CakNun.com

Memudakan Sumpah Kemanusiaan

Agus Wibowo
Waktu baca ± 5 menit
Photo by Javier Allegue Barros on Unsplash

Dulu di era 80-an, ada istilah ABS (Asal Bapak Senang), idiom ini diletakkan pada situasi dimana bawahan tak lagi punya daya dalam memperjuangkan aspirasinya. Bawahan hanya diminta bekerja dan tidak perlu berpendapat. Semua yang berpendapat akan dianggap mokong, atau dilabeli pekerja tak setia. Akhirnya ada yang mencoba bertahan hidup dengan hanya kerja, kerja, dan kerja. Ada pula yang mencoba peruntungan lebih dengan cara menjilat dan cari muka kepada atasannya. Imbasnya banyak pekerjaan terbengkelai, semua hanya melakukannya dengan seperlunya. Jika tidak ada peninjauan pekerjaan tak disentuh sama sekali, saat ada kunjungan baru dikerjakan dengan rapi dan terlihat sempurna. Itu semua untuk menjunjung etos “Asal Bapak Senang”.

Kini jaman telah berubah, dan etos kerja ABS sudah tidak lagi terdengar. Indonesia sudah lebih maju secara pemikiran dan punya tanggung-jawab penuh pada pekerjaannya. Pekerjaan telah diletakkan sebagai amanah hidup yang sakral, bukan sebuah kegiatan yang difungsikan untuk membuat bapak senang. Karena di era yang telah maju ini, masing-masing pihak tidak merasa patut memanfaatkan situasi dan mengelola kelengahan orang lain untuk menafkahi keluarganya. Inilah bangsa yang telah maju secara jiwa dan maju pula secara spiritual. Sementara bangsa lain kini malah mengalami kemunduran yang diam-diam meniru etos ‘asal bapak senang’. ‘Bapak’ di sini maksudnya adalah dewan pengambil kebijakan tertinggi dalam sebuah otoritas, yang kebijakannya itu tak dapat diganggu gugat. Sehingga, jika si ‘bapak’ ini berkata perempuan bisa jadi laki-laki dan laki-laki bisa jadi perempuan, semua institusi negara dan segenap strukturnya harus menjunjungnya. Mereka akan bersuara sebagaimana maunya ‘bapak’.

Ada perenang pria yang tak punya peluang untuk memenangi kejuaraan renang di kelas pria, memanfaatkan fisiknya yang lebih kuat untuk masuk ke kejuaraan renang perempuan, ia diperbolehkan karena mengaku sebagai perempuan. Ia menang dan mengalahkan perenang lain (perempuan) yang lebih jantan. Sedangkan yang ditakdirkan jantan mengaku betina. Tapi upaya sanggahan tidak berlaku karena para dewan juri telah mengambil keputusan. Kalau di Indonesia mungkin orang-orang hanya ngedumel “yaah terserah bapaknya sajalah”.

Ada seorang perempuan yang menarik secara fisik dan cemerlang secara pemikiran, ia sangat patut ikut kontes kecantikan, ia tidak mengaku jantan, ia mengaku sebagai betina tulen. Menapaki tahapan demi tahapan, mengalahkan beberapa kontestan lain. Persiapan sungguh-sungguh ditempuh. Tapi tiba-tiba ada betina jadi-jadian datang lebih menghentak para ‘bapak’, semua orang terpukau tak percaya, ia pun mendapat sambutan baik, ia ikut kontes yang sama dengan perempuan tadi dan memenangkannya sebagai juara utama. Ia adalah pria yang mengaku sebagai betina. Sedangkan yang betina tulen hanya di urutan kedua. Kalau di Indonesia mungkin orang-orang cuma bisa ngedumel “mau gimana lagi, maunya bapaknya gitu”.

Perilaku ini kian marak dan makin mendapat apologi publik, meskipun semua orang yang masih waras tahu, bahwa manipulasi konyol itu sangat brutal dan mencemari kemanusiaan yang adil dan beradab. Seseorang bisa tiba-tiba menjadi juara bukan karena jerih payah dan usaha kerasnya namun karena banyak orang telah keracunan akal sehatnya. Banyak yang sudah susah untuk memahami alur sederhana, sulit merumuskan sebab akibat, apalagi mengusung keindahan yang didukung kebenaran dan kebaikan. Mungkin suatu ketika bisa saja terjadi, pemanjat tebing dijunjung pakai crane dan menang. Pesebakbola yang nunggu di depan gawang lawan, lalu bolanya dihantarkan kepadanya, kemudian ia tendang, lalu goal. Ada pemenang balap kuda tapi peserta lain harus berpacu naik kuda lumping. Semua itu tidak dianggap offside atau pelanggaran apapun. Malah dianggap cerdik, cerdas, dan pandai menempatkan posisi, gesit memanfaatkan peluang. Jika hidup sudah tidak lagi teratur dalam tertib alur, semua aspek bisa amburadul. Proses alamiah ditabrak atas kesepakatan sepihak dimana pihak ini memiliki posisi kuat dalam mengambil kebijakan.

