CakNun.com

Separuh Piring Nasi dan Ruang Rindu Untuk Gaza

Agus Wibowo
Waktu baca ± 5 menit
Photo by Jakob Rubner on Unsplash

Masyarakat Indonesia bukanlah masyarakat individual yang miskin kepekaan atas penderitaan. Ada tenggang rasa yang besar dan ada sikap senyata mungkin yang ingin dilakukan untuk membantu meringankan beban derita yang dilihatnya. Kebiasaan ini sudah sangat purwa, bahkan sudah menjadi kebiasaan sejak belum ada model transaksi seperti masa kini. Bentuk yang paling cepat dipahami oleh masyarakat Nusantara pada masa silam adalah berbagi dalam urusan pangan. Masyarakat Jawa yang sangat melimpah dalam ketahanan pangan menjadi sangat prihatin apabila ada pihak lain yang sampai kelaparan.

Khas membagi kenikmatan dalam urusan pangan ini juga tercermin dari pola hajatan yang kental dengan nuansa hidangan. Bahkan pada kondisi tidak berhajat pun, menawarkan makan sudah semacam hajat keseharian masyarakat Jawa. Kegembiraan berbagi makanan ini sangat mudah ditemukan dalam berbagi kondisi. Berkumpul bersama, makan bersama, bahagia bersama, jangan ada yang kelaparan. Tapi bagaimana jika yang kelaparan ini jauh jangkauannya?

Sesungguhnya nikmat tampak itu ada tiga disamping tak terhingga kenikmatan lain yang tak nampak. Kenikmatan tampak itu antara lain: 1) kenikmatan makan dan minum, 2) kenikmatan tidur, 3) kenikmatan sehat dan hidup tenteram. Semua dilimpahkan Gusti Allah dengan “murah” setiap hari, karena tak satupun makhluk yang sanggup membelinya. Karunia nikmat itu cenderung diberikan terus kepada manusia tanpa alasan, satu-satunya alasan sebab Allah menyayangi hamba-Nya. Justru ketika kenikmatan itu dikurangi baru ada alasannya. Yakni menguji keimanan. Kenikmatan dikurangi sehingga seseorang merasa ditimpa kepayahan. Kekurangan itu benar-benar dalam rangka menguji, apakah bentuk iman seseorang itu ada lantaran nikmat yang ia dapat atau karena kecintaan kepada Sang Khalik. Ketika dalam kesulitan tersebut seseorang dapat melewatinya dengan penuh Ridhlo, maka Allah akan mengembalikan kenikmatan dan bahkan menambahnya, dengan kenikmatan yang bukan hanya semata karena Gusti Allah Gemati, namun sudah dengan tambahan alasan bahwa Allah Ridhlo pada seseorang tersebut, karena orang tersebut Ridhlo atas ujian yang terima dari-Nya.

Cahaya Nikmat

Masyarakat Jawa meyakini bahwa karaharjan (kesejahteraan, kenikmatan, kebahagiaan) senantiasa ditaburkan oleh Gusti Allah. Sehingga ketika makan, orang jawa mengatakan: ‘Dhahar’, nadhahi karaharjan: ‘menerima kesejahteraan’. Karaharjan ialah cahaya nikmat yang di cipta Gusti Allah untuk menyantuni semua hamba-Nya. Cahaya ini membawa rejeki dan berkah yang tak dapat ditangkap oleh panca indera. Sehingga untuk ditaburkan kepada manusia perlu diwadahi dalam bejana-bejana rasa. Dari bejana inilah yang kemudian baru bisa ditangkap rasanya oleh manusia. Disuapkan ke telinga dengan dibejanakan menjadi suara. Disuapkan kepada mata dengan ditampakkan dengan bejana warna. Disuapkan kepada kulit dengan dibejanakan sebagai berbagai bentuk dan benda. Disuapkan kepada hidung dengan dijadikan dalam bejana aroma. Disuapkan ke lidah dengan bejana sensasi rasa. Makanan yang terhidang adalah nikmat yang ditampakkan, pada makanan memuat lima unsur suapan untuk lima indera. Karaharjan yang diperlihatkan, supaya jangkauan kesaksian manusia yang memerlukan hal tampak mudah mencapai dan lantas bersaksi atas Pemberian Tuhan yang telah diterimanya.

Apakah nikmat itu harus diambil seluruhnya? Tidak harus. Nikmat itu bisa diambil seluruhnya, atau hanya diambil setengahnya, atau seperempatnya, atau bahkan tidak diambil sama sekali. Bukan karena kufur nikmat tapi mempertimbangkan aspek mudarat yang belum tentu sanggup disangganya. Nikmat yang tak diambil ini kelak bisa menjadi warisan nikmat kepada anak-cucu. Kehadiran nikmat itu tidak boleh ditolak, secara utuh harus disyukuri, namun bisa diambil sesuai kebutuhan. Kemanakah sebagian nikmat yang tidak diambil tersebut tersimpan? Ada pada genggaman ilahi Robbi, Al-Khairu Waritsin, dijaga oleh para Malaikat yang bertugas menjodohkannya kepada pihak yang telah diatur dalam Mizan-Nya. Misalnya, satu porsi nasi yang biasa dikonsumsi hanya diambil separuh, separuhnya lagi diniatkan sebagai ‘sedekah nikmat’ kepada pihak lain yang ia pintakan, atau pihak siapapun dia, yang Allah Maha Mengetahui. Allah bisa menjodohkan nikmat itu kepada Hamba-Nya yang tengah kekurangan pangan atau disalurkan kepada pihak yang didambakan oleh yang bersangkutan. Sedangkan sesungguhnya tanpa ada sedekah nikmat pun, Gusti Allah sangat Kuasa untuk membuat semua makhluk-Nya senantiasa kenyang. Allah memberikan kelebihan disini dan kekurangan disana untuk memberi kesempatan bagi yang berkelimpahan untuk rela berbagi dan memuwujudkan naluri kemanusiaannya.

