CakNun.com

Pemula Membaca Puisi

dr. Eddy Supriyadi, SpA(K), Ph.D.
Waktu baca ± 2 menit

Saya berdiri sejenak di depan pintu kamar Simbah, dengan kaki telanjang dan perasaan yang bermacam-macam. Sudah beberapa saat tidak sowan, dan sangat kebetulan beberapa menit sebelum berdiri di depan pintu ini, Bu Via mengirim WA kepada saya dan belum sampat saya buka. Saya datang ke tempat ini karena memang saya ingin datang, untuk ‘laporan’ kepada Simbah tentang acara semalam, SastraEmha. Kebetulan saja Bu Via me-WA saya untuk menanyakan sesuatu.

Sambil saya salami beliau, saya cium tangannya, saya tanya, “Cak… Piye kabarmu?’”

Sambil memandangi saya dengan tajam, salaman tangan saya seperti tak mau dilepaskan.

Saya menunduk, tak kuat wajah saya menatap tatapan Simbah yang sangat tajam. Saya menangkapnya sebagai sebuah cara untuk mengatakan sesuatu kepada saya, “Kowe kok suwe ora mrene?” (Kenapa lama tidak ke sini?)

Saya pun semakin menundukkan kepala. Saya hanya bisa mencuri-curi pandangan ke tatapan Simbah yang semakin menusuk.

Aku ngerti kowe mau bengi moco tulisanku, puisiku...” (Saya tahu, semalem kamu baca tulisanku, tepatnya puisiku).

Kanggo pemula kuwi yoooo, lumayan… Opo maneh Helmi le menehi tulisanku kuwi wis mepet wektune.” (Bagi pemula, pembacaan puisi semalam itu lumayan, apalagi Helmi memberimu tulisan itu mepet waktunya).

Nanging kowe isih butuh latihan sing akeh. Modalmu dadi penyiar duwe dasar ilmu napas, lumayan kanggo dasar moco puisi.” (Tapi kamu masih butuh banyak latihan. Modalmu sebagai (bekas) penyiar, pasti punya ilmu napas, yang sangat penting untuk dasar membaca puisi).

Kowe isih butuh latihan vokal, stressing, intonasi, blocking, positioning lan kudu luwih iso tenang maneh.” (Sebagai pemula, kamu masih butuh latihan olah vokal, stressing (kata-kalimat), intonasi, blocking, positioning, dan harus bisa lebih tenang lagi — lebih menjiwai lagi).

Saya pun semakin menunduk. Belum sempat saya melaporkan apa yang saya lakukan semalam, Simbah sudah lebih dulu memberi ceramah tentang apa kekurangan saya, lewat tatapan mata dan genggaman tangannya. Begitulah yang selama ini terjadi, ketika saya datang dengan berbagai masalah yang ingin saya tanyakan, beliau selalu lebih dahulu berbicara tentang sesuatu yang menjadi jawaban dari masalah yang akan saya tanyakan solusinya.

Nggih Cak, maturnuwun, aku sisan nyuwun palilahmu, sesuk sesuk maneh yen didhawuhi Helmi moco tulisan sampeyan.” (Ya Cak, terima kasih sekali, sekaligus saya minta izin, besok lagi kalau diminta Helmi untuk membaca tulisan Sampeyan).

Pelan-pelan genggaman tangan beliau ke saya dilepaskan. Saya belum mau melepasnya. Saya cium tangan beliau, dan saya pamit.

Bu Via yang berada di ruangan itu hanya terdiam, dan tersenyum mengangguk ketika saya mohon pamit.

Di luar, Helmi sudah menunggu dengan aura kepenasarannya tentang pertemuan saya tadi.

“Bagaimana gaess tadi?” tanya Helmi.

“Pertemuan tidak sampai 15 menit tadi, sangat sarat dengan makna dan dialog yang sangat dalam. Mungkin kalau ditulis semuanya bisa menjadi serial,” jawab saya.

“Saya akan tulis nanti malam, dan antum baru tahu nanti sesudah tulisan itu jadi,” lanjut saya singkat sambil ngeloyor pergi keluar pintu rumah.

Senin malam, 2 Oktober 2023

Lainnya

Wama Adraka Mal-Corona

Wama Adraka Mal-Corona

Hari ini belum ada apapun tentang Covid-19 beserta akibat-akibatnya yang bisa engkau finalkan penilaiannya.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version