Inilah makna istilah “Deso mowo coro, Negoro mowo Toto” (Desa dengan kreativitas, Negara dengan tata aturan). Hidup di desa, yang utama adalah cara. Mereka punya cara maka ia hidup. Bisa nderes Aren, bisa memanen madu hutan, bisa menanam, bisa memelihara ternak, bisa menjaring ikan, dlsb. Masing-masing profesi itu tidak ada sertifikat, tidak ada SOP, tidak ada protap, dan segala tetek bengek yang resmi dan tertulis. Sebab mereka mengutamakan cara. Sedangkan aturan yang jelimet akan menghambat mereka mencari nafkah. Meski demikian, ada peraturan yang telah tertanam dalam hati. Peraturan ini diturunkan secara tutur oleh para orang tua kepada anak-anaknya. Sebagai contoh: Ditekankan untuk melindungi orang lain termasuk hak-haknya, menghormati proses, bekerja-keras, jujur, menjunjung kerja sama. Sehingga mencuri, memanipulasi, malas-malasan, berbohong, dan individualistis menjadi masalah hidup, jika ia tinggal di desa.

Hampir tidak ada penataan hukum yang jelas dan tertulis, kebanyakan hukum secara verbal dan turun-temurun. Kartu identitas tidak penting karena penghuni desa dengan mudah mengenali anggota masyarakatnya sendiri. Sertifikat tak diperlukan karena yang utama kehandalan. Ijazah tidak menjadi banyak guna karena keuletan yang lebih menopangnya. Semakin banyak pergaulan semakin mudah hidupnya, semakin banyak kenalan dan koneksi semakin sukses, semakin suka bagi-bagi kepada banyak orang dianggap dermawan. Semakin berani tampil, seburuk apapun performanya akan dimaklumi, dan dianggap berani. Inilah kelebihan dan kelemahan desa, di satu sisi akan hidup serasa surga, namun sekali ada yang culas dan memendam rencana pribadi akan mengubah surga menjadi neraka yang penuh tipu daya. Cara hidup desa ini jangan dibawa ke kota, karena kota punya dinamika dan tata-krama pergaulan yang lebih formal.

Halnya di kota, semua harus ada penataan dan hukum yang jelas. Karena di kota telah dihuni oleh ribuan variasi karakter dari jutaan latar belakang orang yang berada di sana. Semua harus tertata dan tertulis. Kartu identitas menjadi penting karena tidak jarang orang bersembunyi dengan aman karena tidak dikenali, sertifikat berguna karena bukti itu bisa memberitahukan kemampuan apa yang dimilikinya, titel membawa pengaruh karena titel itu menandakan jenjang pendidikan yang dienyamnya. Namun demikian masing-masing pihak tidak bisa mengandalkan tetek bengek itu tanpa kehandalan. Untuk hidup jika semata-mata mengandalkan itu saja maka akan banyak pekerjaan yang tak tergarap, yang ada hanya akan menambah daftar orang-orang yang bertahan dengan oportunis, hipokrit, dan lagi-lagi menghidupkan lagi etos ‘ABS’.

Orang yang tertatih-tatih dengan proses alami dan menjaga cita-citanya dengan jatuh bangun, bisa batal mentah-mentah. Karena secara seketika ada yang berhasil memanfaatkan peluang kekuatannya di tengah kondisi penalaran toksik yang tengah merajalela. Hidup di kota tak lagi dengan ‘tata’ namun dengan ‘cara’, ‘gimana caranya’. Sementara yang memenangkan cara itu pasti yang memiliki modal paling besar, dan sebesar-besar modal adalah kekuasaan. Sebab banyak kiranya orang punya uang, banyak pula orang punya kepandaian, hanya sedikit orang punya kekuasaan. Modal ini adalah titipan yang sangat berat karena tingkat risikonya. Risiko terukur bukan terletak pada kekuasaan itu langgeng atau tumbang, tapi pada sejauh mana kekuasaan itu digunakan untuk memperjuangkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Jika tidak, maka gerbang ketidakadilan terbuka, orang-orang berlomba mencari cara dan sanggup mengerahkan segala daya untuk mendapat kuasa. Orang-orang tak peduli lagi dengan pekerjaan apapun, hanya tertarik untuk menjadi penguasa selama-lamanya. Indahlah kiranya para pejuang bangsa ini yang punya visi jauh ke depan dan memahami risiko kekuasaan. Maka mereka telah sejak lama mencoba menjaga mengontrol api kuasa negeri ini agar tiap-tiap orang yang hidup di atas tanah air ini tidak memandang api itu sebagai kue lezat yang diperebutkan, pada tahun 1928 dengan Sumpah Pemuda, dan pada 1945 dengan Pancasila. Negeri ini adalah yang utama, dan Tuhan Yang Maha Esa menjadi Kuasa utama dalam pengambilan segala kebijakannya.

Ungaran, Oktober 2023

Lainnya