CakNun.com
Tadabbur Hari ini (60)

“Shirathal-mustaqim” Tidak Sama Dengan Sepakbola Menang

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ

(Al-Fatihah: 1-7)

Semoga kisah kecil berikut ini bisa menjadi contoh tajam dari manusia yang menempuh “as-shirathal mustaqim”.

Seorang pesebakbola Nasional berangkat jalan darat pakai mobil dari Surabaya ke Jakarta untuk memenuhi jadwal pelatihan mempersiapkan diri untuk sebuah turnamen internasional.

Sampai di Cirebon mendadak sesuatu merasuk ke dalam pikiran dan hatinya. Ia merenung dan menimbang-nimbang cukup lama sampai akhirnya ia mengambil keputusan untuk saat itu juga kembali ke Surabaya. Itu berarti ia melanggar aturan dan otomatis akan batal menjadi kapten kesebelasan nasional, bahkan tidak ikut bermain di tim nasional.

Ia menemukan dirinya dalam posisi bertentangan soal-soal prinsip dengan pelatihnya yang berasal dari negara utara. Ia sering ditabrak atau dikritik frontal oleh pelatihnya ketika melakukan beberapa jenis perilaku budaya yang menurut pelatihnya itu bertentangan atau minimal tidak ada hubungannya dengan garis profesionalisme sepakbola.

Misalnya ia sering bangun tengah malam untuk melakukan shalat tahajud. Atau merintis bersujud di lapangan sesudah memasukkan goal ke gawang lawan, atau setiap kali selesai pertandingan. Di zaman ia berlatih di Kesebelasan nasional U-19, karena bersujud di lapangan, salah satu penguasa sepakbola nasional menegurnya: “Apa hubungan antar sepakbola dengan Agama?” Atau kalau dia berbicara kepada para anggota kesebelasan sering dianggap menunturkan hal-hal yang pelatihnya tidak berkenan.

Kalimat si penguasa sepakbola nasional itu tidak aneh, karena mungkin rata-rata pengurus dan pemain sepakbola juga punya muatan pikiran yang sama. Manusia modern yang sangat pandai dan canggih dewasa ini banyak lupa pada hal-hal kecil. Misalnya, siapa yang menciptakan dan menumbuhkan rumput di lapangan? Siapa yang bikin besi atau kayu yang mereka pakai untuk membuat gawang? Tanah seluas itu yang dipakai bermain sepakbola “hak cipta”nya siapa? Sertifikat yang menandai kepemilikan lapangan itu tidak menyebut bahwa si pemilik itu yang aslinya menciptakan tanah sehingga menjadi lapangan sepakbola miliknya.

Kalau yang bikin tanah adalah manusia, maka manusia pula yang menciptakan bumi, berarti bulan, matahari, semua anggota tata surya, galaksi-galaksi, alam-alam semesta yang tak terhitung keluasan dan jumlahnya, juga ciptaan manusia. Berarti manusia itu sangat hebat dan dahsyat.

Belum lagi manusia mampu menciptakan dirinya masing-masing, kakinya yang nendang bola tidak beli di Mall manapun. Otaknya yang dipakai menyusun strategi kesebelasan, naluri dan perasaannya yang mengolah speed spontanitas operan-operannya, serta semua bagian jasad atau psikologis yang diperlukan untuk main sepakbola, semuanya adalah ciptaan manusia sendiri. Tuhan atau siapapun lainnya tidak punya peran apa-apa.

Berarti manusia maha perancang yang super canggih. Berarti kesebelasan manusia yang bertanding sepakbola bisa sejak menit pertama di lapangan mampu memastikan bahwa mereka akan memasukkan gol ke gawang sekian kali. Dan kalau manusia memang punya kemampuan seperti itu, maka tidak diperlukan pertandingan, kerana toh sudah ada kepastian sebelumnya.

Tidak sepakbola Tarkam hingga Piala Dunia, karena tidak ada ketegangan dan rasa penasaran ketika melakukannya maupun menontonnya. Tetapi karena bukan itu yang terjadi, tidak demikian kemampuan, posisi dan kuasa manusia atas sepakbola, maka pesepakbola kita itu dengan teman-teman kesebelasannya bersujud setelah memasukkan bola ke gawang atau setelah pertandingan usai. Mereka bersujud untuk melakukan kontak atau komunikasi dengan Maha Pihak yang memungkinkan semua kejadian selama pertandingan. Bersujud untuk menyatakan terima kasih. Bersujud untuk mensyahadati kekuasan Pihak Yang Maha Disujudi itu.

Dan itu memang kebiasaannya sejak kecil di keluarganya atau ketika dulu ia main sepakbola di kampung. Dia asli Surabaya bagian barat. Masyarakat Jawa Timur aslinya meskipun tukang ngarit rumput untuk kerbau, atau buruh tani, atau kuli di pasar — biasanya berbudaya religius, kesadaran ketuhanannya selalu tampak dalam kehidupan sehari-harinya.

Sejumlah ketidakcocokan pesepakbola itu dengan pelatihnya menjadikannya dibuang atau tidak dikasih peran sebagaimana sebelumnya. Ketika kita bertemu dengannya kita coba menyumbangkan saran agar pertimbangannya tidak terlalu kaku, linier dan eksklusif. Kalaupun itu masalah prinsip, coba dicari pilah-pilah untuk dipertimbangkan aksentuasinya, agar tidak merugikan dirinya sendiri dan orang banyak.

Sesungguhnya di dunia atau bidang kegiatan apapun posisi manusia adalah semacam pesepakbola kita itu. Orang modern menyebutnya idealisme. Prinsip hidup. Yang sengaja menentang prinsip itu dalam kesenian disebut “melacurkan diri”. Dalam Islam disebut “kafir”. Dalam politik biasa disebut “kolaborator” atau “kompromis”. Dan banyak idiom-idiom lain tergantung tradisi budaya bidang kegiatannya.

Al-Qur`an sendiri melihat itu subatansinya pada argumentasi, dan efeknya adalah dihadapkan pada perhitungan Tuhan. Dan Tuhan hanya menyatakan bahwa kalau gagal berargumentasi, maka yang bersangkutan itu mengalami kerugian. Dan puncak kerugian adalah kebangkrutan.

وَمَن يَدۡعُ مَعَ ٱللَّهِ إِلَٰهًا ءَاخَرَ لَا بُرۡهَٰنَ لَهُۥ بِهِۦ فَإِنَّمَا حِسَابُهُۥ عِندَ رَبِّهِۦٓۚ إِنَّهُۥ لَا يُفۡلِحُ ٱلۡكَٰفِرُونَ

Dan barangsiapa menyembah tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu argumentasi apapun padanya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.” (Al-Mu’minun: 117)

Akan tetapi “as-shirath almustaqim” tidak sama dan sebangun dengan menang sepakbola. Tidak ada logika bahwa kesebelasan Argentina Juara Dunia sepakbola berarti paling benar “as-shirath almustaqim”nya. Banyak faktor bahkan tak terbatas segmen, sisi, sudut, luasan dan sempitan dalam kehidupan ini. Kita tidak bisa mengkerdilkannya menjadi hanya sebuah pertandingan sepakbola.

Emha Ainun Nadjib
28 Juni 2023.

Lainnya

Arah Yang Tepat ke Allah

Arah Yang Tepat ke Allah

Maka secara keutuhan maksud, kita memahami “as-shirath al-mustaqim” bukan “jalan yang lurus”, melainkan “arah yang tepat” ke Allah.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version