24.00. Anakku wes turu. Sak ibune. Berarti iso dong yak saya ikut ngumpul. Masalahnya adalah ada di saya ternyata. Saya jam segitu wes semaput. Wes ngorok mbuh tekan ngendi ngimpine. Jadi ya maap yak kalau saya jarang datang dulu. Kalau sekarang udah mulai aktif ini. Tugas saya seperti biasa cukup mendengarkan. Karena menurut pemahaman saya serapan awal yang bisa dilakukan untuk mencerna ilmu adalah mendengarkan. Sambil mencoba mengolah waktu. Semoga jarang keturon aja.

Aslinya juga ada sisi-sisi menyapih diri saya sendiri dari forum itu. Sedikit bersembunyi. Sedikit lebih baik tidak banyak yang tahu. Karena ada hal-hal yang sepertinya membebani menurut saya. Misalnya kayak gini. Nggak ada angin, nggak ada hujan ada salah satu wali murid mengajak ngobrol. Random aja gitu. Pembahasan menukik ke pengelolaan informasi sekarang ini. Saya urun pandangan. Dan responnya adalah, wah murid e Cak Nun emang pinter-pinter, cerdas kowe mas. Aku meneng klakep. Iki wong iki sejak kapan ngerti informasi Cak Nun nduwe sekolahan? Ketoke ya nggak punya sekolah, pondok, universitas. Iki piye konsepe. Aku tidak memperkenalkan diri nek bersinggungan dengan Maiyah lho. Tiba-tiba nyebut kayak gitu. Aku mesem. Batinku langsung mengirim sinyal Al Fatihah ke Simbah. Bar kuwi aku haha hehe haha hehe haha hehe tok setiap ketemu dengan itu orang. Takut GR saya e. Tapi ya tak amini juga aku cerdas sih. Iso nulis sangat intelek dan bermutu seperti ini kan ya cerdas kan. Iya dong.

Dari hal-hal yang kadang lucu itu kemudian pelan-pelan saya mulai merinci apa sih yang selama ini sudah saya dapatkan dari persinggungan saya dengan Mbah Nun dan forum Maiyah? Forum yang membuat orang betah melek, betah duduk, betah belajar, dan ketika pulang memetik ilmu secara gretongan. Dan ternyata, banyak saudara-saudara. Sampai hari ini saya masih seneng nulis ya gara-gara persinggungan itu juga. Ketoke aku awet enom ya gara-gara forum itu juga. Ketoke aku sehat ya gara-gara forum itu juga. Ya iya, semua atas perkenaan Alloh. Sek to, wong judule baperan lho. Tak lanjut sek sing baper.

Maka yang terjadi selanjutnya adalah. Wah apa nih yang bisa kulakukan? Kulakukan ya. Bukan ku-laku-kan. Bukan ngedol Maiyah yaaa ges yaaa… setelah beberapa juta kali apa ya, wah kayaknya sudah saatnya ambil peran nih. Dengan cara menggunakan daya guna manusia yang ada di dalam diri saya untuk dipancar luasnya menjadi manfaat dengan mencoba pelan-pelan membesarkan skala kebermanfaatan itu. Asek kok njlimet iki. Mencoba menjadi pribadi sing berdaulat, misale nggak seneng merepotkan orang lain termasuk pemerintah. Eh. Mencoba menjadi pribadi sing tadinya kerja sering terlambat jadi sing ora terlambat. Menjadi pribadi sing lebih senang belajar dan belajar. Kayak-kayak gitu. Sampai saya sendiri heran. Dulu jarak rumah ke tempat kerja, deket tapi sering nggak tepat waktu. Sekarang rumah jauh, anak nambah, malah tidak terlambat.

Jadi kangen dan rinduku itu lebih baik saya jadikan bahan bakar untuk menjadi pribadi yang lebih baik setiap detiknya. Rasane lho setiap hari pengen ke Jogja ke Jogja ke Jogja. Tapi nek ke Jogja kok malah dadi penyumbang sampah. Nanti Jogja semakin banyak sampahnya pripun?

Rindu tak bisa bertemu bukan berarti membuat lesu. Karena ada penetapan regulasi waktu. Aku, kamu, dan kita bakal digantikan dengan makhluk-makhluk berikutnya. Kalau merasa sudah saatnya, silakan ambil peran sebesar-besar manfaatnya. Bisa kok. Syukur sehat, ceria, bahagia, saldo triliyunan jumlahnya. Begitu yak. Nanti tak ceritakan yang ringan-ringan lagi. Semoga saya makin seneng nulis lagi. Karena salah satu yang diperjuangkan Mbah Nun dan Maiyah adalah bahagia bersama-sama. Bahagia dhewe nyat wagu og Mbah. “Iso, iso, iso nak. Iso…”

Lainnya

Topik