Para Pembelajar Kehidupan
بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ(Al-Fatihah: 1-7)
Kita merasa-rasakan dan merenungkan. “Shirathalladzina an’amta ‘alaihim” yang dimaksudkan di awal ayat terakhir Al-Fatihah antara lain adalah bahwa Allah itu Maha sedangkan kita dan semua manusia ini sangat terbatas dan kerdil. Itu ternyata adalah suatu koordinat kenikmatan yang tersendiri dan luar biasa.
Kita “tidak kuat derajat” untuk tak terbatas dan tidak kerdil. Seringkali kita menemukan suatu pengalaman atau keadaan di mana lebih enak tidak tahu daripada tahu. Lebih nikmat lemah daripada kuat. Kalau lemah, kita punya peluang untuk berlindung kepada yang kuat. Kalau kita kuat, berlindung kepada siapa? Apalagi ternyata kita tidak benar-benar kuat.
Kita seumur hidup mencari ilmu dan mencakrawalai pengetahuan. Dan ujung atau puncak dari seluruh perjuangan mencari pengetahuan itu justru adalah ketidaktahuan. Dan sebaiknya, dan memang yang “an’amta ‘alaihim” memang begitu. Lebih safe, lebih aman, lebih selamat. Daripada kita sok tahu, sok pinter, daripada kita terjebak menjadi “keminter” dan “kemeruh”, akibatnya malah hidup kita menjadi memproduksi banyak kekonyolan, bahkan mungkin kehinaan.
Kita berterima kasih kepada hasil pengalaman peradaban leluhur-leluhur kita Bangsa Jawa yang wanti-wanti kita “Aja kagetan , aja gumunan, aja dumeh”. Tempuh perjalanan hidup yang dititahkan oleh Allah Swt. ini dengan “bisa rumangsa”, bukan “rumangsa bisa”.
Dan Maha Terpuji Allah Swt. yang menegaskan kepada semua hamba-Nya bahwa;
قَالَ إِنِّىٓ أَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُونَ
“Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Al-Baqarah 2:30)
Kita berlari menuju barisan terdepan di antara orang-orang yang tidak tahu. Daripada kita berkerumun dengan kelas orang-orang tahu, sarjana, Ulama, Profesor Doktor, cendekiawan, inovator, trend maker, pencipta fanomena kebudayaan dan pembangun peradaban.
Yang di hari Muhasabah kelak malah mungkin akan bengong, mati kutu, tidak bisa menjawab serbuan pertanyaan-pertanyaan para Malaikat petugas Allah. Dan kita diborgol digiring ke suatu sel raksasa bersama siapa saja yang tidak mampu mempertanggung-jawabkan kerusakan-kerusakan kehidupan di bumi. Padahal selama hidup di dunia golongan inilah yang merasa paling pandai, canggih, dan advanced selama peradaban di Bumi berlangsung.
Na’udzu billahi min dzalik. Maka syukur beribu syukur kita diperkenankan Allah menjadi kaum yang dianggap bodoh, tidak menguasai Bahasa Al-Qur`an, tidak mengerti runutan sanad, sementara diam-diam kita terus ajeg “Sinau Bareng” agar menuju keselamatan di hadapan Allah Swt.
إِنَّ فِى خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ
لَأٓيَٰتٍ لِّأُوْلِى ٱلۡأَلۡبَٰبِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.” (Ali Imran :190)
Kita kumpul di forum-furum “an’amta ‘alaihim” 6-8 jam hingga dinihari, kontinyu setiap bulan hingga 30 tahun lebih, di berpuluh-puluh titik bumi Allah.
Kita menjalani hari demi hari “an’amta ‘alaihim” dengan rasa rindu di antara sesama pecinta Allah dan Rasulullah, “Al-Mutahabbina Fillah”. Memerdekan diri dari cita-cita politik, kekuasaan atau kekayaan keduniaan. Tidak berhimpun menjadi firqah, ormas, parpol, bahkan belajar bersikap bijaksana terhadap keterlanjuran adanya madzhab-madzhab.
Kita belajar terus tanpa nafsu untuk mengungguli siapapun. Kita tidak bergerak untuk mencapai kemenangan materialistik dan keduniaan. Kita mencari dan mengeksperimentasikan berbagai macam cara dan thariqah untuk “an’amta ‘alaihim”, agar supaya diperkenankan Allah Swt. terhindar dari “ghairil maghdlubi ‘alaihim waladdhollin”.
Kita saling terbuka satu sama lain. Forum kita merdekakan seluas-luasnya. Kita tidak takut tampak bodoh. Kita tidak malu kalau tidak mengerti sesuatu. Kita tidak “keminter” sehingga menutupi banyak hal dalam komunikasi kita demi menghindarkan posisi tampak bodoh.
Tidak apa-apa kita bodoh. Yang Maha Pandai adalah Allah Swt. Yang penting kita terus “Sinau Bareng”, belajar, belajar, dan belajar. Kita adalah pembelajar kehidupan. Kita adalah “muta’allimul hayat”. Kita adalah santrinya Kanjeng Nabi, para pembelajar kehidupan. Kita adalah hamparan makhluk-makhluk buta yang memohon pancaran “nur” dari Allah Swt.
Emha Ainun Nadjib
17 Juni 2023.