CakNun.com
Tadabbur Hari ini (59)

Maha Pengasuh Jagat Majemuk

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ

(Al-Fatihah: 1-7)

Ruang dan waktu, materi, energi, syariat fisika beserta konstanta yang menggambarkannya, tidak hanya ada dan berlangsung di “kampung halaman” kita semesta yang kita huni ini. Melainkan ia bersama secara mejemuk (“dihimpun” oleh Penciptanya) dengan semesta-semesta yang lain, yang sebagian ilmuwan menduga itu berposisi paralel satu sama lain. Alam-alam atau semesta-semesta lain yang bermacam-macam di dalam multisemesta disebut “alam semesta paralel”, “alam semesta lain”, atau “alam semesta alternatif (altversum)”.

Maka orang Muslim mentradisikan kesadaran (dzikir) dan ucapan “Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin”. Sejak kecil orangtua kita tidak mengajari ucapan “Alhamdulillahi Rabbil ‘alam”, melainkan “’alamin”. Bahwa hampir semua orang termasuk Kaum Muslimin tatkala mengucapkan itu hanya mengasosiasikan “satu alam semesta”, tentu karena kita kurang terdidik untuk waspada pada kelengkapan atau kepenuhan.

ٱلَّذِينَ يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمٗا وَقُعُودٗا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ
وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ
رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَٰذَا بَٰطِلٗا سُبۡحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Ali-Imran: 191)

Firman itu diakhiri dengan “peliharalah kami dari api neraka” sudah pasti memaknakan bahwa ingatan dan pengetahuan kita mengenai alam-alam semesta itu harus kita selenggarakan sehati-hati mungkin, seteliti dan sewaspada mungkin, bahkan mungkin serendah hati atau se“tawadldlu’” mungkin. Karena ternyata proses itu berkaitan dengan pehitungan atau hisab Tuhan yang potensial mengangkut kita ke surga ataupun neraka. Kalau pakai idiom Al-Fatihah, proses dan output penghayatan ilmu pengetahuan kita atas alam-alam semesta itu bisa menjebak kita menjadi “almaghdlubi ‘alaihim” atau bahkan terjerembab menjadi “ad-dhollin”.

Kita tidak mempermasalahkan dan tidak kaget oleh kenyataan bahwa di bangku-bangku kuilah, di kurikulum Sekolah dan Universitas, pembelajaran tentang astronomi, fisika, biologi, botani, zoologi serta mata kuliah apapun, termasuk pertanian, kehutanan dan kelautan, yang terkait dengan keajaiban terciptanya alam-alam semesta — hampir tidak pernah direlevansikan dengan tema penciptaan oleh Tuhan. Tidak ditumbuhkan ingatan bahwa lautan ada yang bikin, rembulan bumi matahari ada yang mendesain, bahwa galaksi-galaksi yang luas dan besarnya di luar jangkauan pengetahuan manusia ada yang memproduksi.

Kita tidak akan menuliskan bahwa fakta dunia kependidikan itu adalah perilaku “kufur”. Mungkin dunia Pendidikan di dunia ini hanya belum ingat, meskipun tidak bisa dihitung kapan akan pernah ingat. Kita tidak akan menuding itu kelalaian. Kita tidak akan mempersoalkannya untuk menemukan belahan-belahan dan golongan-golongan. Kita bahkan tidak akan mengideologikannya, mempolitisirnya atau meladeni hal-hal lain yang memperparah perilaku kedengkian di antara kelompok-kelompok ummat manusia.

إِنَّ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ
لَأٓيَٰتٖ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (Ali-Imran: 190)

Mungkin kebanyakan manusia termasuk kita sendiri adalah Ulul Abab belaka. Istilah Jawanya “dodol cangkem”. Kita tidak pernah diajak berjuang oleh siapapun untuk mencapai kualitas Ulul Albab, Ulul Abshar atau Ulun Nuha. Sehingga ketika kita dipilih dan diangkat menjadi Ulul Amri, kepemimpinan kita jumud dan manajemen kita amburadul.

Dan itu membuat pemaknaan kita terhdap setiap serpih ayat Al-Fatihah menjadi membeku dan tidak punya energi ijtihadiyah. Sampai berabad-abad lamanya. Al’alamin saja tidak membuat kita terbiasa memiliki automasi kesadaran tentang multiverse. Maliki yaumiddin tidak pernah tergambar di mind kita sebagai skala muhasabah, karena kosmos pengetahuan matematika kita terbatas pada ruang materiil yang sebenarnya sangat mikro dibanding dengan ketakterhingga urusan dengan multiverse.

Maka tatkala bersumpah Iyyaka na’budu wa iyyaKa nasta’in, tidak muncul gambar agung dan tak terhingga dari asosiasi kosakata Din di kalimat sebelumnya. Kemudian as-shirath al-mustaqim juga hanya melahirkan konsep linier, sepenggal dan diskontinu. Lantas an’amta ‘alaihim kita refleksikan terbatas pada uang, harta benda, dan karier pribadi. Maka tidak mengejutkan kalau kita menjalani kebudayaan dan peradaban yang tidak cenderung memperkecil potensi ghairil maghdlubi ‘alaihim walad-dholliin.

Emha Ainun Nadjib
27 Juni 2023.

Lainnya

Al-Fatihah dan Prasmanan Qur`an

Al-Fatihah dan Prasmanan Qur`an

Itu semua adalah kandungan rahim Al-Fatihah. Multiverse, al-‘alamin yang tidak hanya dalam pengertian materiil atau jasadiyah. Sebagaimana kita selalu keliru kalau membayangkan surga.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version