Menangkap Pesan Kritik Sosial dari ”Persembahan KIAIKANJENG” di Kenduri Cinta
Amanat berupa otoritas, legalitas, legitimasi kekuasaan itu adalah sesuatu yang sakral dan tinggi maknanya. Nyunggi wakul sebuah perlambang bahwa meletakkan amanat pada posisi tertinggi, bahkan lebih tinggi dari kepala kita. Juga menjadi perlambang bahwa amanat itu diposisikan pada derajat yang mulia dibandingkan kepentingan diri sendiri, golongan dan apapun saja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka dari itu, ”nyunggi wakul” itu adalah pekerjaan yang mulia.
Wakul nggilmpang segane dadi sak latar…. Sehingga, jika seorang pemimpin ”nyunggi wakul” secara gembelengan, berlagak-lagak, tidak sungguh-sungguh, pencitraan sana-sini, palsu luar dan dalam, fooling around, berbodoh-bodoh, iseng-iseng, mempermainkan kekuatan politiknya, kesakralan kata ”Rakyat” dimanipulasikan, moral dan nurani diremehkan, agama diakali, Tuhan ditipu, kemudian isi dari wakul yaitu nasi hanya dimakan sendiri, maka bakul amanat rakyat itu terjatuh dari kepalanya, tercampak di tanah nasinya tumpah dan berceceran di halaman negeri indah ini. Seharusnya, padi ditumbuh-kembangkan, nasi didistribusikan dalam keadilan, tetapi yang terjadi justru tumpah berceceran.
Dua nomor pertama yang dibawakan KiaiKanjeng seolah merespons kondisi sosial politik di negara ini dalam beberapa hari terakhir ini. Ketidakwajaran yang dipertontonkan secara vulgar. Bagaimana penguasa sedang berusaha untuk melanggengkan kekuasaannya, dengan menggunakan alat negara. Jika ”Gundhul Pacul” adalah sebuah nomor untuk menyentil penguasa, maka nomor musik puisi ”Rayap” yang dikombinasikan dengan ”Syanana” adalah sebuah nomor yang dibawakan oleh KiaiKanjeng untuk menyentil perilaku manusia. Coba baca kembali bait demi bait puisi ”Rayap” yang ditulis di pembuka tulisan ini. Syair yang menjadi kritik tajam untuk kita masing-masing di akar rumput. Yang kemudian oleh Cak Nun di akhir syair puisi itu ditegaskan ; Ndak tahu bagaimana cara mengatasi soal-soal yang kita bikin sendiri ini. Kayaknya kita harus menunggu irama pembusukan ini selesai.
Setelah dua nomor itu, KiaiKanjeng membawakan nomor “Tombo Ati”, sebuah nomor yang juga legendaris. Diambil dari album Kado Muhammad, nomor yang kemudian menjadi penggebrak belantika musik Indonesia saat itu, disaat banyak grup musik yang memilih untuk mengikuti tren musik saat itu, KiaiKanjeng memilih untuk mengkreatifi ”Tombo Ati” dengan aransemen yang berbeda, kemudian dikolaborasikan dengan puisi dari Cak Nun. Maka, jadilah sebuah nomor musik puisi yang juga menyimpan pesan mendalam dari Cak Nun. Tentu jika hanya sebatas puisi yang dibaca, akan terasa seperti narasi yang biasa-biasa saja, tetapi dipadukan dengan aransemen Gamelan KiaiKanjeng, maka nomor ”Tombo Ati” kita bisa menangkap pesan yang hendak disampaikan melalui puisi yang dibacakan oleh Cak Nun pada nomor tersebut.
Aku ajak engkau semua sahabat-sahabatku,
Saudara-saudaraku untuk menarik nafas sejenak
Duduk bersandar atau membaringkan badan
Aku ajak engkau untuk menjernihkan fikiran
Untuk menata hati
Menemukan kesalahan-kesalahan kita semua untuk tidak kita ulangi lagi
Atau meneguhkan kebenaran-kebenaran untuk kita perjuangkan kembali
Ayolah saudara-saudaraRileks….
Pak Joko Kamto kembali membaca puisi tersebut dengan iringan musik Gamelan KiaiKanjeng. Bait demi bait dibaca, mengajak kita yang mendengarkannya untuk menepi sejenak dari hiruk-pikuk kebisingan dunia, diajak untuk menjernihkan fikiran, menata hati, melakukan refleksi diri.
Jika kita flash back ke belakang, saat tahun dimana Kado Muhammad ini dirilis, masa-masa itu adalah menjelang lengsernya Orde Baru. Melalui Kado Muhammad itu, Cak Nun dan KiaiKanjeng sedang mengajak masyarakat untuk melakukan refleksi ke dalam diri masing-masing. Dan nyatanya, nomor ”Tombo Ati” ini pun masih sangat relevan jika kita dengarkan kembali hari ini.
Malam itu, KiaiKanjeng mengajak jamaah untuk Maiyahan melalui nomor-nomor yang dibawakan. Bukan hanya menikmati sajian musikalitasnya saja, tetapi juga dari setiap pesan yang disampaikan melalui nomor lagu tersebut. Termasuk juga nomor keempat, Raja Diraja.