Sanad: Benang Merah
Kebenaran Sejarah
بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ(Al-Fatihah: 1-7)
Sanad sangat penting karena merupakan benang merah kebenaran sejarah yang menyangkut banyak sekali informasi-informasi penting ajaran Islam. Namun demikian sanad bukanlah segala-galanya, dalam arti tidak pada semua hal dalam Islam sanad perlu atau bisa atau harus diberlakukan. Kalau pakai idiom modern, disiplin akademis yang menyangkut metodologi dan runutan kepustakaan atas informasi-informasi, sangat diperlukan, tetapi tidak untuk semua hal dalam kehidupan.
Kalau seorang hamba menyatakan kemudian memohon “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”, lantas umpamanya Allah menerima pernyataan itu serta mengabulkan permintaannya, maka itu adalah peristiwa kontak langsung Allah kepada hamba-Nya.
“Nasta’in” bisa soal karier, jodoh, penghidupan ekonomi, petunjuk ilmu, solusi-solusi problem individu hingga kemasyarakatan dan kenegaraan.
Kalau seorang hamba menundukkan wajahnya dan mengucapkan “Ihdinas shirathal mustaqim”, lantas si hamba merasa atau menemukan bahwa Allah berkenan mengabulkan permohonan itu, maka jalurnya adalah intimitas langsung antara Allah dengan pemohonnya.
Aslinya “Ihdinas shirathal mustaqim” adalah suara bawah sadar semua orang dan suara atas sadar sebagian orang. Karena manusia hakikatnya sangat lemah, bahkan tidak punya apa-apa. Apapun bahasanya dan dari jalur apapun ajarannya — sejatinya setiap dan semua manusia di setiap tarikan nafasnya dan di setiap langkah kakinya menyimpan suara batin rahasia permohonan itu.
Sebab “ash-shirathal mustaqim” adalah yang dibutuhkan semua orang dalam setiap dan segala hal. Jangankan lagi soal keselamatan hari dan masa depan. Pun tidak hanya soal kesejahteraan keluarga, kebahagiaan rumah tangga atau keadilan sosial dalam perjalanan sebuah bangsa. Seorang pemain sepakbola pun membutuhkan “ash-shirathal mustaqim”, tembakan yang lurus mengarah ke gawang kesebelasan lawan.
Ketika itu semua dibikin tercapai oleh Allah, termasuk gol ke gawang lawan, tidak ada kaitannya dengan urusan sanad sebagaimana dipersyaratkan utamanya di bidang sejarah literasi Hadits Nabi Muhammad Saw.
Pada setiap bulan Ramadlan kita mendengar para Qari`ul Qur`an melantunkan ayat ini:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ
“Bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda” (Al-Baqarah: 185).
Sangat jelas bahwa manusia bukan hanya Ulama, Kiai, Ustadz, orang-orang saleh atau siapapun yang biasanya kita percaya lebih dekat dengan Allah dibanding rata-rata kita. Ini Allah menegaskan “hudan linnas”. Manusia. Semuanya. Siapa saja semau Allah. Sekaligus informasi di balik ayat tersebut mengandung petunjuk bahwa setiap dan semua manusia pasti dianugerahi alat-alat batin, intelektual dan spiritual, untuk mewadahi ayat-ayat-Nya.
Meskipun demikian, di ayat lebih awal Al-Baqarah Allah memberi spesifikasi kualitatif:
ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ
“Al-Qur`an ini tidak ada keraguan padanya, merupakan petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa”. (Al-Baqarah: 2)
Kita khusyu melakukan shalat malam, kemudian berdzikir dan memohon kepada Tuhan. Kalau Allah berkenan, kita memperoleh qabul tanpa terlebih dulu berurusan dengan verifikasi Imam Tirmidzi dan Abu Hurairah.
Tiap hari manusia menerima ilham, hidayah atau inspirasi dari Allah, sehingga melangkahkan kaki ke suatu tempat dan melakukan sesuatu. Para seniman menyepi ke hutan atau menyisir pantai, kemudian Allah menganugerahinya ide atau gagasan. Ketika karya seninya ia kerjakan dan menyenangkan serta bermanfaat bagi banyak orang, itu tidak terkait dengan urusan sanad.
Bahkan Allah memberi petunjuk kepada seseorang agar makan suatu jenis makanan pada suatu siang, atau tiba-tiba memperoleh gagasan untuk merintis suatu usaha baru buat keluarganya.
Atau kita bermaiyah, bergembira sebagai “Al-Mutahabbina fillah” dari pukul 21.00 hingga 03.00 dinihari. Yang bicara dan bergurau di panggung maupun ribuan orang yang duduk diam tertib tanpa ada yang “kemriyek” atau berdiri beranjak pulang — mereka semua insyaallah ditaburi hidayah rasa syukur dan kebahagiaan sehingga membuat mereka bertahan 6-8 jam dan merasa “eman” atau sayang-sayang kalau harus pergi beranjak meninggalkan sedulur-sedulurnya.
Dan itu semua bukan prestasi Maiyah atau titik-titik tumpu sanad di penggalan manapun, melainkan merupakan kuasa kasih sayang Allah Swt.
اِنَّكَ لَا تَهْدِيْ مَنْ اَحْبَبْتَ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۚوَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
“Sesungguhnya engkau tidak bisa memberi petunjuk kepada siapapun yang (meski) kau cintai. Tetapi Allah yang menghidayahi siapa saja yang Ia kehendaki. Ia Maha Mengetahui siapa yang layak diberi petunjuk”. (Al-Qashash; 56).
Emha Ainun Nadjib.
2 Juni 2023.