Menangkap Pesan Kritik Sosial dari ”Persembahan KIAIKANJENG” di Kenduri Cinta
Pak Joko Kamto berdiri, kemudian membacakan sebuah puisi berjudul ”Rayap”, karya Emha Ainun Nadjib. Bait pertama dibacakan:
Lho gimana sih… kok jadinya kayak begini
Berantakan, serabutan, ruwet, buntu, absurd
Susah dirumuskan, apalagi dibereskan
Kemudian musik gamelan mengalun, nomor ”Syanana” dimainkan. Dan di tengah-tengah musik mengalun, bait puisi dilanjutkan dibaca oleh Pak Joko Kamto.
Aduh rek… rek… ini salah awalnya apa gimana
Apa mungkin badan kita ini terlalu besar sementara jiwa kita agak kerdil
Suka amat kita ini omong kosong besar kepala
Ilmu kita tidak seberapa tapi hati takabur takabur takabur
Kita rajin sekali bersumpah dibawah kitab suci
Tapi diam-diam hati kita tahu bahwa itu semua akan kita langgar sendiri
Jadi sekarang bangunan rumah kita megah… Tapi keropos
Tiang-tiang dan kayu-kayunya digerogoti oleh rayap-rayap
Dan rayap-rayap itu tidak lain adalah diri kita sendiri
Temboknya bocor-bocor
Kita tambal, sambil membuat bocoran-bocoran di tempat lain
Wis embuh rek…
Ndak tahu bagaimana cara mengatasi soal-soal yang kita bikin sendiri ini
Kayaknya kita harus menunggu irama pembusukan ini selesai
Sekitar lima bulan yang lalu, teman-teman di Kenduri Cinta sudah mencoba menginisiasi bagaimana agar KiaiKanjeng bisa tampil dalam sebuah panggung dengan konsep yang khusus untuk menampilkan kualitas musikalitasnya secara maksimal. Sebuah konsep yang digagas untuk menggelar Konser KiaiKanjeng layaknya Konser Kenduri Cinta di tahun 2001 silam. Obrolan di Reboan pun sesekali dibahas mengenai rencana tersebut. Konsep pun dibuat, namun masih disimpan rapat-rapat untuk konsumsi internal di Kenduri Cinta.
Sampai kemudian penggiat Kenduri Cinta mendapat konfirmasi dari Progress Management bahwa ada rencana KiaiKanjeng untuk nyambangi Kenduri Cinta di bulan Oktober ini. Konsep yang sebelumnya sudah tergambar pun kemudian dirancang ulang, untuk mengakomodir kebutuhan Kenduri Cinta edisi Oktober ini. Termasuk songlist yang akan dibawakan oleh KiaiKanjeng, sudah diajukan terlebih dahulu oleh penggiat Kenduri Cinta. Kemudian dirembug bersama, hingga akhirnya disepakati 22 lagu akan dibawakan.
Lagu ”Gundhul Pacul” membuka penampilan KiaiKanjeng malam itu di Kenduri Cinta. Sebuah nomor instrumental yang menghentak dan enerjik. Yang kemudian dinyanyikan syair lagu Gundhul Pacul. Gundhul-gundhul pacul cul, gembelengan… Nyunggi-nyunggi wakul kul gembelengan… Wakul ngglimpang segane dadi sak latar… Wakul ngglimpang segane dadi sak latar….
Dua nomor pembuka yang bukan sekadar sajian musik saja. Ada pesan yang ingin disampaikan oleh KiaiKanjeng kepada masyarakat yang hadir di Taman Ismail Marzuki malam itu. Syair lagu anak-anak ”Gundhul Pacul” memiliki makna yang cukup dalam mengenai kepemimpinan. Pesan yang tersimpan dari lagu ”Gundhul Pacul” kepada seorang pemimpin, bahwa kepemimpinan adalah sebuah tugas mengemban amanah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyatnya.
Wakul nggilmpang segane dadi sak latar. Adalah sebuah pesan, jika seorang pemimpin tidak nyunggi wakul, tidak mengemban amanah dengan baik, tidak menempatkan tugas dan posisinya sesuai prioritasnya, maka ancamannya adalah segane dadi sak latar. Saat bakul tempat nasi tidak dibawa dengan baik, maka ia akan terjatuh, dan nasi di dalam bakul akan tersebar di atas tanah, tidak terdistribusi dengan baik kepada mereka yang membutuhkan.
Cak Nun pernah mengelaborasi makna syair dari lagu ”Gundhul Pacul” itu. Bahwa sega atau nasi adalah perlambang amanat kesejahteraan rakyat. Kepercayaan adalah sesuatu hal yang sangat mahal dan menjadi modal utama untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Sementara wakul atau bakul, adalah tempat nasi. Sebuah perlambang otoritas, legalitas, dan legitimasi pemerintah yang dipersembahkan oleh rakyat kepada pemimpin.