Artifisial Indonesia
Indonesia disebut sebagai negara yang kaya raya. Negara yang Gemah Ripah Loh Jinawi. Benar-benar dan sungguh kaya dalam arti yang sebenarnya. Bukan kaya dalam arti klise atau kaya dalam makna konotatif. Bentang bumi pertiwi yang begitu luas dari Sabang hingga Merauke, menyimpan begitu banyak kekayaan dari beragam dimensi di dalamnya. Bahkan, bisa dibilang Indonesia adalah sebuah negeri cipratan surga.
Negara ini dianugerahi kekayaan alam dan potensi manusia yang luar biasa. Hampir semua jenis tambang mineral ada di negeri ini. Negeri kepulauan, dengan luas tanah yang tak terkira, sehingga keanekaragaman hayatinya pun tumbuh dengan subur. Begitu juga dengan hasil lautnya, betapa komoditas laut Indonesia pun sangat kaya. Dengan penduduk yang berjumlah 280 juta lebih ini, dengan segala potensi yang ada, namun faktanya kita belum merasakan terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia seperti yang tertuang dalam Pancasila sila ke-5.
Dalam rentang usia 79 tahun pasca proklamasi kemerdekaannya, bangsa ini telah mengalami perputaran roda kepemimpinan yang berbeda-beda, mulai dari Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi hingga sekarang banyak disebut sebagai Orde Pasca Reformasi, namun belum satupun rezim yang mampu mewujudkan cita-cita luhur itu. Dan sebentar lagi, bangsa Indonesia akan menyambut rezim yang baru lagi.
Pertanyaannya, apakah rakyat masih akan percaya atas kepemimpinan baru ini? Apakah rakyat masih bisa menggantungkan harapan dan cita-cita besar kesejahteraan yang selama ini ditunggu-tunggu?
Begitu seringnya kita ditipu daya oleh para penguasa, hingga kemudian memuncak pada satu titik kejenuhan dan amarah yang tak lagi bisa terbendung. Satu persatu janji yang pernah terucap, justru muncul dalam bentuk praktek pengkhianatan moral atas sumpah jabatan yang telah diucapkan dan dilakukan secara terang-terangan di hadapan jutaan rakyat Indonesia.
Sedikitpun tak ada perwujudan janji atas amanah yang diemban yang berorientasi kepada kemaslahatan rakyat yang ada di lapisan menengah dan bawah. Hampir secara mayoritas, praktek kepemimpinan yang berjalan, justru sangat aktif dalam melakukan rekayasa-rekayasa pola dan sistem bernegara yang ujungnya hanya akan menguntungkan segelintir kelompok dan golongan mereka sendiri.
Namun, yang lebih menyedihkan lagi adalah fakta bahwa rakyat juga seperti menikmati jebakan demi jebakan penguasa. Hari ini kita mengutuk penguasa, 5 tahun lagi kita juga akan memilih mereka yang akan kita kutuk di masa depan. Rakyat Indonesia kecelik berkali-kali, tertipu berkali-kali, diperdaya berkali-kali, dijebak dalam lubang ketidakberdayaan, bahkan menikmati ketidakberdayaan itu.
Tidak mengherankan jika kemudian muncul stigma bahwa kebodohan dan ketidakberdayaan rakyat itu memang dirawat dan dipiara oleh penguasa. Pada satu waktu, kesadaran akan pentingnya untuk memahami bagaimana Negara dikelola muncul secara kolektif, namun kemudian kembali menguap. Tidak banyak kelompok yang sanggup untuk menjaga nafas panjang untuk memperjuangkan itu. Sementara, semakin hari pekerjaan rumah bangsa Indonesia semakin banyak. Beberapa waktu lalu, bangsa ini meresahkan situasi politik yang semakin ngawur dikelola oleh Pemerintah, sementara masih banyak isu-isu hukum dan juga HAM yang masih belum selesai, dan nyatanya tidak semua pihak memiliki concern yang sama tentang itu.
Bangsa ini tidak kekurangan manusia-manusia unggul. Mereka yang cakap di bidang ekonomi, hukum, sosial, kebudayaan, pendidikan dan lain sebagainya berhasil menempati posisi-posisi penting di Pemerintahan. Undang-undang Negara sudah disusun sedemikian rupa, bahkan founding fathers bangsa ini telah menanamkan pondasi dasar negara yang kuat berupa Pancasila. Pada level masyarakat kelas menengah pun, bangsa ini tidak kekurangan talenta-talenta yang berkualitas.
Kenduri Cinta edisi September ini mengangkat tema ‘Artifisial Indonesia’. Didasari atas uraian pembuka di atas, Kenduri Cinta ingin mengajak jama’ah untuk kembali menyegarkan kembali ingatan serta menyalakan kembali suar peringatan, dan juga meningkatkan kewaspadaan atas setiap kejadian yang ada di sekitar kita, baik yang telah dan akan terjadi ke depan. Keresahan atas gejala dan peristiwa sosial yang terjadi akhir-akhir ini, harus ditelaah sebagai sebuah peringatan alam dan sosio-kultural yang tidak biasa-biasa saja. Meskipun pada sebagian kelompok masyarakat yang lain tetap ada yang beranggapan, bahwa situasi saat ini dan ke belakang cukuplah baik-baik saja. Cak Nun seringkali mengingatkan kepada kita, jangan pernah lengah atas setiap peristiwa dan kejadian, kita harus selalu menjaga kewaspadaan.
