CakNun.com

Terus Ber-Maiyah dan Membumikan Nilai-Nilainya

Wawan Susetya
Waktu baca ± 3 menit

Maiyahan Segi Wilasa Agung (SWA) Tulungagung malam Sabtu Legi (28/7) lalu terasa berbeda dengan diskusi-diskusi sebelumnya. Dengan mengangkat tema Adamuhu Kawujudihi, suasana diskusi Maiyah malam itu terasa lebih serius dan khusyuk.

Memang, hari-hari ini teman-teman pegiat Maiyah SWA Tulungagung dan begitu pula teman-teman pegiat Simpul maupun Lingkar Maiyah di manapun berada tengah prihatin atas sakitnya Cak Nun, marja’ Maiyah. Itulah sebabnya sebelum memulai maiyahan, teman-teman dengan dipandu Mas Dhiya’ bertawashshul Al-Fatihah untuk kesembuhan beliau.

Meskipun Cak Nun sedang gerah dan istirahat di RS Sardjito Yogyakarta, sehingga tidak bisa menemani teman-teman jamaah Maiyah di berbagai tempat di Nusantara ini. Tapi keadaan tersebut tidak melemahkan semangat para pegiat Maiyah di manapun untuk membumikan nilai-nilai yang telah ditebarkan beliau melalui kegiatan rutin diskusi bulanan.

Kepada teman-teman yang hadir dalam maiyahan di base camp Tulungagung, saya menceritakan awal mula ketakjuban saya tentang pandangan yang sangat menarik perhatian saya. Dalam berbagai tempat, bahkan melalui tulisan esainya, Cak Nun seringkali menjelaskan. Nabi Musa yang gagah perkasa itu melambangkan kebenaran (al-haq). Nabi Isa yang lembut melambangkan kebaikan (al-hubb). Pernikahan atau perpaduan keduanya akan melahirkan keindahan atau estetika yang dibawa oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Dan, karena nilai tersebut sangat indah menurut saya, maka ketika hendak menikahi seorang gadis kelahiran Tuban tahun 2003, saya menuliskan quote tersebut dalam undangan pernikahan.

Belum lagi mengenai nilai-nilai islami dan mendalam lain yang disampaikan Cak Nun dalam berbagai kesempatan begitu sangat inspiratif, sehingga seringkali saya jadikan hujjah atawa dasar ketika berdiskusi dengan teman-teman. Misalnya, mengenai kebenaran itu ada tiga, yaitu benere dhewe (benarnya sendiri), benere wong akeh (benarnya orang banyak atau perspektif dalam demokrasi) dan bener kang sejati (benar yang sejati).

Usai Shalat Jumat, misalnya. Ketika kita keluar dari masjid lalu melihat banyak orang peminta-minta, lantas bagaimana kita menyikapinya? Ya kalau tidak mempunyai uang sepeser pun tentu kita bisa terus melangkahkan kaki tanpa mempedulikan keadaan sekitar. Tapi masalahnya jika di kantong kita ada uang, meskipun hanya beberapa lembar ribuan, tapi kita tidak memberi selembar pun kepada si pengemis. Barangkali dari perspektif fiqh (hukum) kita tidak akan dikenai pasal telah melakukan pembiaran kepada orang-orang miskin itu.

Namun, sebaliknya dari perspektif akhlak-moral, tentu sikap kita yang apatis terhadap situasi seperti itu akan dipersalahkan sebagai orang yang tidak bermoral dan berakhlak. Terlebih lagi dalam perspektif takwa. Tentu bukan hanya kita saja yang harus berempati kepada para peminta-minta itu, tetapi juga kaum muslimin semuanya. Sebab takwa merupakan puncak perspektif dalam Agama Islam untuk menyikapi keadaan yang memprihatinkan seperti itu. Itulah perspektif fiqh (hukum), akhlak-moral, dan takwa yang tak bisa dilepaskan dari pengamalan sehari-hari.

Dan, alhamdulillah nilai-nilai kehidupan yang pernah ditebarkan oleh Cak Nun dalam berbagai kesempatan tersebut telah saya himpun bersama dua orang teman. Prof. Aprinus Salam (guru besar UGM) dan Dr. Alfan Alfian (dosen Unas Jakarta). Dalam buku Kitab Ketenteraman Emha Ainun Nadjib (Penerbit Republika, tahun 2001). Beberapa tahun selanjutnya, atas prakarsa Mas Alfan Alfian, buku tersebut diterbitkan ulang.

Setidaknya butir-butir nilai-nilai Maiyah yang telah ditebarkan oleh almarhum Cak Fuad dan Cak Nun di berbagai tempat di tanah air maupun luar negeri tersebut, telah banyak menginspirasi para mahasiswa di berbagai perguruan tinggi. Baik di dalam maupun di luar negeri. Untuk meneliti mengenai Maiyah terutama mengenai Tadabbur Maiyah.

Mas Jamal, salah satu tim Progress Yogyakarta yang kebetulan lagi di Tulungagung dan membersamai Maiyah Segi Wilasa Agung malam itu, menceritakan bahwa istrinya yang kuliah program Doktoral (S-3) di Chicago University AS, hari-hari ini juga sedang menyelesaikan proposal disertasinya mengenai Tadabbur, termasuk di dalamnya seputar Tadabbur Maiyah.

Dan, keponakan saya, Niken Larasingtyas yang mengambil jurusan IAT (Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir) diwisuda di UIN SATU Tulungagung, Sabtu (29/7) pun skripsinya berjudul: Peneladanan Asmaaul Husna dalam Perspektif Kepemimpinan (Tadabbur QS Al-Hasyr ayat 22-24 dalam Mushaf Al-Qur’an Tadabbur Maiyah Padhang Bulan). Tentu semua itu menambah rasa syukur kami.

Dengan mengikuti pengajian Maiyah terutama yang sering saya ikuti di Pengajian Padhangmbulan di Jombang yang diasuh oleh almarhum Cak Fuad Effendy dan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), dapat memperkaya cakrawala dan wawasan saya terutama dalam penulisan buku yang selama ini saya tekuni.[]

Lainnya

Sapta Pancitra Ratu

Sapta Pancitra Ratu

TEMA diskusi Lingkar Maiyah SWA (Segi Wilasa Agung) Tulungagung bersamaan dengan peringatan milad yang ke-7 (tujuh) di base camp Boyolangu (di rumah saya) pada Jumat malam atau malam Sabtu Legi (16/12) lalu yaitu mengangkat Sapta Pancitra Ratu.

Wawan Susetya
Wawan Susetya
Exit mobile version