Pesta Demokrasi 2024: Setelah Pesta, Siapa yang Akan Beres-Beres?
Kita sudah berada di akhir tahun 2023. Dalam hitungan hari, kita akan menyambut Pesta Demokrasi 5 tahunan bertajuk Pemilihan Umum 2024 pada 14 Februari 2024 nanti. Secara serentak, kita akan memilih Presiden-Wakil Presiden, Anggota DPR, DPD, hingga DPRD I dan II.
Adakah dari kita yang telah menyediakan waktu luang untuk membaca detail dari setiap calon yang akan kita pilih itu tentang visi-misinya, gagasannya, program-programnya? Atau, kita hanya mengikuti arus saja, menyimak riuh gemuruh informasi di media massa cetak, elektronik juga media sosial. Pada akhirnya, kita pun hanya memilih berdasarkan like and dislike. Tidak ada parameter yang kuat untuk kita menentukan siapa yang akan kita pilih.
Balada Negeri Balkadaba adalah sebuah judul yang diangkat Kenduri Cinta kali ini sebagai flashback saat tahun 2009 lalu Cak Nun mementaskan sebuah repertoar: Presiden Balkadaba. Repertoar yang saat itu dipentaskan menjelang Pilpres 2009.
Pada sebuah naskah yang dibaca oleh Cak Nun saat itu, ditegaskan bahwa pada sebuah Pilpres bukan tentang siapa Presidennya. Ia bisa saja seorang Prajurit militer, ia juga bisa saja seorang pengusaha, akademisi atau bahkan seseorang yang memiliki pengalaman menjadi pemimpin pada skala yang lebih kecil dari sebuah Negara.
25 tahun setelah Reformasi 1998, situasi di Indonesia nyatanya tidak berubah secara drastis. Ya benar, Reformasi 1998 menjadi titik awal lahirnya demokrasi di Indonesia yang lebih terbuka. Pasca Soeharto lengser, Indonesia mampu keluar dari cengkeraman rezim Orde Baru, sehingga kemudian rakyat memiliki kebebasan dari yang sebelumnya dikerangkeng oleh rezim. Benar adanya, di era Orde Baru kita tidak memiliki kebebasan berpendapat sebebas hari ini. Tidak ada forum diskusi rakyat yang bebas digelar. Kritik terhadap penguasa tidak mudah diungkapkan, ada ancaman penjara setelahnya bahkan ancaman dimusnahkan, dihilangkan.
Tapi nyatanya hari ini pun tidak sebebas yang kita kira. Kritik terhadap rezim, ancamannya adalah perundungan oleh para buzzer pendukungnya. Sementara instrumen UU ITE juga siap menyergap. Ada banyak contoh mereka yang mengungkapkan kritik terhadap penguasa berakhir dengan pengadilan di meja hijau bahkan dipenjara. Kebebasan berpendapat, hanya boleh dilakukan oleh para buzzer rezim penguasa.
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, nyatanya juga tidak benar-benar hilang. KKN merupakan isu utama kenapa Soeharto dilengserkan. Setelah Soeharto lengser, Reformasi melahirkan KPK. Tapi justru kemudian KPK dikebiri. Terlepas bahwa sebenarnya KPK juga dianggap gagal, karena seharusnya KPK hanyalah pemain Ad hoc. Ia seharusnya hanyalah pemain pengganti yang memainkan peran untuk memberantas korupsi untuk sementara waktu selama Kepolisan, Kejaksaan dan Kehakiman masih perlu memperbaiki diri. Saat KPK kemudian membangun gedungnya sendiri, saat itulah kita menilai bahwa KPK telah gagal. Karena keberhasilan KPK adalah saat pada akhirnya KPK tidak dibutuhkan lagi, karena Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman mampu memainkan perannya dengan baik untuk memberantas tindak pidana korupsi.
Begitu juga dengan Pemilihan Umum. Apa yang kita alami hari ini tidak jauh berbeda dengan era Orde Baru. Anggap saja, saat ini adalah Orde Baru 4.0. Orde Baru yang lebih advance dari Orde Baru era Seoharto.