Keadaan saat ini, terutama keadaan di wilayah Gaza Palestina, ada sanak-kadang sedang mengalami ujian iman yang tidak ringan. Rasa sakit yang tidak sedikit, rasa kehilangan yang tidak sedikit, rasa lapar yang tidak sedikit, ancaman pun tidak sedikit. Padahal iman diujikan kepada pihak yang mengaku iman dengan porsi yang sedikit. Sedangkan yang diterima warga Palestina di sana tampaknya tidak bisa disebut sedikit. Mungkin iman yang mereka miliki sangat besar sehingga ujian ‘sedikit’ itu terlihat terlampau besar bagi kita. Mereka mendapat nikmat iman yang tidak sedikit, sehingga mungkin kenikmatan itu pun bisa ditebarkan kepada yang kekurangan nikmat iman di penjuru lain. Di sini mungkin lebih dikaruniai nikmat pangan yang kenikmatan itu bisa ditebarkan kepada penjuru lain yang kekurangan nikmat pangan. Bukan tidak mungkin, separuh nikmat yang tidak diambil itu oleh Allah dibarter dengan nikmat iman dari mereka yang berlimpah di dalamnya.

Sambung Roso

Ikatan kasih sayang ibu kepada anak sangat erat. Kasih sayang ini tersambung meskipun anaknya sedang di kejauhan. Ada anak rantau, ia kehabisan bekal, seharian belum makan, lalu tiba-tiba ada yang mengajaknya makan, dia menjadi bisa makan. Seolah baru ditransfer dana oleh orangtuanya. Ternyata ibunya di rumah sedang memberi makan seseorang sambil bergumam dalam hati ‘semoga anaknya tidak kelaparan di perantauan sana’. Proses hidup ini memang unik, tindakan yang dilakukan di suatu tempat, dapat membawa dampak ke tempat yang ia ingin tuju secara seketika meskipun berjauhan jarak. Kejadian seperti ini acapkali terjadi, bahkan Anda pun bisa jadi salah satu yang mengalami kejadian serupa. Inilah ‘Sambung Roso’, dimana sebagian ‘rasa derita’ yang ada di sana dibawa kesini, dan sebagian ‘rasa bahagia’ yang ada di sini dikirimkan ke sana.

Seseorang bisa mengambil separuh ukuran porsinya untuk yang setengahnya di-sambung – roso-kan kepada yang lain. Seseorang cukup separuh kenyang, tidak harus kelaparan. Separuh kenyangnya lagi diniatkan untuk diwujudkan oleh Allah di tempat lain yang tengah kelaparan. Gerakan ini bisa membawa pengaruh serius jika dilakukan serius. Bisa berdampak banyak jika dilakukan oleh banyak orang, dan bisa terus menerus akan saling terbagi kenikmatan secara merata jika dilakukan secara serempak dan terus-menerus. Jadi ‘Sambung Roso’ bukan hanya sekadar tersambungnya rasa, lebih tepatnya ‘bahu-membahu rasa’. Ada akumulasi potongan-potongan, serpihan-serpihan nikmat yang menggumpal dan saling melengkapi. Lebih di sini dibagi dengan yang kurang di sana, kurang di sini mendapat asupan dari yang lebih di sana. Manusia saling berbagi limpahan nikmat yang ia terima, manusia menajamkan rasa empati, tidak perlu saling mengenal personal kepada siapa separuh nikmat yang tidak kita ambil itu diberikan. Sebab Gusti Allah juga memberi tambahan nikmat iman pun tak memberitahukan dari siapa tambahan itu diperoleh, apakah murni dari Allah langsung atau sesungguhnya sedekah nikmat dari seseorang yang jauh entah dimana. Kemampuan kita mengurangi separuh kenikmatan sebagai kebiasaan, sesungguhnya mengandung limpahan pertolongan yang tidak terkira nikmatnya. Pada saat di dunia kita tidak mengenalnya, tapi di akhirat bisa jadi ada orang yang sangat kita cari dan sangat kita rindukan karena telah memberi sedekah sepotong iman kepadanya saat di dunia, dimana sepotong itu membuatnya berhenti melakukan maksiat dan bercondong untuk memperbanyak perbuatan maslahat hingga Husnul khatimah. Hidup setiap muslim di dunia seolah berada dalam ruang rindu, yang kelak di akhirat akan saling melepaskan rasa rindu itu dengan bertabur keharuan, saling bersalaman dan berkisah tentang rasa terimakasih mereka atas satu perbuatan yang seolah kecil namun sesungguhnya membawa dampak besar bagi lainnya.

Ungaran, 20 November 2023

Lainnya