Artifisial Indonesia, jika kita tarik ke makna pada masing-masing kata, maka kita mendapati bahwa memang hakikatnya Indonesia ini adalah sebuah artifisial. Karena sebelumnya, Indonesia tidak ada, kemudian beberapa orang bersepakat untuk membuat Indonesia menjadi ada. Setelah Indonesia menjadi ada, maka ada pekerjaan berikutnya adalah akan bagaimana Indonesia dikelola? Baik secara kumpulan masyarakat, kebudayaan, hingga pada akhirnya jika kita berbicara Indonesia sebagai sebuah Negara. Jadi, hakikatnya Indonesia ini juga merupakan hasil dari sebuah rekayasa, dan proses yang dilakukan oleh bangsa ini pun sudah sangat lama, hingga akhirnya kemudian bersepakat untuk menjadi Indonesia.
Ibarat dua sisi koin, setiap apapun yang ada atau terjadi di sekitar kita, hampir selalu terkandung dua sisi dimensi di baliknya. Di dalam kehidupan, pasti akan ada pertalian antara hitam dan putih, baik dan buruk, benar dan salah, begitulah seterusnya. Sebagai makhluk yang menyandang predikat ahsani taqwim, hendaknya kita senantiasa bersikap jernih, teliti dan mampu mengurai tabir atas setiap fatamorgana yang terjadi di depan mata.
Kita harus bijak dan jernih dalam memaknai kata rekayasa tersebut. Selama ini, kita secara tidak sadar sering terjebak dalam balutan konotasi negatif saat kata rekayasa diucapkan. Makna kata tersebut sesungguhnya tetap bersifat otentik selama belum diletakkan atau disandingkan dengan kata yang lain, yang pada ujungnya akan menghasilkan makna baru atas kata atau frasa tersebut. Bisa bermakna positif atau negatif.
Ketika kita membicarakan Artifisial Indonesia, tentu tidak hanya sekadar membincangkan Indonesia sebagai sebuah padatan Negara saja, tetapi juga pada turunannya harus kita bedah satu per satu. Dan tidak semua rekayasa itu bersifat buruk, seperti halnya teknologi, rekayasa dalam teknologi tidak selalu buruk, dan juga selalu ada dua mata pisau yang muncul bersamaan. Tinggal bagaimana manusianya melakukan rekayasa itu. Sayangnya, kata rekayasa saat ini lebih terkesan berkonotasi negatif, tetapi jika kita menggunakan frasa yang modern, banyak orang yang kagum. Maka, tema Artifisial Indonesia ini menjadi relevan dengan kondisi bangsa Indonesia hari ini.
Di dalam Al Qur’an Allah Swt. berfirman:
ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Artinya: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar Rum [30]: 41)
Pada ayat tersebut, terkandung sebuah pesan, sebagai manusia kita memiliki potensi membangun sebuah peradaban atau justru menghancurkan. Kita tidak boleh terbuai oleh kenikmatan sesaat, hingga kemudian berbuat semena-mena. Alih-alih menciptakan perencanaan-perencanaan demi membangun sebuah bangsa, padahal sesungguhnya sedang membangun tipu daya yang justru akan menjerumuskan kita kepada kehancuran diri kita dan umat manusia. Kita harus ingat, bahwa sebaik-baik pembuat tipu daya, tidak lain hanyalah Sang Maha Pembuat Skenario, Allah Swt.
وَمَكَرُوا۟ وَمَكَرَ ٱللَّهُ ۖ وَٱللَّهُ خَيْرُ ٱلْمَٰكِرِينَ
Artinya: Orang-orang kafir itu membuat tipu daya dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. (QS. Ali ‘Imran [3]: 54)
Artifisial Indonesia tidak selalu bermakna buruk, seperti halnya Artificial Intelligence yang akhir-akhir ini begitu marak dan selalu menjadi trending topic dalam perbincangan teknologi. Dan memang benar, jika pengembangan teknologi AI itu digunakan oleh orang yang tepat, maka akan menghasilkan manfaat untuk orang lainnya. Begitu juga dengan Artifisial Indonesia, jika pengelolaan Negara ini kita serahkan kepada orang yang tepat, bukan tidak mungkin cita-cita luhur yang tertuang dalam sila ke-5 di Pancasila itu akan terwujud dalam waktu yang tidak lama lagi. Sehingga Indonesia bukan hanya menjadi negeri yang gemah ripah loh jinawi, dan titi tentrem karto raharjo, namun juga disempurnakan menjadi baldatun thoyyibatun wa robbun ghoffur.
Wallahu a’lam.