Sinau Memaknai Kesehatan dari Mbah Nun
Saat diperjalankan menulis buku “Cinta, Kesehatan & Munajat Emha Ainun Nadjib“, saya menegaskan bahwa buku tersebut bukan tentang minibiografi beliau, tapi penekanannya lebih cenderung pada genre kesehatan.
Saya pada akhirnya terhanyut memiliki “keberanian” menulis Mbah Nun dari frame kesehatan karena di-endorse oleh Mas Helmi Mustofa — staf pada Progress Sekretariat Cak Nun dan KiaiKanjeng.Dua tahun setelah buku itu terbit, tepatnya 17 Februari 2022, saya berkesempatan mengikuti acara Mocopat Syafaat di Yogyakarta dan alhamdulillah ketika itu berkesempatan bertemu langsung dengan Mbah Nun sebelum acara dimulai. Pada kesempatan langka itu, secara langsung saya sampaikan permohonan maaf saya bila isi buku yang saya tulis itu sangat mungkin memiliki banyak bias dan jauh dari realitas yang sebenarnya. Hal itu disebabkan jarak pandang saya yang jauh ataupun sudut pandang saya yang parsial dan bahkan distortif.
Meski dalam penulisan buku itu ada persinggungan sangat-sangat sedikit pemeriksaan klinis terhadap Mbah Nun dan juga beberapa jam wawancara langsung soal-soal kesehatan dengan beliau, tapi ulasan tentang kesehatan Mbah Nun sesungguhnya “terinfeksi” prasangka dan tafsir saya sendiri. Mbah Nun malam itu mengatakan kepada saya, “Tidak perlu minta maaf Mas Ade, saya ini pensyukur hidup”.
Mbah Nun selalu mendahulukan pandangan yang positif dan rasa syukur, apapun keadaan yang dialaminya. Dalam kesempatan lain beliau kerap mengatakan “Saya hidup mencari baiknya orang buruk, dan saya tidak pernah mencari buruknya orang baik”.
Mbah Nun adalah manusia institusi, maka sebenarnya terlalu absurd bila saya mencoba memotretnya dari sudut pandang kesehatan saja. Oleh karena itu, dalam buku tersebut saya menegaskan bahwa buku itu “bukan upaya untuk mempelajari” Cak Nun, melainkan justru “belajar dari” seorang Emha Ainun Nadjib. Serius, saya belajar banyak dari Mbah Nun sebuah view yang lebih luas tentang kehidupan di mana kesehatan adalah salah satu ornamen yang ikut meramaikannya. Seperti sering disampaikan Mbah Nun, bahwa hidup bukanlah ruang-ruang atau kamar-kamar yang berbeda-beda, melainkan satu ruang besar dengan pintu-pintu yang bermacam-macam. Dunia kesehatan hanyalah sebuah sudut pintu, sebuah piksel di antara spektrum warna dalam kehidupan ini. Ketika saya mencoba melangkah jauh ke dalam dunia kesehatan, lalu menjelajah kedalaman lagi, saya berharap dapat menemukan simpulan bahwa seluruh fenomena kehidupan sebenarnya saling terkoneksi.
Dari Mbah Nunlah saya dipahamkan bahwa kesehatan itu bukan sesuatu yang selalu harus berkorelasi dengan umur panjang. Kini bermunculan hipotesis yang “dengan arogannya” mewacanakan tentang kemungkinan manusia mencapai immortalitas lewat teknologi medis (yang juga dipengaruhi bidang Artificial Intelligence). Namun sesungguhnya bila bicara soal hidup dan mati, manusia tidak punya kedaulatan. Hidup dan mati sepenuhnya rahasia Allah, otoritas absolut Allah, semau-mau sekehendaknya Allah saja. Kesehatan lebih bertalian dengan urusan produktivitas. Mbah Nun mengibaratkan kesehatan seperti kesetiaan Operating System dengan piranti software-nya. Sementara, ilmu kedokteran adalah upaya konsisten dan berkesinambungan untuk mencoba membaca apa kehendak Tuhan dalam tubuh manusia.
Ketika membicarakan soal sehat dan sakit, pesan terpenting lainnya juga soal pemaknaan yang tepat pada relativitas nilai di antara keduanya. Sehat belum tentu selalu bernuansa positif. Sementara sakit apabila kita dapat memaknai secara spiritual dengan tepat, bisa jadi justru punya sisi positif di mana kita akan memperoleh mutiara hikmah di dalamnya. Bahwa di balik kondisi yang tidak kita sukai, sakit sebenarnya dapat menjadi jalan menuju kemuliaan dan derajat tinggi di hadapan Allah dan manusia.
