CakNun.com

Menangkap Pesan Kritik Sosial dari ”Persembahan KIAIKANJENG” di Kenduri Cinta

Redaksi
Waktu baca ± 7 menit

Foto: Adin (Dok. Progress)

Hari-hari ini, kita sedang diriuhkan situasi politik dalam negeri, menjelang Pemilihan Umum tahun 2024, termasuk didalamnya pemilihan Presiden. Kasak-kusuk politisi di negeri ini menyajikan akrobat politik yang semakin membuat kita apatis terhadap gelaran pesta politik lima tahunan. Raja Diraja memang secara khusus di-request oleh Penggiat Kenduri Cinta untuk dibawakan malam itu. Karena memang dari kekuatan liriknya tersirat pesan yang sangat kuat kepada penguasa yang masih bernafsu untuk terus berkuasa.

Setelah kau selalu menang
Sesudah kau tak terkalahkan
Akhirnya dirimu sendiri
Tak dapat kau kalahkan
Kau pikir kau Raja Diraja
Padahal esok pagi sirna

Kenduri Cinta edisi Oktober kali ini bukan hanya menyajikan pementasan musik semata, namun juga mengajak jamaah untuk sinau bareng melalui lirik-lirik lagu yang dibawakan. Sesekali juga personel KiaiKanjeng menceritakan beberapa latar cerita dari sebuah nomor yang dibawakan, menceritakan peristiwa yang membingkai lahirnya karya-karya tersebut.

Menariknya, lagu-lagu KiaiKanjeng mampu melintasi zaman. Jamaah Kenduri Cinta yang hadir di Taman Ismail Marzuki kemarin berasal dari lintas usia. Ada jamaah yang bahkan saat Album Kado Muhammad dirilis, ia belum lahir. Tapi ia mengakui bahwa ia menyukai karya-karya KiaiKanjeng yang baru kemudian bisa nikmati melalui berbagai platform digital yang ada saat ini seperti Spotify, Youtube, Apple Music dll.

Ada juga jamaah lain yang usianya lebih muda dari Album Kado Muhammad yang kecelik dengan istilah KiaiKanjeng. Ia mengira bahwa KiaiKanjeng adalah nama sesosok manusia. Sehingga pada saat ia menyaksikan KiaiKanjeng, ia mencari di mana kiainya? Pak Joko dan Pak Nevi kemudian menjelaskan bahwa KiaiKanjeng adalah nama Gamelan yang digunakan. Jadi, pada awalnya KiaiKanjeng adalah sebutan untuk nama Gamelan. Seperti halnya di Jawa, setiap Gamelan memiliki nama-nama tertentu, dan menggunakan nama awal Kyai, seperti di Keraton Yogyakarta ada 2 gamelan yang hanya ditabuh saat perayaan sekaten: Gamelan Kyai Guntur Madu dan Kyai Nogo Wilogo.

Seiring berjalannya waktu, orang kemudian menyebut KiaiKanjeng sebagai sebuah grup musik yang selalu mengiringi Cak Nun dalam setiap forum Maiyahan. Sehingga kemudian secara organik dikenal sebagai grup musik KiaiKanjeng. Para personel KiaiKanjeng sendiri menyebut mereka sebagai sebuah komunitas, bukan sebagai grup musik. Seperti pada awal kemunculannya, komunitas Pak Kanjeng yang merupakan kelanjutan dari pementasan naskah teater berjudul Pak Kanjeng, sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan Orde Baru yang menggusur paksa 37 desa di 3 kabupaten; Grobogan, Boyolali dan Sragen. Pak Kanjeng adalah representasi dari Pak Jenggot yang memiliki nama asli Sopawiro Parman, seorang warga desa Kedungpring yang terdampak penggusuran paksa saat itu.

Pementasan naskah ”Pak Kanjeng” di Yogyakarta berjalan sukses, kemudian masyarakat meminta untuk dipentaskan di beberapa kota, namun urung dilakukan karena dicekal. Dari sinilah Komunitas Pak Kanjeng lahir. Hingga akhirnya bertransformasi menjadi KiaiKanjeng, dan sisanya hingga hari ini adalah perjalanan mereka malang-melintang selama 3 dekade, melintasi desa, kota, di berbagai negara.

Persembahan KiaiKanjeng di Kenduri Cinta nyatanya bukan sekadar pementasan Gamelan KiaiKanjeng secara musikal, tetapi memang dari nomor-nomor yang dipilih untuk dibawakan memiliki pesan tersirat yang ingin disampaikan oleh KiaiKanjeng kepada khalayak ramai masyarkat Indonesia.

Coba saja dalami lirik-lirik lagu seperti nomor: ”Rampak Osing” dengan nuansa dangdut ritmiknya, memberi pesan yang kurang lebih sama dengan quote Cak Nun yang banyak dikutip; Jangan mati-matian mencari sesuatu yang tidak dibawa mati. Simak saja liriknya; arep golek opo, arep golek opo kok uber-uberan.Podho ngoyak opo podho ngoyak opo kok jegal-jegalan. Kabeh do mendem rak mari-mari, bondo kuwoso ra digowo mati.

Atau nomor ”Sayang Padaku”, yang mendayu-dayu, menyampaikan pesan pasrah dan tawakkal seorang hamba kepada Allah SWT. Andaikan dunia mengusir aku dari bumi-Nya, tak akan aku merintih juga tak akan aku menangis, Ketidak adilan yang ditimpakan oleh manusia, Bukanlah alasan bagiku untuk membalasnya.

Dan ada nomor yang kemudian dibawakan setelah jeda diskusi, yang sangat menggambarkan situasi terkini politik di Indonesia; Semau-maumu. Malam itu benar-benar menjadi malam yang spesial di Kenduri Cinta. Jika biasanya kita sinau bareng melalui diskusi panjang dari berbagai narasumber, pada edisi Oktober ini kita sinau bareng melalui nomor-nomor lagu yang dibawakan oleh KiaiKanjeng.

Lainnya

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

Sejak jum’at siang (8/5) KiaiKanjeng sudah berada di Jakarta untuk malamnya menghadiri Kenduri Cinta, setelah menjalani rangkaian Maiyahan di Jawa Timur, mulai tanggal 4 Mei 2015 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian 5 Mei 2015 di Universitas PGRI Adibuana Surabaya, dilanjutkan tanggal 6 Mei-nya di Sidoarjo.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta

Topik