Monopoli Al-Qur`an
بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ(Al-Fatihah: 1-7)
Idiom Rahman dan Rahim di Basmalah dalam Al-fatihah mustahil akan pernah bisa dipahami atau diukur kemahaluasan jangkauannya oleh makhluk manusia. Para Ulama dari kalangan manusia hanya mampu mentadabburinya (menggali manfaat) sebatas keterbatasan pandangannya, tetapi tidak mungkin mampu menafsirkannya. Sebab pengetahuan dan pemahaman yang bisa dicapai oleh manusia tidak pernah sejati dan otentik secara apapun sebagaimana yang kemahaan Allah memaksudkannya.
Kita sesama manusia bisa berdebat, berdiskusi atau berdebat tentang Rahman dan Rahim dan bisa saja menghasilkan ini yang benar dan itu yang salah. Tetapi semua itu nisbi atau relatif. Sejauh-jauh yang bisa dicapai oleh makhluk Allah hanyalah perkiraan atau prasangkanya sendiri.
Itulah sebabnya tak habis-habis kita mengulang penandasan kesadaran bahwa algoritma paling pokok kehidupan ciptaan Allah ini adalah:
وَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡٔٗا وَهُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۖ
وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّواْ شَيۡٔٗا وَهُوَ شَرّٞ لَّكُمۡۚ
وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216)
Sungguh yang paling menggelikan jika dipandang dari langit pada isi bumi adalah merajalelanya kesombongan manusia yang merasa berilmu. Merambahnya mental sok tahu, sok pinter, keminter, kemeruh, dijunjungnya secara improporsional gelar Sarjana, Ulama, Profesor Doktor, Habib Habaib, Kiai Haji, atau apapun. Atau juga jabatan Presiden, Menteri, Rektor, Bupati dan apa saja topeng-topeng prasangka lainnya, yang justru menjadi rumus mainstream dari konstelasi struktural dan sistemik dalam peradaban manusia. Dengan kata lain, budaya prasangka itulah landasan dari penyusunan sistem khilafah (yang salah satu aplikasinya disebut Negara) manusia yang dijalankan manusia atas dirinya dan alam semesta.
Kita dididik sejak kecil untuk melakukan shalat. Kita dilatih untuk menghadap kepada Allah secara personal dan privat. Meskipun untuk kemashlahatan mu’amalah Allah memberi nilai plus kalau kita shalat berjamaah. Tetapi pada kenyataannya selama mengikuti shalat jamaah, masing-masing kita sesungguhnya melakukan kontak personal dengan Allah di dalam batin masing-masing. Shalat berjamaah mungkin adalah latihan manajemen sosial bahwa meskipun kita berkumpul sebagai masyarakat, sebagai warga suatu Negara atau sebagai bagian dari organisasi apapun — tetapi kita terdidik untuk tetap punya hubungan personal dengan Allah, dan jangan sampai kita tergeser konsentrasi dengan menuhankan Ketua Partai kita, tokoh masyarakat kita, pemuka Agama kita, idola kita dan siapapun. Tuhan kita tetap Allah. Kita punya disiplin mahdloh meskipun kita berada di dalam kumpulan mu’amalah.
Atau jangan sampai tokoh kita, pahlawan kita, bahkan panutan kita, lantas tergeser menjadi Tuhan kita. Dengan kata lain, sehebat apapun tokoh kita, jangan mau kalau dia menuhankan diri atas kita. Pun kita juga tidak akan pernah menuhankan siapapun dan apapun selain Allah.
Tokoh kita, Imam atau Mursyid kita, Kiai di garis depan ummat kita, juga Presiden atau Syaikhona dan apapun penampakan kecenderungan pemberhalaan dalam tradisi budaya kita, harus kita tolak kalau beliau-beliau menuhankan diri. Yang karena memang Tuhan, maka beliau menjadi berhala. Minimal kita yang memberhalakan.
Pengejawantahannya mungkin berupa kita membela berhala kita dengan semangat dan kadar melebihi pengabdian suci kita kepada Allah. Atau mereka merasa atau kita mengganggap mereka pasti benar. Di rentang jarak hubungan privat kita dengan Allah terdapat Presiden, Ulama, Kiai, Ustadz, Mursyid, Habib atau tokoh jenis apapun, sehingga interaksi batin dan nilai antara kita dengan Allah menjadi terlalu dicampuri oleh mereka-mereka yang berdiri kokoh di antara kita dengan Allah. Mereka akhirnya bisa menjadi penghalang iman dan ilmu kita. Mereka melakukan atau berposisi memonopoli Allah dari alam kejiwaan kita. Mereka menjadi makelar-makelar atau pengecer-pengecer yang memotong hubungan otentik kita dengan Allah.
Keangkuhan intelektual, supremasi kacendekiaan dan kecendekiawanan, legalitas kepandaian dan kesekolahan atau kesarjanaan atau keulamaan yang “dilantik” secara budaya, menjadi pagar sangat kuat agar monopoli mereka atas Al-Qur`an, Islam, dan semua nilai kebenaran bisa menjadi bangunan kokoh kekuasaan yang menguasai zaman.
Itulah sebabnya kita mencederungi Tadabbur. Tanpa menolak Tafsir. Karena di dalam mekanisme tadabbur juga diperlukan tafsir meskipun terikat oleh prinsip tadabbur.
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَ أَمۡ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقۡفَالُهَآ
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” (Muhammad: 24)
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَۚ وَلَوۡ كَانَ مِنۡ عِندِ غَيۡرِ ٱللَّهِ
لَوَجَدُواْ فِيهِ ٱخۡتِلَٰفٗا كَثِيرٗا
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisaa: 82)
Maka di dalam Al-Qur`an sangat banyak perintah, anjuran atau sindiran Allah kepada manusia agar kita berpikir, mengidentifikasi, mengamati, meneliti, menganalisis, dan mempetakan. Afala tatafakkarun, afala ta’qilun. Perintah untuk mengaktivasi akal dan mendayagunakan pikiran. Entah apa maksud Allah kok tidak ada firman Afala tufassirun atau afala tatafassarun. Kok tidak ada “Kenapa engkau tidak menafsirkan”, “Apakah engkau tidak menafsirkan”.
Emha Ainun Nadjib
5 Juli 2023.