CakNun.com

Milikku, Milik dan Ku

Tulisan ini tergabung dalam buku Emha Ainun Nadjib, Secangkir Kopi Jon Pakir, Mizan, Bandung, 1992
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 2 menit
Secangkir Kopi Jon Pakir, Emha Ainun Nadjib, Mizan, Bandung, 1992

Para pembeli di warung kopi kita, makin lama makin suka baca koran. Memperoleh informasi sudah sama kedudukannya seperti mandi, makan nasi atau kerokan.

Orang makin maju, karena tak mungkin berjalan ke belakang. Dulu orang cukup nguping, rerasan sana sini. Budaya rerasan itu lantas dilembagakan, dicanggihkan, dalam maksud yang positif. Koran jual berita seperti warung jual mendoan. Maka semoga yang dijual oleh koran selalu ‘makanan’ objektif, sehat, bergizi, gurih, tidak dilatarbelakangi oleh subjektivitas kelompok ini-itu yang bisa bikin mencret. Meskipun demikian, kalau toh mencret, orang sudah terbiasa jajan di warung yang makanannya tak dilindungi dari debu dan lalat.

Pelanggan warung kopi kita amat suka berita kriminal, humor, iklan, atau guratan-guratan apa saja yang kira-kira bisa diindikasikan (oleh sebagian pelanggan) sebagai petunjuk nomer lotre.

Yang paling kurang disukai biasanya ialah kutipan pidato. Pejabat ini bilang begini, sarjana itu bilang begitu. Bahasanya canggih, istilah-istilahnya istilahnya ningrat. Seperti roti dari planet, sukar dikunyah dan tak jelas rasanya di lidah.

Apa tho kapitalisme itu? — seseorang nyeletuk dengan susunan bunyi yang terbata-bata.

Oo, itu bongso sosialisme atau apa itu… — kata yang lain.

Tentu saja omong-omong cepat mandeg. Maklum ketika itu pelanggan yang datang umumnya berasal dari kalangan sosial ekonomi lapis bawah atau setidaknya menengah bawah. Jadi tingkat pengetahuannya mengenai bahasa-bahasa modern (dus bukan atau belum tentu tingkat intelektualnya) serba bawah juga.

Saya jadi punya kesempatan jadi Dosen. Maklumlah saya kan mustahil jadi dosen. Saya bilang, kapitalisme ialah orang mengatakan: “Punyaku ya punyaku, punyamu ya punya ku…”

Ada prinsip ekonomi: dengan modal serendah-rendahnya, kita peroleh hasil setinggi-tingginya. Itu sebuah sikap mental, yang ‘mimpi’ idealnya ialah: tanpa modal, kita peroleh semua. Maka adanya monopoli, tatanan sentral-periferi, jurang kaya-miskin, akan berlangsung ‘dengan sendirinya’ meskipun diselenggarakan aturan main untuk mengontrolnya.

Sosialisme itu sebaliknya: “Punyaku ini punyamu, punyamu itu punyaku”. Meskipun demikian, di banyak negeri sosialis, rakyat bilang, “Punyaku punyamu, punyamu punyamu”. Sementara penguasa berbisik di dalam hatinya, “Punyamu punyaku, punyaku punyaku”.

Lha, lantas ada suara lain bilang: Tak ada punyamu, tak ada punyaku. Yang punya hanya Tuhan. Milik itu hanya wewenang Tuhan. Ku itu tak ada kecuali Tuhan. Ku lainnya itu pinjaman.

Tapi siapa percaya kata-kata ini? Ada. Hati kecil semua manusia. Hati kecil kita. Tetapi hidup kita tak mengandung keberanian untuk meyakini dan melaksanakannya. Maklumlah, lha wong kita.

Lainnya

Topik