Menurut Mbah Nun, sehat dan sakit menurut Tuhan itu berbeda, atau sangat berbeda, atau bahkan bisa terbalik dibandingkan sehat dan sakit menurut ilmu kita, menurut keperluan dan kepentingan manusia. Kesehatan di mata Tuhan adalah keberadaan manusia di dalam kepatuhan terhadap kehendak-Nya. Maka, pemahaman atas kesehatan manusia bisa berkebalikan dari konsep kesehatan menurut Tuhan.
Mbah Nun berdialektika dengan segala apa yang saya tulis di buku itu lewat 41 poin-poin penting dalam epilog yang beliau berikan. Poin-poin tersebut memuat intisari tema-tema kesehatan yang komprehensif dengan segala pemaknaannya.
Adapun tentang diri beliau sendiri, beliau menegaskan bahwa: “Saya bukan sehat, melainkan belum diperkenankan untuk sakit oleh Maha Pemilik sehat dan sakit. Sewaktu-waktu Allah berhak meletakkan sakit kepada diri saya, semaksimal apa pun saya mengusahakan cara hidup sehat, sewaspada dan sedisiplin apa pun saya menjauhkan diri dari kemungkinan sakit. Sebaliknya, sesakit apa pun yang saya derita, Allah bisa menyembuhkan saya dalam sekejapan mata (kalamhin bil-bashar) atau sekian menit-sekian jam-sekian hari semau-mau Allah. (Wa kana dzalika ‘alallahi yasira) yang demikian itu amatlah mudah bagi Allah”.
Sebagai pekerja dan praktisi medis, kalimat tersebut bagi saya sepenuhnya terasa amat benar. Sebuah statement yang lebih memposisikan diri untuk waspada, bersikap tawadhu, berendah hati dengan penuh kesadaran akan kebergantungan absolut kita setiap waktu dengan Pencipta kita. Kesehatan secara holistiknya lebih layak kita sebut sebagai anugerah daripada upaya ikhtiar kita semata. Status kesehatan sesungguhnya amat kompleks dan dinamis, ia dipengaruhi oleh sangat banyak variabel yang memang ada bagian-bagian (sebutlah) malah merupakan campur tangan “otoritas langsung dari langit”.
Mbah Nun sering memberi ilustrasi, misalnya bila kita mengkonsumsi makanan, maka nasib elemen-elemen nutrisi yang telah dihancurkan dalam wujud molekuler itu secara otomatis akan didistribusikan pada setiap puluhan triliun sel-sel di dalam tubuh. Lalu siapakah yang telah bekerja membagikan secara presisi sesuai proporsinya atas semua kalori terhadap sel-sel yang jumlahnya triliunan itu? Tentu bukan kita, semua itu berlangsung di luar kedaulatan kita.
Kita manusia, pada hakikatnya adalah mahkluk yang lemah yang bahkan berapa jumlah alis mata kita pun kita sering tidak tahu.
Saya takjub dengan stamina, vitalitas, energi kreatif, dan produktivitas mbah Nun hingga usia senjanya. Jika melihat acara Kenduri Cinta (Juni 2023) di Jakarta sebelum beliau “istirahat” karena sakitnya, maka dengan sangat mudah kita bisa mengatakan bahwa hanya Mbah Nun sendiri di sana yang berumur 70 tahun (baik di atas panggung ataupun di antara lautan manusia yang hadir pada malam itu). Sudah nyaris tiga dekade, melewati dua orde dan lima masa kepresidenan di Republik Indonesia, beliau menemani umat terutama kaum muda dalam pergulatan majelis ilmu, dzikir dan majelis merajut kemesraan (maiyahan).
Bila hari-hari belakangan ini beliau harus “istirahat”, maka kenanglah hari-hari di mana ia telah menemani umat hingga larut malam dengan penuh kesetiaan, kesabaran, dan rasa cinta. Dengan cara apakah kita dapat menakar nilai kesetiaan beliau? Meski cuaca dingin, angin malam yang mungkin terasa menusuk, bahkan di tengah hujan sekalipun beliau senantiasa hadir membersamai umat memenuhi undangan-undangan Maiyahan dari tempat-tempat yang jauh menyisiri desa-desa terpencil, menggelar lapak di lapangan perkotaan, berada di segala model situasi; lereng gunung, tepian hutan, pelabuhan, keraton, kantor, kampus, sekolah, masjid dan berbagai tempat-tempat lainnya.
Untuk acara Maiyahan rutin yang diasuh beliau setiap bulannya, kita harus menyebutkannya secara detail rentang durasinya. Padhangmbulan telah berjalan nyaris tanpa absen selama 29 tahun di Jombang; Mocopat Syafaat 24 tahun di Yogyakarta; Gambang Syafaat 24 tahun di Semarang; Kenduri Cinta 23 tahun di Jakarta; & Bangbang Wetan 17 tahun di Surabaya.
