Setelah Dua Minggu Mabur US dan Belanda
“Zak, aku wis mulih nang Jogja,” WA saya ke Cak Zakki, begitu mendarat di YIA.
“Sip Mas…, mengko sore aku meluncur,” balas Cak Zakki.
Perjalanan dari YIA menuju ke ‘kotamu’ (istilah anak zaman now untuk menyebut kota Jogja – diadaptasi dari lagu KLA Project) masih membutuhkan waktu yang cukup panjang. Bahkan lebih panjang, lebih lama dari penerbangan CGK – YIA.
Waktu tunggu yang tak tentu, karena jadwal kereta api yang menghubungkan antara YIA dan ‘kotamu’/Tugu belum reguler. Karena tidak mesti setiap periode tertentu (tiap 15, 30, 45 menit, atau tiap jam). Pengalihan bandara yang secepat itu tanpa dibarengi dengan penyiapan infrastruktur pendukungnya membuktikan bahwa perencanaan kota dan pendukungnya tidak dipikirkan secara matang.
Mestinya sarana pendukung seperti kereta penghubung dari YIA ke Kota PP ataupun jalan tol disiapkan dulu, baru bandara dipindahkan.
Akibatnya waktu tempuh dari rumah ke tempat tujuan (point to point) nyaris sama kalau kita menggunakan modalitas transport pesawat atapun KA. Kalau pergi untuk suatu urusan ke Jakarta, maka saya lebih suka memakai KA dibandingkan ‘kapal mabur’. Lebih nyaman, tidak terlalu capek nunggu, lebih aman, jadwal tepat waktu dan murah! Pergi ke stasiun Tugu – nyengklak sepur – sampai di stasiun Gambir – pergi ke tempat tujuan. Simpel!
Bila dibandingkan dengan naik pesawat, maka harus pergi ke Stasiun Tugu, menunggu jadwal kereta, sampai YIA, menunggu penerbangan (itu pun kalau enggak delay). Sampai CGK, mesti pergi ke stasiun atau terminal ojol, baru ke tempat tujuan.
Sambil menunggu keberangkatan kereta ke Stasiun Tugu, saya mampir ke warung gudeg Yu Djum di dekat terminal kedatangan. Gudeg, telor, tahu, dan tak lupa krecek adalah sebuah kemewahan dan kenikmatan yang tiada tara setelah hampir 3 minggu hanya bertemu dengan menu bule, yang berisi roti, keju, butter ataupun makanan yang amis-amis lainnya.
Memang simpel, dan terkesan tidak ribet makanan bule tersebut. Tinggal ambil rotinya, oles dengan margarin atau keju terus disantap. Tapi, bagi kita masyarakat Timur, kalo tidak ketemu nasi dan sayur, belum bisa dibilang ‘makan’, maka bawaannya selalu masih lapar dan selalu ingin mencari nasi. Itulah yang namanya ‘ketagihan’ nasi. Sambil menyantap tahu, saya membayangkan makan bareng Cak Nun di warung plecing Argolubang, dekat pom bensin. Selalu menu tempe dan sambel yang super puedddesss tidak pernah ketinggalan.
Selepas Isya’ saya bertemu dengan Cak Nun. Disambut Alay dan Cak Zakki yang memberi prolog serta menyisipkan beberapa pesan untuk nggak usah ngobrolin tentang copras-capres, tentang situasi dinamika politik akhir-akhir ini.
Saya beri salam Cak Nun sambil saya genggam tangan beliau.
“Cak aku beberapa minggu gak ngetok mrene, mabur nang US terus mulih sedhela, trus bablas nang Amsterdam.”
Menyebut kata Amsterdam, nampak Cak Nun sangat antusias. Saya teringat beberapa episode bertemu dengan Cak Nun di sana, bareng Mbak Via dan bareng KiaiKanjeng. Yang pertama kali tahun 2004, ketika saya dapat program fellowship 3 bulan di Vrije Universiteit. Pertemuan dengan Cak Nun di Belanda yang berikutnya di tahun 2008 ketika saya mulai nyantrik di Universitas yang sama untuk program doktoral. Tahun 2008 itu Cak Nun dan KiaiKanjeng diundang oleh perkumpulan gereja-gereja Belanda untuk mengadakan tour keliling di beberapa kota di Belanda.
Kami pun larut dalam nostalgia masa lalu.
“Cak…,” kata saya pelan.
RSS 281223