CakNun.com

Ulasan “Syair Mahasiswa Menjambret” (Emha Ainun Nadjib)

Dibacakan Seteng Yuniawan pada acara SASTRA EMHA, 23 Desember 2024
Toto Rahardjo
Waktu baca ± 2 menit

Pada suatu hari, tergoda oleh berita yang seru di koran dan pengujian para tetangga, saya bertanya kepada kepenyairan saya, “Akhir-akhir ini, orang semakin ribut tentang pelajaran dan mahasiswa kriminal. Apakah benar puisi Anda tidak membutuhkan tema semacam itu, atau apakah masalah seperti itu tidak memerlukan puisi?”

Kepenyairan saya menjawab, “Saya tidak mengerti apa yang aneh jika mahasiswa mulai mampu menjambret, jika pelajar sudah berani mencuri pasta gigi dan sikat gigi, jika calon pemimpin bangsa telah memiliki keberanian untuk mencopet jam tangan dan mencuri sepatu. Saya tidak mengerti apa yang perlu diherankan.”

Namun, ini bukan soal heran atau tidak heran. Kami, orang-orang awam, seringkali terkejut oleh perkawinan antara dua hal yang seharusnya tidak pernah bersentuhan. Antara dunia penjambretan dan dunia pendidikan, terbentang jarak yang tidak hanya sangat jauh, tetapi juga sangat nyata. Jika ada dua nilai yang saling bertentangan, namun berhasil dipersatukan secara damai oleh sejarah dan perilaku manusia, hanya penyair yang tuli yang tidak akan tergoda untuk menuliskannya.

Kepenyair saya tertawa, “Mengapa Anda menganjurkan puisi untuk bergaul dengan hal-hal sepele? Para kaum terpelajar yang baru belajar berjalan, yang keterampilannya masih setengah-setengah—menggeledah tas teman kosnya, mencuri motor tetangganya, merencanakan penodongan, perampokan, pembunuhan apa belum pantas dipuisikan. Dunia kepenyairan tidak seendah itu. Jagat kesenian memerlukan masalah besar, seperti kesepian hati atau bunga dan kupu-kupu di pagi hari.

Namun, baiklah. Jika kaum terpelajar bersedia tidak tergesa-gesa. Jika para pelopor sejarah mampu menahan emosi dan sedikit bersabar. Jika para pemilik utama masa depan mau belajar dengan baik dan menunggu momentum yang tepat untuk kelak menjadi penjambret yang canggih dan tersembunyi, tanpa orang tahu bahwa mereka adalah penjambret—puisi saya masih akan membuka pintunya untuk suatu tawar-menawar.”

Apa yang sebenarnya ingin Anda katakan, kepenyairan saya? Penyair sangat berbakat dalam merusak kehidupan karena begitu mudah menemukan kata-kata, bahkan untuk keadaan yang samar-samar bagi mereka.

Dia tertawa lebih keras, “Samar-samar, kata Anda?” Dia menatap ke atas, “Jika mahasiswa mulai mampu melakukan tindakan kriminal, apakah dia diajari oleh dirinya sendiri? Ataukah dia dipandu oleh para penjambret yang mampu melakukan penjambretan sedemikian rupa sehingga ribuan orang tidak merasa bahwa isi kantong kehidupan mereka terus dijambret dari hari ke hari?”

Saya pikir itu bukan hanya sombong dan tergesa-gesa. Tetapi juga berangkat dari sangka buruk. Apakah kemampuan yang dahsyat dalam memotret sesuatu yang dimiliki penyair membuatnya tidak membiasakan diri untuk bersabar, menyaring, atau mengendapkan?

“Dengarlah,” dia menatap lebih tinggi, “Jika para kaum terpelajar mulai belajar melakukan kejahatan-kejahatan yang sebenarnya, apakah Anda berpikir Tuhan memang menakdirkan mereka demikian? Ataukah itu hasil dari struktur hubungan kehidupan yang menyediakan banyak lintah? Dengarlah, air mengalir tidak tiba-tiba sampai di muara.

Dan jika mata Anda melihat awan bergerak, Anda harus juga melihat samudera yang menghampar dan panas matahari yang memanggangnya. Mendung tidak mengepulkan dirinya sendiri dan kemudian hadir menyelimuti hari-hari Anda sebagai hantu yang tanpa asal-usul.”

“Jika mahasiswa mulai mampu menjambret di depan umum,” dia tidak memberi saya kesempatan untuk merespons, “Siapakah gurunya? Tangan siapakah yang melemparkan mata tombak kejahatan? Petani mana yang menanam benihnya dan merawat pertumbuhannya? Jika kaum terpelajar mulai mampu melakukan tingkat kejahatan yang paling dangkal dan remeh, apakah karena mereka memang orang jahat?”

“Kebaikan dan keluhuran tidak diterjemahkan ke dalam buku-buku pelajaran. Gedung-gedung sekolah menyediakan laboratorium bagi anak-anak untuk menjadi pintar, dan tidak terutama untuk menjadi baik.” []

Nitiprayan, 24 Desember 2023

Toto Rahardjo
Pendiri Komunitas KiaiKanjeng, Pendiri Akademi Kebudayaan Yogyakarta. Bersama Ibu Wahya, istrinya, mendirikan dan sekaligus mengelola Laboratorium Pendidikan Dasar “Sanggar Anak Alam” di Nitiprayan, Yogyakarta
Bagikan:

Lainnya

Kaum Muda Mendaras Belantara Zaman

Kaum Muda Mendaras Belantara Zaman

Setelah melihat dan mempertanyakan, sesungguhnya mana yang kita sebut modern dan tradisional itu. Jangan-jangan sebetulnya yang kita sebut kolot kuno dan segala macam itu lebih modern daripada apa yang kita lakukan sekarang gitu.

Redaksi
Redaksi
Sastra Emha is Back

Sastra Emha is Back

Nanti malam, SastraEmha kami hadirkan kembali. Masih membawa misi yang sama: nguri-nguri karya beliau Mbah Emha Ainun Nadjib.

Ahmad Syakurun Muzakki
A.S. Muzakki