CakNun.com

Pesta Demokrasi 2024: Setelah Pesta, Siapa yang Akan Beres-Beres?

Catatan Kenduri Cinta edisi Desember 2023, Bagian Pertama
Kenduri Cinta
Waktu baca ± 10 menit

Jika di era Seoharto dulu, Partai Politik hanya ada 3. Suara terbanyak pun sudah ditentukan sebelumnya. Intimidasi di akar rumput dikerahkan untuk mengarahkan rakyat memilih GOLKAR sehingga sudah pasti GOLKAR adalah Partai pemenang pada setiap gelaran Pemilu. PDI dan PPP hanya representasi kanan dan kiri saja pada setiap periodenya. Menjadi oposisi pun tidak maksimal perannya, hanya menjadi pelengkap saja.

Saat ini, hanya sedikit lebih canggih saja. Faktanya, rakyat tidak pernah diajak rembug oleh satu partai pun untuk ditanyakan persetujuannya untuk mengusung salah satu tokoh menjadi Calon Presiden, Calon Wakil Presiden bahkan juga untuk Calon Legislatif yang mereka usung di Pemilu nanti. Dengan percaya diri mereka mencalonkan tokoh-tokoh yang mereka pilih sendiri, kemudian mereka juga yang menentukan Calon Legislatif mereka pada daerah pemilihan sesuka hati mereka. Lantas saat menjelang garis akhir pemilihan, mereka dengan percaya diri menyampaikan kepada rakyat: Ayo pilih saya. Atau, ada juga yang dengan tanpa merasa bersalah kemudian seenak udelnya mengatakan: Kalau rakyat tidak suka kami, maka jangan pilih kami.

Lho. Ini bagaimana logikanya? Sejak awal mereka tidak rembug dengan rakyat. Tiba-tiba menyajikan menu masakan yang sudah mereka masak sendiri, lalu meminta rakyat untuk memilih masakan yang mereka sendiri yang menentukan untuk disajikan. Sementara itu, KPU sebagai wasit dari pertandingan ini melakukan anjuran, jangan sampai rakyat golput, karena Pemilu menentukan arah bangsa 5 tahun ke depan. Jangan heran kalau IQ rata-rata Bangsa Indonesia hanya 78,49. Karena memang logika berpikirnya dirusak secara berjamaah.

Pada tataran elit politik para politisi memainkan intrik-intrik, bersekongkol untuk menyusun sistem politik demi melanggengkan kekuasaan mereka. Sudah lazim, menjelang Pemilu seperti sekarang ini, mereka yang sebelumnya berkoalisi kemudian pecah kongsi, membangun kekuatan masing-masing. Tidak mengagetkan jika kita menyaksikan mereka yang pada pemilu sebelumnya berkonfrontasi kemudian saat ini berkoalisi, atau sebaliknya. Akrobat politik yang menjijikkan itu semakin terang-benderang dipertontonkan, menghinakan akal sehat rakyat yang lagi-lagi hanya menjadi pelengkap penderita.

”Kita ini tidak punya suara di Indonesia. Kita lahir kemudian harus menerima bahwa sistem politik kita adalah Demokrasi. Maka ayo kita beneran mengurus demokrasi. Kalau Pemilu kita anggap sebagai Pesta Demokrasi, ayo kita sama-sama mengimplementasikan demokrasi sebaik mungkin”, Sabrang urun gagasan mengenai bagaimana kita seharusnya berposisi saat hidup di negara demokrasi ini.

”Walaupun dalam kehidupan manusia, ide demokrasi itu bukanlah satu-satunya yang terlibat. Ada ide agama, ada ide untuk menata diri, ada ide ekonomi dan seterusnya. Macam-macam lah semua berdiri dalam kehidupan kita. Dan ini Negara yang menyenangkan Indonesia ini. Saya kalau melihat semua tokoh itu, saya bergumam, mereka pernah berkata bahwa mereka didzolimi, betul nggak? Kalau semua merasa didzolimi, kira-kira yang mendzolimi siapa?” lanjut Sabrang.

Fenomenanya adalah para Calon Presiden-Wakil Presiden, juga para Calon Legislatif di setiap wilayah bersaing satu sama lain untuk memperebutkan kursi kekuasaan mereka. Sabrang menekankan, Indonesia dengan mayoritas penduduknya adalah muslim seharusnya memiliki kekuatan Agama yang kuat untuk menyelamatkan Bangsanya.

Sabrang melemparkan sebuah ide, saat seorang warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk memilih, begitu ia memasuki bilik suara, maka lakukan akad sakral dengan Allah. Ucapkan bismillah, ucapkan niat untuk memilih calon yang ia pilih, ungkapkan alasannya memilih, kemudian sampaikan bahwa jika yang ia pilih itu terpilih namun kemudian mengingkari janjinya, maka serahkan sepenuhnya kepada Allah untuk memberikan hukuman. Dari sekian puluh juta warga Indonesia yang muslim dan memiliki hak untuk memilih, 10% saja yang mungkin akadnya diterima oleh Allah, seharusnya menjadi jawaban atas persoalan bangsa ini. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah selama ini kita hanya melewati Pemilu dengan biasa-biasa saja? Ya sudah, 5 tahunan kita ramaikan, saat hari pemilihan menuju TPS, lalu kita pilih tanpa pertimbangan yang matang.

Lainnya

Hilwin Nisa
Hilwin Nisa

Tidak

Exit mobile version