Materialisasi Manusia
Sarasehan yang dihadiri oleh doktor bule itu jelas akan berlangsung hingga pagi. Salah seorang hadirin, yang ternyata adalah mantan mahasiswa studi Islam di sebuah universitas mancanegara bercerita tentang salah seorang dosennya.
“Ia seorang ilmuwan yang tak ada duanya,” demikian ia memulai kisahnya. “Mungkin Tuhan menciptakan hanya satu itu saja di seantero negeri selama satu abad yang kita alami. Otaknya sangat cemerlang, ketajaman pandangannya prima, rambahan kepustakaannya tak terlawan, kerajinan akademisnya dahsyat, daya pembaharuan pemikirannya belum ada yang bisa menandingi… Tetapi itulah pada akhirnya yang justru membuat kekecewaan saya memuncak tanpa bisa saya halangi!”
Diceritakannya bahwa ketika itu selama lebih dua tahun ia menjadi mahasiswanya bersama sekitar empat puluh rekan dari tanah air. Apa yang lebih ideal dan membanggakan dibanding menjadi murid dari seorang tokoh prolifik yang tak ada duanya ini? Dialah pendekar segala pendekar di bidangnya. Dialah master segala master di lingkarannya.
“Namun sungguh saya tidak pernah menyangka, memimpikan pun tidak, bahwa ternyata ia memiliki subjektivitas yang begitu tinggi sebagai ilmuwan.”
“Bagaimana maksud Anda?” seorang hadirin lain bertanya.
“Di dalam peta pemikiran-pemikirannya, ia telah memilih salah satu aliran secara intelektual dan suatu sikap secara politik. Pandangan dan penilaiannya terhadap mahasiswanya di dasarkan pada pilihan ini. Kalau dalam karya tulis mahasiswa terkandung pemikiran dan sikap yang tidak klop dengan pilihannya, maka ia akan diberi nilai buruk. Sebaliknya siapa saja yang karyanya menunjukkan kecenderungan aliran yang sama dengannya, maka langsung diberi nilai baik.
“Jadi beliau sama sekali tidak mengemban objektivitas akademis, kebenaran ilmiah dan keadilan demokrasi ilmu. Mestinya, apa pun aliran pemikiran yang dicenderungi oleh mahasiswa, tidak menjadi kriteria penilaian. Sebab yang dipakai untuk menentukan bagus-tidaknya suatu karya tulis adalah standar-standar akademis dan ilmiah murni yang berdasarkan kebenaran universal. Dan sejak hari pertama saya mengikuti kelas beliau, saya selalu punya keyakinan bahwa ilmuwan besar macam beliau pastilah akan dengan sendirinya menjalankan prinsip adil dan benar semacam itu.
“Tapi ternyata tidak. Saya mungkin tidak kaget dan tidak terlalu pusing seandainya yang berlaku seperti itu adalah dosen-dosen yang saya jumpai pada kebanyakan gejala di kampus-kampus. Tetapi sungguh saya pening; bagaimana mungkin itu terjadi pada manusia unggul macam beliau? Selama ini saya menganggap beliau bukan sekadar sebagai cendekiawan mumpuni, tapi juga pemimpin intelektual, bahkan teladan dalam hal moral dan spiritual. Ternyata, saya bagaikan tersandung batu besar dan jatuh terjerembab.”
Padahal, menurut si empunya kisah ini, mahasiswa yang menjadi korban ketidakadilan akademis ini, alias yang pemikiran dan sikapnya tidak sealiran dengan sang dosen, adalah mayoritas, hampir 90 persen dari keseluruhan.
“Terpaksa kami melakukan kompromi-kompromi tertentu,” lanjutnya dengan nada prihatin. “Sebab bagaimanapun, kami jauh-jauh ke luar negeri tidak terutama untuk melakukan perjuangan politik atau nilai, melainkan, maaf, untuk menempuh proses karier dan demi menyenangkan orang tua kami di rumah. Kami tidak mau menghancurkan masa depan kami dengan sejumlah kalimat yang tak disukai oleh dosen kami.”
“Dahsyat!” celetuk salah seorang.
“Di kalangan kaum akademisi dan di mana keilmuan objektif diberlakukan, beliau sanggup berbuat tidak jernih semacam itu. Apalagi di wilayah kehidupan lain yang jauh dari tradisi ilmiah,” sahut yang lain.
“Itu kan suatu jenis korupsi!” lainnya teriak.
Kemudian kisah berlanjut dengan pemaparan sejumlah adegan tentang tokoh yang sama yang oleh forum dipandang logis karena ada referensi semacam yang diceritakan itu.
Referensi itu membukakan semacam spektrum mata pandang baru dalam menilai kembali tokoh tersebut.
“Coba perhatikan,” berkata mantan mahasiswa itu, “aliran pemikiran beliau tergolong sayap kecenderungan yang secara politis-ideologis sangat klop dengan jenis kekuasaan politik yang berlaku di sini. Kalau kita amati alur dan substansi pemikiran-pemikiran beliau dari era ke era, tampak semcam benang merah subordinasi terhadap hegemoni kekuasaan. Di tahap awal wataknya sekadar moderat dan merangsangkan liberalisasi, dan itu pasti diterima oleh sejarah karena indikatif terhadap keseluruhan proses demokratisasi. Tapi pada tahap berikutnya, semakin tampak bahwa pilihan aliran itu bukan hanya steril dan tidak kritis terhadap kekuasaan, melainkan sudah merupakan dukungan kultural, yang hanya orang-orang bermata tajam saja yang bisa menangkapnya…”
“Apa itu bukan sangka buruk?” Kang Guru memotong.
“Maaf, Kang Guru, saya justru menjadi sukar untuk tidak percaya terhadap berbagai berita lain tentang tokoh ini. Bahwa ternyata ia juga punya ambisi serius untuk menjadi pemimpin formal, punya obsesi materialisme dan hedonisme. Maaf, rumah, mobil, dan kekayaan beliau sekarang ini sangat terkait erat dengan subordinasi pemikirannya itu. Masya Allah. Padahal sebagai ilmuwan saja sudah agung rasanya, dan beliau sudah dengan sendirinya memperoleh kedudukan mulia sebagai pemimpin bangsa, tak usah menjadi menteri atau jenis pemimpin kelas menengah kota seperti yang diupayakannya selama ini. Dan lagi, untuk apa hedonisme itu! Beliau bukan potongan untuk itu, tak cocok pakai mobil dan rumah mewah, ndak bisa minum wiski atau nyanyi di karaoke. Beliau tampak anggun justru kalau memilih gaya hidup sederhana…”
“Sangka buruk!” teriak Kang Guru lagi.[]