Musibah Tidak Selalu Bencana
بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ(Al-Fatihah: 1-7)
Dalam common sense atau akal pandangan umum, maghdlub atau apalagi dholliin diejawantahkan oleh Allah sebagai Maha Pihak yang murka, mungkin berupa apa yang kita menyebutnya bencana. Atau umum juga disebut musibah.
Misalkan bencana itu terjadi, entah bertahap atau sekonyong-konyong, karena ketidaksucian manusia merajalela melebihi batas. Itu tentu saja di luar konteks bencana yang alamiah atau bagian natural dari sunnatullah atas alam, gunung, laut, getaran, guncangan atau bentuk apapun lainnya. Atau segala yang kita sebut bencana namun bukan karena kemurkaan Allah, melainkan mekanisme alam yang lumrah.
فَلَمَّا نَسُوا۟ مَا ذُكِّرُوا۟ بِهِۦ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ
أَبْوَٰبَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّىٰٓ إِذَا فَرِحُوا۟ بِمَآ
أُوتُوٓا۟ أَخَذْنَٰهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.”
“Melupakan peringatan” alias kesemberonoan, dan itu bertentangan dengan konteks kesucian. Salah satu syarat kesucian diri misalnya adalah kejujuran terhadap kenyataan kehidupan. Secara populer kita menyebutnya obyektivitas. Jadi setiap kata yang kita kenal, kita ucapkan atau kita komunikasikan, sesungguhnya terikat oleh hal itu. Pada saat yang sama setiap kosakata mengandung keterbatasan, kekurangan atau cacat. Kata adalah upaya manusia menggambarkan suatu fakta atau peristiwa. Ia mensimbolisasikan suatu keadaan dari kenyataan.
Khusus hal kata “mushibah”, kita tahu secara baku dalam pemahaman umum kata itu diasosiasikan sebagai bencana. Dalam penggunaan umum musibah menginformasikan tentang bencana atau kecelakaan. Salah kaprah itu bisa dimaklumi kalau berlangsung di masyarakat umum, meskipun kebanyakan keterpelesetan makna itu sangat jarang dibenahi, dikoreksi atau sekadar diinformasikan kepada khalayak bahwa itu salah. Termasuk oleh para ahli Bahasa, kaum Cendekiawan, Ulama atau pemimpin-pemimpin masyarakat lainnya.
Bahkan Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri malah meresmikan salah kaprah itu: Kata musibah dalam KBBI berarti; (1) Peristiwa (kejadian) menyedihkan yang menimpa; (2) bencana; malapetaka. Dari definisi bersangkutan, bisa disimpulkan yakni musibah ialah peristiwa/kejadian yang dialami seseorang baik ringan ataupun berat, seperti gempa bumi, banjir, kebakaran, tsunami, angin puting beliung, dlsb.
Dalam Al-Qur`an kata mushibah ditemukan misalnya di surah Al-Baqarah 156.
ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَٰبَتۡهُم مُّصِيبَةٞ قَالُوٓاْ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيۡهِ رَٰجِعُونَ
“Mereka yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun.”
Secara Bahasa, musibah berarti “sesuatu yang menimpa”. Tidak ada ketentuan apakah itu buruk atau baik, menyenangkan atau menyusahkan, menyakitkan atau menggembirakan. Apa saja yang menimpa kehidupan manusia, disebut musibah.
Sehingga penyempitan arti musibah, atau pensepihakan, pensebelahan, sebagaimana yang berlaku umum atau bahkan oleh KBBI, menjadi musibah tersendiri yang menimpa kebanyakan orang.
Dan kita semua merasa baik dan aman-aman saja mengurung diri di dalam kesempitan itu. Agar tidak susah-susah membenahinya atau mentepatkannya, kita seperti cenderung menjadi “katak yang bersembunyi di dalam tempurung” zaman. Kita menjadi masyarakat “katak menempurung”.
Kemudian bahkan kita sempurnakan dengan penyepihakan atau penyebelahan atau penyempitan arti dari “Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un”. Penggunaan kalimat ini bahkan mungkin labih sempit lagi, karena hanya diucapkan untuk kasus orang meninggal dunia.
Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: Semua berasal dari Allah dan semua kembali kepada Allah.
Memang itu adalah penjelasan asal-usul hidup dan mati. Tetapi sebutkan apa yang tidak berasal dari Allah dan tidak kembali kepada Allah?
Semua isi alam, semua muatan semesta-semesta, yang paralel atau yang multi-semesta atau semesta majemuk, bahkan mereka alam-alam semesta-semesta itu sendiri, kita meyakini itu berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah tanpa siapapun dan apapun bisa menghindar.
Andaikan ada peluang untuk menghindar, mungkin tidak sedikit di antara kita yang mengambil keputusan untuk berpindah tempat atau minggat dari ‘alaminallah (bukan ‘alamillah) dari semesta-semesta Allah bukan (satu) semesta Allah. Sebuah hadits Qudsy menuturkan:
Sesungguhnya aku ini Allah, tiada ilah selain Aku, Barang siapa yang tidak bersabar atas cobaan-ku, tidak bersyukur atas segala nikmat-ku serta ”Tidak rela terhadap keputusanku”. Maka hendaklah ia keluar dari kolong langit dan bumi-Ku dan mencari tuhan selain Aku.
Kita tidak berasal dari apapun dan siapapun selain Allah, dan tidak kembali kepada apapun dan siapapun kecuali Allah. Itu sangat berlaku untuk kesadaran utama makhluk hidup. Itu justru pasal sokoguru-nya manusia hidup. Itu adalah hukum utama kehidupan, yang sekarang kita pakai hanya untuk ucapan atas kematian.
Sepertinya hampir semua urusan kita, bidang-bidang apapun kegiatan kita, ilmu dan teknologi, Pemerintahan, Negara dan Globalisasi, offline dan online. Sekolah dan kurikulumnya, dunia darat maupun dunia maya – tidak tampak indikator di balik aktualisasinya bahwa itu semua dibikin berdasarkan prinsip dan fakta “inna lillahi wa inna ilaihi roji’un”.
Kalau kita kembali ke tema ilmu dan kesucian, maka mungkin saja ragam ilmu-ilmu tinggi yang dicapai oleh ummat manusia yang kagum-kagum dan takkjub-takjub sendiri atas apa yang mereka sangka mereka yang menciptakannya, ternyata sesungguhnya amat sangat remeh di hadapan kemahaan Allah. “Wama utitukum minal ‘ilmi illa qalila”.
Jadi sesungguhnya kita marasa miris hidup di tengah manusia penduduk bumi dewasa ini. Sudahlah mayoritas mereka menyembah yang bukan Tuhan, pun rata-rata mereka menjalani kehidupan yang sangkan-parannya bukan “Semua berasal dari Allah dan kembali kepada Allah”.
Mungkin karena itu kita merasa aman dan lebih tenang ketika bershalawata:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، وَأَشْغِلِ الظَّالِمِينَ بِالظَّالِمِينَ
وَأَخْرِجْنَا مِنْ بَيْنِهِمْ سَالِمِينَ وَعلَى الِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِين
“Ya Allah, bershalawatlah kepada pemimpin kami Nabi Muhammad, dan sibukkanlah orang-orang dzalim saling memberikan kejahatan dari orang dzalim lainnya, Keluarkanlah kami dari kalangan mereka dengan keselamatan dari kejahatan mereka. Dan berikanlah shalawat kepada seluruh keluarga dan para sahabat beliau.”
Emha Ainun Nadjib
4 Juli 2023.