CakNun.com
Tadabbur Hari ini (50)

Para Mujtahidin Dunia

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ

(Al-Fatihah: 1-7)

Kita semua orang-orang awam atau manusia-manusia biasa sangat bersyukur kepada Allah dan berterima kasih kepada tokoh-tokoh dunia yang mengantarkan kita dan mewujudkan teknologi dan peradaban yang membuat kita berada dalam situasi “Alhamdulillahi Rabbil’ alamin”.

Kita kagum kepada para Mujtahidin Dunia, dari James Watt yang menginvensi Mesin Uap hingga Christoper Sholes yang merintis pengadaan Mesin Ketik. Dari C. Marconi, JJ Baird dan CF Jenkins yang membuat kita menikmati media-media canggih. Dari H Lippersey hingga Weeler dan Claude.

Belum lagi para raksasa Einstein, Newton, hingga Stephen Hawking. Meskipun jangan lupa juga pada Ibnu Khaldun, Ibnu Sina, Al-Faraby, Al-Khowarizmy dan seterusnya. Jasa kemanusiaan dan jariyah peradaban mereka luar biasa dan kita tidak berani menyimpulkan bahwa banyak di antara mereka yang bukan Muslim kelak akan masuk neraka.

Di sangat banyak bidang, para ilmuwan Mujtahidin itu seolah-olah meminjamkan kepada kita mata, telinga, dan otak yang baru. Sehingga dunia dan kehidupan ini menjadi sedemikian indah dan menakjubkan. Belum selesai kita kagum kepada layar televisi plus media-media kasat mata lainnya, kita dikeroyok oleh media maya.

Pengejawantahan Information Technology yang membuat manusia di belahan-belahan bumi yang berbeda menjadi seperti tetangga dekat. Social media yang membuat kita bisa bercinta jarak jauh atau bertengkar tanpa muwajjahah jasadiyah atau tatap muka langsung. Kita di banyak wilayah dunia tapi sama-sama penggemar Pizza bisa berkonferensi lewat daring, zooming, virtual conference atau apapun tekniknya.

Sayang sekali teknologi maya itu tidak mendorong para Mujtahidin dan siapapun untuk juga menembus, mengenali, dan berinteraksi dengan wilayah yang juga maya: misalnya Jin, Iblis, Setan, Dajjal, Malaikat, Ya’juj Ma’juj. Bahkan sampai era mutakhir milenial sekarang ini kita tidak memperjelas apa dan siapa sebenarnya sahabat-sahabat kehidupan kita umpamanya Gendruwo, Wewe Gombel, Kuntilanak, Sundel Bolong, Banaspati ataupun Thokthok Kerot.

Kita tidak punya Guru, Dosen atau Kiai yang menginformasikan dan mewanti-wanti agar kita selalu waspada kepada musuh-musuh di sekitar kita sehari-hari misalnya Zalitun, Watsin, Laqus, A’wan, Haffaf, Murrah, Masuth, atau Dasim dan Walhan yang memvirusi dan meracuni jiwa kita lewat gadget yang kita pegang tiap saat, lewat layar teve dan macam-macam media lainnya. Belum lagi Abyad, Khanzab, Jalbanur, Hudavus, Biter atau Mansud yang jauh lebih berbahaya.

Bahkan karena tidak bisa ditemukan lewat browsing di internet, Bupati dan rakyat Blora tidak tahu ada bahaya laten Si Lancur, para pemimpin dan warga Ponorogo tidak tahu ada Korep, di Kartasura ada Pragola, di sekitar Gunung Merapi ada Si Parpolo, di Pati ada Gambir Anom, dan sangat banyak lagi. Bahkan di Jakarta ada Musa Samiri alias Dajjal dan Sang Ifrith langsung dengan pasukan khususnya.

Demikian juga hampir semua pemimpin dan rakyatnya di wilayah-wilayah lain, Kabupaten dan Provinsi lain. Mereka tahunya Twitter, Facebook, Tiktok, Instagram, PDIP, Perindo, Nasdem, PKS, atau PKB.

Padahal dunia IT sudah sampai ke AI. Ummat manusia modern seakan-akan sedang dan sudah menjawab tantangan Tuhan:

يَٰمَعْشَرَ ٱلْجِنِّ وَٱلْإِنسِ إِنِ ٱسْتَطَعْتُمْ
أَن تَنفُذُوا۟ مِنْ أَقْطَارِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ فَٱنفُذُوا۟
لَا تَنفُذُونَ إِلَّا بِسُلْطَٰنٍ

Wahai kalian semua jin dan manusia, jika kamu sanggup melintasi dan menembus penjuru-penjuru langit dan bumi, maka tembuslah. Kalian tidak dapat menembusnya kecuali dengan sulthon.” (Ar Rahman: 33)

Juga sayang sekali para ilmuwan Mujtahidin kita yang tersebut di atas hanya membatasi diri mengeksplorasi satu alam saja. Al-’alam. Tidak meluas ke Al-’alamin.

Semantara kita yang tiap hari mengucapkan “Alhamdu lillahi Rabbil ‘alamin”, tidak berjuang untuk mengeksplorasi seperti Pak Einstein atau Pak Stephen. Bahkan seperti Pakde Abu Nawas pun tidak. Kita malah banyak curiga atau bahkan marah-marah kepada para inovator yang mencoba “tanfudhu min aqtharis samawati wal arldi”.

Kita hanya ikut menuturkan itu semua dalam keisengan subjektif dan kenaifan kanak-kanak — bahwa itu semua adalah bagian dari al-’alamin. Bagian yang eksotik dari alam-alam atau semesta-semesta ciptaan Tuhan.

Padahal Allah dengan penuh kemurahan hati sudah sejak 15 abad silam menginformasikan kepada kita tentang “Rabbul ‘alamin” yang para Mufassir menerjemahkannya menjadi “Tuhan semesta alam”.

Karena kita awam maka kita hanya mendengar orang kasih tahu bahwa al-’alamin itu plural atau jamak dari al-’alam. Jadi Rabbul’alamin mestinya adalah Tuhannya alam-alam atau semesta-semesta yang jumlah dan besarnya tidak terhitung oleh hisab otak manusia, alias tak terhingga.

Silakan “meng-hawking” sendiri-sendiri apakah Al-‘alamin itu cukup diartikan bahwa alam semesta ini banyak dan tak terbatas. Atau ada kaitannya dengan “Semesta Paralel” yang juga manusia tidak bisa menghitung batasnya. Ataukah dipahami dari para Mujtahidin yang mengasumsikan bahwa semesta ini memuai terus-menerus dan sekarang masih bergerak meluas.

Sehingga Allahu Akbar tidak sekadar kita terjemahkan menjadi Allah Yang Maha Besar, melainkan Allah Yang Maha Lebih Besar atau Allah yang Lebih Maha Besar. “Lebih besar”-nya itu terserah karena secara riil dan objektif ia memang bergerak memuai. Ataukah kesadaran dan pengetahuan kita yang menemukan bahwa ternyata Allah selalu lebih Maha Besar sesuai dengan semakin meningkatnya ketakjuban kita.

Emha Ainun Nadjib
18 Juni 2023.

Lainnya

Maha Pengasuh Jagat Majemuk

Maha Pengasuh Jagat Majemuk

Kalau pakai idiom Al-Fatihah, proses dan output penghayatan ilmu pengetahuan kita atas alam-alam semesta itu bisa menjebak kita menjadi “almaghdlubi ‘alaihim” atau bahkan terjerembab menjadi “ad-dhollin”.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version