OTW Makan, Ngopi, Metingkrang
Kemarin KiaiKanjeng menggelar streaming Persembahan Kado Muhammad. Ketika Mas Helmi memaparkan sesuatu tentang Mbah Nun dan Kado Muhammad, ada yang comment, “Helmi Umuk! Cak Nun kena kutukanku. Katanya sembuh, kok gak boleh dijenguk. Katanya ada kemajuan kok masih di ICU lebih dari sebulan.”
Mari kita maknai comment itu dengan kejernihan hati.
“Kena kutukanku”. Siapa yang bisa mengutuk? Apakah manusia bisa mengutuk. Dalam Al-Qur‘an, kata kutukan disebut sebanyak 41 kali, baik dalam bentuk kata kerja maupun kata benda. Sebagian besar ayat tersebut menunjukkan otoritas melaknat itu ada pada Allah Swt. Dialah yang berhak melaknat.
Tapi ini ada yang berani mengatakan “kena kutukanku”. Mosok Allah sedang nganggur ini — sehingga menyempatkan mennulis di comment dan nonton youtube-nya KiaiKanjeng.
Ini pasti manusia biasa. Seperti kita kita juga. Bisa saja teman dekat yang kita kenal sehari-hari. Atau mungkin itu ungkapan cinta. Atau itu memang ekspresi kebencian terdalam. Nggak ada rumusan juga di ICU harus hanya sebentar. Bisa pendek dan panjang, bisa juga berbulan-bulan, tergantung situasi sakitnya.
Dan Alhamdulillah Mbah Nun sudah melewati itu semua. Ini hari-hari menuju gua kebebasan: makan dan ngopi dengan kaki metingkrang. Rokok? Jangan dulu, Mbah. Biar arek-arek saja yang mewakili.
Tidak boleh dijenguk? Ya memang tidak boleh. Saat ini Mbah Nun milik istri dan anak-anaknya. Kita (jamaah Maiyah) sudah bertahun-tahun telah merebut waktunya.
***
Bab kutukan tadi, ya biarkan sajalah. Mungkin dengan bersikap seperti itu akan melegakan hatinya. Darahnya fresh dan puas. Riang gembira. Seperti melihat kemenangan Arsenal di laga awal.
Saya jadi ingat, tahun 1980-an. Saya dan kakak perempuan, pernah mengalami “teror” seperti itu berbulan-bulan dan bahkan tahun. Teror oleh orang yang sama. Dikutuk-kutuk. Ditakut-takuti. Dirontokkan mentalnya. Ancaman santet. Dan lain sebagainya. Dalam bahasa sekarang dipersekusi. Dalam perjalanan waktu — orang itu ternyata masih ada di sekitar kami ketika kami dewasa dan menjadi orang tua.
Apakah kami dendam? Ternyata alhamdulillah tidak. Kami tetap hormat kepadanya. Menjunjungnya sebagai saudara tua. Ketika kontrakan rumahnya habis, kami dengan semangat membayarnya. Ketika ia mengeluh kesulitan ekonomi — kami berlari menambalnya. Ketika beliau wafat — kami memakamkannya dengan terhormat. Dua anaknya kami angkat menjadi bagian dari keluarga kami. Setiap ada kesempatan selalu saya angkat cerita kehebatan bapaknya.
Apakah kami hebat seperti sufi? Tidak. Memang itulah yang diajarkan oleh Ibu, oleh keluarga Mbah Nun. Oleh Maiyah.
Suatu saat, bila sang pengutuk tadi menemui saya — pasti akan saya traktir di angkringan depan rumah. Saya kasih job-job kesenian biar dia ada tambahan pemasukan. Allah saja menjaga irama, dan memperhitungkan momentum. Masak saya gak!
Yogyakarta, Minggu, 13 Agustus 2023