Tentang Aku Ini Tiada
Sebuah pernyataan telah membuat seluruh pencatat sejarah di segala abad tak bisa melupakannya: “Aku ini tiada, yang ada Allah belaka”
Yakni kalimat yang pernah diucapkan oleh tiga orang dari jaman yang berbeda, tiga orang yang aku kejar hingga ribuan kali melintasi cakrawala
Orang pertama kupergoki di tengah padang pasir yang dikelilingi oleh hanya garis melingkar yang tak terkirakan luasnya sehingga langit menjadi sedemikian rendah dan mendung serasa mengambang di ubun-ubun
Ketika kutanyakan apa maksudnya, ia menjawab — “Apa yang aneh? Mustahil aku ada, sebab jika demikian maka kemutlakan Allah menjadi terkurangi.
Allah wajib ada, yang selain Ia wajib tak ada. Dengan kata lain, yang selain Allah itu tiada”
Tatkala kemudian kuburu dengan pertanyaan berikutnya — “Kalau demikian kenapa tak Tuan katakan bahwa alam semesta dan manusia serta segala makhluk lainnya pun tiada?” — ia hanya tersenyum, kemudian lenyap dari pandangan mata Maka kutempuh lagi perjalanan, siang dan malam, gelap dan terang, sampai kutemukan orang kedua yang pada dini hari itu sedang tidur lelap di atas pasir sebuah pantai laut utara
“Itu soal yang amat sederhana” — katanya, seolah sedang mengigau — “Setiap kali kupandangi diriku, menjadi jelas bahwa sesungguhnya aku tak ada. Setiap kali kudengar suara, kulihat benda dan warna-warna yang membuat kehidupan manusia ribut tak terkira-kira, yang kujumpai sebenarnya adalah tiada, dan itu membuatku tertawa tak henti-hentinya”
Kukejar ia — “Bukankah ini hanya sekedar gagasan yang berbeda mengenai ada dan tiada?” — orang ini malah sengaja memperkeras suara tertawanya.
Perjalananku sesudah itu tak terkisahkan lagi tingkat sepi dan lukanya, sampai pada suatu siang amat terik tiba-tiba aku tercampak di lapangan penyiksaan di tengah bangunan-bangunan rumah penjara
Seorang lelaki setengah telanjang, kumuh, tubuhnya penuh bercak-bercak darah dan wajahnya tak bisa lagi digambarkan – duduk hampir terkapar, beratus tali melilit dari berbagai arah, dua batu besar menindih dua kakinya, kedua tangannya dipegang oleh para algojo secara bergantian untuk dipakai memukul-mukul muka dan kepala lelaki itu sendiri
Belum sempat aku bertanya, ia menyapa — “Kalau kau hendak bertamu kepada Allah, tinggallah di sisiku barang sejenak. Tapi kalau engkau mencari aku, cepat pergilah. Aku tidak ada. Dulu pernah ada, sebab Allah membuatnya ada. Tapi sejak lama telah kuberikan kembali kepadaNya. Kini tak ada lagi yang tersisa. Aku sudah tiada. Yang ada tinggal Allah belaka”
“Jadi Allahkah yang berbicara kepadaku ini?” aku bertanya dengan perasaan menggigil
“Bukan. Bukan Allah. Jangan salah sangka”
“Jadi dengan siapa aku berbicara?”
“Dengan yang telah tiada. Telah habis segala yang kupunya, kuberikan kepadaNya. Kaki tangan dan seluruh tubuhku kupekerjakan untuk menjadi milikNya. Harta dan segala milikku telah kupersembahkan untuk segala yang dikehendakiNya. Masa silamku, masa sekarangku, masa depanku, cita-citaku, karirku, jabatan dan penghasilanku, seluruh kemungkinan, usia, hidup dan matiku, telah kuperuntukkan hanya bagiNya. Lantas tinggal aku yang tersisa. Itupun telah sepenuhnya kuserahkan kepadaNya. Sekarang tiada”
“Itulah sebabnya maka engkau dipenjarakan” kataku — “sebab untuk orang banyak, dirimu tak kau sisakan!”
“Engkau khilaf” — bantahnya — “segala yang dipersembahkan kepada Allah akan langsung menjadi milik semua hambaNya. Itulah sesungguhnya penjaraku di dunia”
1988.