Maiyah merupakan sebuah forum kolosal yang tumbuh secara organik dan kandungannya sangat mencerahkan secara intelektual dan spiritual membincangkan hampir seluruh dimensi dalam kehidupan ini.
Berapa nilai pengorbanan beliau? Pernahkah kita mencoba membayangkan secara manusiawi kelelahan fisik, jam tidur yang tidak pakem, makan yang tidak teratur dalam setiap aktivitas Beliau? Demi menemani “anak-anak cucunya” berdiskusi, berdialog, menajamkan daya kritis, mengelaborasi bersimulasi mencari solusi atas ruwetnya kehidupan atau berbagai kegiatan bernuansa spiritual seperti bermunajat, bershalawat, tawashshulan menajamkan mata batin semua dijalani Beliau dalam perjalanan hampir 3 dekade ini.
Maiyahan adalah wadah katarsis dan pengharapan agar tumbuh menjadi DNA peradaban buat masa depan, yang dijalani dengan saling berbagi kegembiraan dan kebahagiaan. Maiyah adalah sebuah forum kolosal yang terbuka dan gratis yang rasanya tidak berlebihan dikatakan, belum pernah berlangsung di tempat-tempat lain sepanjang sejarah planet bumi ini pernah ada.
Dengan cara apa kita mampu mengukur dalamnya kecintaan beliau kepada rakyat kecil? Bila hari ini beliau menjalani “fase istirahat”, maka kenanglah hari-hari di mana beliau duduk dengan cara iftirosy (posisi standby siap sebagai sandaran) berjam-jam diatas podium. Kenanglah saat dengan sabar dan penuh kasih Beliau menyalami satupersatu dan memeluk barisan panjang “anak-anak cucunya” yang berlangsung secara berdiri berjam-jam hingga dini hari. Suatu ketika pernah terekam secara live dari atas panggung Maiyah, tiba-tiba Mbah Nun jatuh “sakit” hingga artikulasi komunikasinya menjadi “pelo”. Ketika itu spontan kita menyaksikan adegan penuh haru, beberapa anak-anak maiyah loncat naik ke atas panggung memijiti punggung Mbah Nun yang sangat mereka cintai. Dan… acarapun tetap berjalan. Mbah Nun pernah sakit, beliau manusia biasa seperti kita semua namun beliau menghadapi dan menyikapinya tidak sebagai orang sakit yang lantas tak berdaya.
Mbah Nun mengoptimalkan semua kemampuan dirinya untuk melayani dan melayani. Ia persembahkan yang terbaik dari apa yang ia miliki. Yang menakjubkan darinya, seperti disampaikan putranya Mas Sabrang bahwa beliau sangat bersungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu. Saya amat yakin bahwa apa yang ada dalam muatan isi hatinya hanyalah Allah dan kerinduan untuk mengajak kita semua untuk suatu ketika dapat gondhelan klambine Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah Saw. Lalu selebihnya adalah rasa tak teganya terhadap para muttahabbina fillah yang mungkin sebagian dari mereka terpinggirkan sunyi ditepi zaman.
Allah tengah sementara mengistirahatkan beliau dari kesibukan dan kelelahannya melayani umat selama ini. Setiap waktu menemani umat, maka sejurus itu juga berarti kerelaan beliau mengorbankan hak untuk menikmati atas waktu pribadinya (me time) atau kebersamaan dengan keluarganya. Dengan segala takzim dan penuh rasa hormat kepada keluarga beliau, rasanya wajib khususnya bagi jamaah maiyah berterimakasih atas kerelaan mereka semua berbagi Mbah Nun pada kita semua. Semoga Allah selalu melindungi keluarga beliau, dan memberi ganjaran kebaikan atas segala pengorbanan mereka.
Dua puluh satu tahun silam, Mbah Nun pernah mengalami problem medis “yang tidak biasa” dan sangat dahsyat, qadarullah Allah Swt. saat itu memberikan kesembuhan padanya sekaligus “mematahkan segala prognosis dan prediksi” kekhawatiran dokter ketika itu. Maka semoga demikian pula harapannya pada periode kali ini. Doa yang tulus kita panjatkan kehadirat Allah Swt. agar diberikan yang terbaik bagi Mbah Nun dan juga buat kita semua jamaah Maiyah, “anak-anak cucu” beliau. Kita masih merindukan dan membutuhkan kehadiran Beliau.
Dengan penuh kecintaan, kita bermunajat mengemis harapan kepada Allah untuk kesehatan Mbah Nun dimasa-masa mendatang.
Syafakallah Mbah Nun, Alfatihah.
Ade Hashman
Sangatta, 19 Juli 2023