Membincang Esai ”Hutang-Hutang Kebudayaan: dari Masalah Idealisme dan Orientasi Kaum Muda”
Acara SastraEmha edisi Juni 2023 yang akan digelar pada Kamis 22 Juni 2023, selain tetap mengajak kita menikmati puisi-puisi karya Cak Nun bersama Joko Kamto dan Seteng Yuniawan, akan membawa kita masuk ke esai karya Cak Nun. Akan hadir Simon HT sebagai pembicara yang akan mengantarkan kita menikmati salah satu esai Cak Nun berjudul “Hutang-Hutang Kebudayaan: dari Masalah Idealisme dan Orientasi Kaum Muda”. Esai ini terbit pertama kali di Majalah Pustaka, Perpustakaan Salman ITB Bandung, edisi No. 9 Th. II, 1978, hlm. 38-44.
Garis besar esai ini mengulas mengenai a) hutang kebudayaan, b) cakupan hutang kebudayaan sebagai cakupan seseorang dengan dirinya sendiri, c) posisi kebudayaan di tengah modernisasi, dan d) kedudukan anak muda di tengah arus modernisasi.
Pada esai itu Cak Nun membedakan hutang dalam pengertian ekonomi-materi dan kebudayaan-mental. Yang terakhir ini bersifat dinamis karena berkaitan dengan wacana sejarah, sosial, dan perkembangan kewaktuan. Itulah sebabnya, Cak Nun mendefinisikan kebudayaan sebagai sesuatu yang bergerak dan karenanya makin lama — bila hutang tidak ditangguhkan — maka makin menumpuk, baik bersifat kualitatif maupun kuantitatif.
Pertanyaannya kemudian adalah adakah kebudayaan yang bersifat ideal? Cak Nun menjawab: ada. Sebab, baginya, kebudayaan yang ideal cenderung bersifat melingkar menuju sesuatu yang bersifat esensial. Di samping itu, Cak Nun memfokuskan pada seperti apakah bentuk hutang kebudayaan bagi anak-anak muda.
Sebelum membahas bentuk hutangnya, Cak Nun menyentil bagaimana keadaan zaman yang tengah dihadapi anak-anak muda, khususnya di era 70-an. Pada waktu itu keadaan sosial sedang menghadapi era pembangunanisme. Pembangunanisme adalah suatu gerak-zaman yang mengedepankan sesuatu yang tampak kasatmata: industrialisasi. Namun demikian, Cak Nun mengembalikan posisi modernisasi sebagai suatu perubahan yang bersiafat mental. Ia adalah bentuk dari bagaimana seseorang menyikapi sesuatu yang berada di luarnya.
Dengan demikian, modernisasi tidak menandai suatu era baru yang berbeda dengan sebelumnya. Namun, modernisasi merupakan corak atas tatanan sikap mental seseorang.
Sementara itu, anak-anak muda di Indonesia menghadapi corak zaman. Pertama, mereka dilahirkan oleh spiritualisme timur yang identik dengan keluguan, kedamaian, dan kerukunan hati. Ketiganya dikondisikan oleh corak masyarakat agraris dan tradisi keagamaan. Kedua, anak muda dilahirkan — sekali lagi pada konteks 70-an — atas kondisi materialisme, rasionalisme, dan sekularisme yang menggejala berikut bentuk-bentuk konkretnya melalui keberadaan teknologi modern.
Apa yang disebut sebagai “hutang kebudayaan” bagi anak muda adalah bagaimana mereka memiliki daya responsif atau kepemilikan wawasan atas dirinya sendiri di tengah dua corak zaman di atas. Hutang kebudayaan itu dapat anak muda lunasi apabila mereka memiliki “langkah-langkah” strategis untuk menghadapi dua tegangan zaman sebagaimana disinggung sebelumnya.
Cak Nun memberikan contoh sejauh mana pelunasan hutang-hutang kebudayaan itu. Pertama, bagaimana pendidikan formal tidak hanya bersifat informatif-konsumtif, namun juga memberikan perangsangan atas tumbuhnya kreativitas rohani. Selain itu, orang tua anak-anak muda itu diupayakan tidak menjejali buah hatinya pada pemenuhan kebutuhan, hiburan, serta konsumsi semata, tetapi juga langkah pedagogis yang membuka kreativitas, daya mandiri, daya cari, dan langkah individu untuk mengolah dirinya demi menghadapi masa depan.
Termasuk pula, Cak Nun menambahkan, “Bagaimana setiap medium, perkumpulan-perkumpulan sosial, Pramuka, group kesenian, perguruan silat, bahkan juga kelompok olah raga, tidak abai terhadap pentingnya penumbuhan kreativitas individu lewat sektornya masing-masing.”
Dengan demikian, Cak Nun melalui esainya itu menyodorkan suatu gagasan “kolektivitas sosial-budaya” untuk membayar “hutang kebudayaan” mereka agar mengolah kepribadian, tatanan sikap mental, penumbuhan kreativitas, dan idealisme.
Bersama Simon HT, kita akan menikmati, mensyukuri, dan menyelami pemikiran Cak Nun dalam ”Hutang-Hutang Kebudayaan: dari Masalah Idealisme dan Orientasi Kaum Muda”.