CakNun.com

Tradisi “Urip Iku Urup”

Agus Wibowo
Waktu baca ± 7 menit

Hanya orang naif yang penuh kebencian yang tak mampu melihat kegunaan suatu fenomena. Hanya orang yang tidak memahami berkah air hujan yang mengumpat saat hujan turun. Hanya orang yang hanya memikirkan selera diri yang selalu menuntut orang lain dan tak mau tertuntut bahkan tak mau tertuntun. Ironisnya ketertundukan tetap terjadi, bukan tunduk kepada Tuhan yang telah mengatur dan menuntun manusia untuk giat tumbuh secara berimbang, melainkan tunduk kepada pihak yang menyokongnya dengan bermacam kemudahan dan kesenangan.

Simpul-Simpul Delta

Menurut Romo Manu, di jaman dahulu para perintis peradaban dididik pada delta-delta, yakni gundukan tanah yang diapit oleh dua aliran sungai. Disana mereka tinggal dalam asrama (ashram) tempat untuk melelahkan diri. Delta ini cukup luas sehingga bisa ditinggali dan bahkan didirikan bangunan. Mereka juga belajar memperdalam kitab, mendengarkan uraian guru, dan melakukan kegiatan sehari-hari yang melelahkan, seperti bertani, beternak, dan lain sebagainya. Mereka memang lelah namun ada kebahagiaan lebih yang dapat dirasakan baik lahir maupun batin.

Maiyahan di seantero penjuru bekerja dan bergeliat dengan semangat membangun cinta kepada Allah dan Rasulullah, bisa menjadi delta-delta model baru. Setiap sebulan sekali berkumpul sinau bareng, ada yang lebih. Ada yang berkunjung antar simpul, ada yang memang simpul bersangkutan menggelar sinau bareng lebih dari sekali selama sebulan. Ada pula pertemuan-pertemuan antar penggiat seminggu sekali yang tak sedikit simpul mengupayakannya secara rutin. Tidak ada gaji untuk mereka, tapi warga Maiyah ini merasa menemukan kebahagiaan lebih. Beberapa simpul juga telah mengepakkan hasil sinau bareng dalam bentuk kegiatan aplikatif, seperti bertani, berdagang, mengembangkan teknologi baik analog maupun digital, melakukan kegiatan pendidikan di daerahnya, merintis kebudayaan dan kesenian pada lingkungannya, dan banyak hal-hal yang menjadikan Maiyah tengah membentuk diri menjadi masyarakat terdidik secara lahir batin untuk dandan/ndandani (memperbaiki/menghiasi) kehidupan sebagaimana asrama pada delta-delta yang diapit oleh dua arus, arus pengabdian dan arus kekhalifahan.

Ide Amanah

Ide amanah ini dicuri dan dipelintir untuk mengelabui manusia. Manusia yang secara naluri hanya mau tunduk kepada Tuhan pun pada akhirnya dikikis dengan gempuran ringan namun berkala dan repetitif. Tidak mudah bagi fitrah manusia untuk menukar keyakinan hidupnya dengan perangai baru yang menjauhkan dari kelaziman bertuhan. Manusia harus mengikal benang, menenun, untuk berpakaian. Harus menjaga air bersih untuk mereguk kesegaran dan mendampingi kebutuhan hidup. Harus menjaga tanah dan gunung agar tetap subur berseri. Harus menjaga hutan untuk tetap rindang sebagai bagian dari penopang keperluan sehari-hari. Harus menanam untuk punya ketersediaan pangan. Harus saling bergandeng tangan untuk menghimpun kekuatan menghadapi tantangan kehidupan. Manusia berkomunal bukan untuk berkompetisi, ini akan sulit mengganti sesembahan dengan sesembahan baru yang tidak haq, asalkan tetap sama-sama punya pihak Absolut yang diyakini memberinya tuntunan dan ada pihak utama yang menjadi suri teladan. Pihak Absolut itu adalah Tuhan, dan suri teladan utama itu adalah Rasulullah Muhammad SAW.

Akan tetapi, ada satu keunggulan yang bisa menjadi daya tembus permisifisme kepada tawaran baru, yakni rasa percaya, kepercayaan, bisa dipercaya, bisa menjawab bahwa yang disodorkan terbukti bisa meringankan urusan manusia tanpa harus kehilangan sesembahan. Hanya menggesernya sedikit demi sedikit hingga manusia tidak sadar telah tergiring pada pandangan hidup yang buram hingga kehilangan sesembahan karena mengagungkan sesembahan baru, bisa berupa ideologi, posisi, kecanggihan teknologi, kekuatan dan kekuasaan.

Orang-orang mulai tergiring pada berbagai macam produk kemudahan, memasak mudah, memiliki rumah mudah, berpakaian mudah, bepergian mudah, berbelanja mudah, berkomunikasi mudah. Manusia hanya perlu bekerja seperti biasa untuk kemudian membeli itu semua dari hasil kerja kerasnya. Kalau kurang uang, meminjam juga mudah. Kalau tak bisa bayar, mudah untuk mencelakakan orang lain, akhirnya mudah pula mengeluarkan sifat buruk untuk bertahan hidup. Serta merta ruang untuk perangai buruk lebih terbuka daripada ruang untuk perangai mulia. Manusia tak lagi mengutamakan kemuliaan hidup sebab merasa hidup bersama keluarga perangai yang tak mulia pula. Diam-diam manusia menjadi tumpul dalam bersikap baik, juga kian dungu dalam memproduksi, menjadi tercambuk dan terdera situasi, dituntut untuk terus menghasilkan susu agar bisa setiap hari diperah, dituntut untuk terus sehat dan bugar agar bisa terus diberdayakan, di himpit oleh kepentingan orang lain yang lebih mampu secara finansial. Keahlian manusia dalam bertahan hidup memudar, berbondong-bondonglah manusia masuk ke dalam sarang laba-laba yang sebelumnya tampak berkilau gemerlapan, namun ternyata menjerat dan memangsanya. Tidak bisa berkutik, terikat dan terancam.

Lainnya