Silaturahmi kepada Ustaz Ismail, Sahabat Cak Nun di Malaysia
Menjelang tengah malam, kami tiba di Tambunan. Kota kecil di pedalaman Malaysia dimana ustaz Ismail, sahabat Cak Nun, berdiam. Jaraknya 80 kilometer dari Kota Kinabalu. Sensasi pergi ke Tambunan dari Kota Kinabalu seperti perjalanan dari Malang Kota ke Kasembon. Kita sebut saja jalur Pujon. Nyaris 70 persen jalannya mendaki dan menuruni pegunungan. Tentu saja, tikungan dan tanjakannya tidak setara dengan jalur Pujon yang luar biasa indah, sekaligus bahaya.
Malam itu, selepas perbatasan Kota Kinabalu, sepanjang jalan, kami hanya berpapasan dengan dua truck dan delapan mobil pribadi. Disalip satu mobil dan menyalip dua mobil yang sedang jalan perlahan.
Jalan rayanya lebih lebar dari jalur Pujon. Juga lebih mulus. Tidak ada jalan yang menikung melengkung seperti huruf U, sekaligus menanjak atau menurun. Tingkat kesulitan jalan ini tidak sampai separuh tingkat kesulitan jalur Pujon.
Ketika ada sinar matahari, perjalanan serasa menyusuri jalur Sarangan-Tawangmangu yang berkabut, zaman dulu. Waktu jalur lintas Lawu sudah jadi. Tapi belum ada café-café dan warung-warunng di tepi jalan yang menutupi pemandangan alam.
Di kiri kanan, diantara pepohonan hutan, berdiri kios-kios sederhana. Di kios-kios itu, dipajang buah-buahan. Juga sayuran. Tapi tidak ada orang. Dagangan itu dibiarkan begitu saja. Kita namakan saja: kios kejujuran. Jika para pejalan ingin membeli, silakan ambil barangnya sendiri. Tinggalkan saja uangnya. Cukup. Orang masih percaya dan masih bisa dipercaya.
Tambunan itu di pelosok. Apalagi, di tahun 1972. Ketika ustaz Ismail pertama kali ditempatkan di sana. Bahkan, jauh lebih ke pelosok lagi. Tujuh jam jalan kaki, dari Tambunan. Sebulan sekali, helikopter berkunjung ke kampungnya. Untuk mengirim bahan pangan. Itu dulu. Menjelang Malaysia mengalami kemakmuran.
“Saya sengaja minta ditempatkan di lokasi yang paling sulit. Paling berat. Paling menantang,” aku ustaz Ismail.
Keputusan itu aneh, bagi pandangan awam. Tapi, ustaz Ismail dibesarkan dan dididik dengan cara yang juga diluar normal. Saat masih kecil, Ibunya meninggal. Umur 10-12 tahun, dia merantau dari Flores ke Ponorogo. Sendirian. Saat itu, transportasi jauh lebih sulit dari sekarang.
Ustaz Ismail kecil hidup bertahun-tahun di Gontor. Dalam kemiskinan. Bersama sahabatnya: Ainun Nadjib. Anak dari pelosok Jombang yang kelak menjadi tokoh besar. Kelak, khalayak mengenalnya sebagai Cak Nun.
Masa kecil di Flores dan didikan Gontor telah menempanya menjadi sosok yang tangguh, tahan banting, tahan miskin, dan tentu saja: tahan lapar. Dan semua kekurangan itu dijalani bersama Cak Nun kecil.
“Kami bersama-sama. Duapuluh empat jam sehari. Sejak bangun tidur. Mandi. Makan. Hingga tidur lagi,” wajah Ustaz Ismail nampak serius.
“Karena kami tidak punya kasur, maka kami tidur paling akhir. Kami mencari tempat disela-sela kawan-kawan lain yang punya kasur,” katanya kemudian terkekeh.
Udara Tambunan yang sejuk memeluk kami. Kadang-kadang, hanya kadang-kadang- deru mobil terdengar melintas. Kediaman ustaz Ismail di pinggir jalan raya Tambunan Keningau. Dikepung perbukitan. Jalannya lebar. Tapi lengang. Di kompleks kediamannya, ustaz Ismail membangun Mahad Al Kautsar. Sekolah Agama dalam sistem pendidikan Malaysia.
Seperti Cak Nun, sahabatnya. ustaz Ismail juga memandang kehidupan ini sebagai perjuangan. Cak Nun pernah menyampaikan bahwa manusia memiliki pilihan bagaimana menjalani hidupnya. Hidup untuk menikmati apa saja yang ada (hedonis), atau memandang hidup sebagai ladang perjuangan.
“Jika kita memilih hidup untuk menikmati, maka sedikit saja kesulitan menimpa kita, akan terasa berat. Tapi, jika kita menjalani hidup sebagai ladang perjuangan, maka berbagai ujian yang datang, tidak ada yang terasa berat,” begitu suatu ketika Cak Nun berpesan.
Ustaz Ismail mengaku, “Dulu, saya niatnya berangkat ke Libya. Saya akan ikut berperang. Tapi, ada kawan saya yang menasehati saya. Kalau saya berangkat ke medan perang, ke Libya, saya mungkin akan membunuh 1, 2, atau 3 orang, lalu saya sendiri akan terbunuh. Selesai. Bukankah lebih baik saya mengajar. Dengan mengajar saya bisa mendidik ratusan bahkan ribuan orang,” kenangnya.
Walaupun puluhan tahun lepas kontak, ustaz Ismail senantiasa menyimpan Cak Nun di hatinya. Beliau sering menceritakan perihal Cak Nun kepada anak-anaknya. Sejak dulu. Maka, Beliau juga merasa sedih ketika mendengar Cak Nun sakit.
“Tapi, saya kira ada hikmahnya. Allah menyuruh Cak Nun istirahat dari keriuhan politik Indonesia. InshaAllah, setelah keriuhan politik ini selesai, Cak Nun akan sehat kembali,” ujar Beliau.
Kini, kedua sahabat sejak di Gontor itu sama-sama memiliki warisan perjuangan. Ustaz Ismail mendirikan Mahad Al Kautsar, sekolah agama Islam di Tambunan. Beliau pun menjadi asset penting bagi Sabah, Malaysia. Sementara, Cak Nun dititipi Allah untuk mengasuh Jamaah Maiyah. “Cak Nun itu asset penting bagi Indonesia. Aset Bangsa,” kata Ustaz Ismail.