“Klenik” Al-Fatihah
بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ(Al-Fatihah: 1-7)
Memang wacana tentang jimat, klenik, syirik, musyrik, dukun, sampai era modern sekarang ini masih terus berseliweran di dalam budaya masyarakat kita.
Ummat Islam tertentu secara subjektif menerapkan semacam mekanisme defensif dengan mengajukan anti-tesis melalui idiom “syirik”, memohon kepada yang selain Tuhan, bahkan sampai taraf menuhankan yang selain Allah.
Sesungguhnya ini persoalan serius, tetapi belum pernah ada yang meng-handle pen-dunung-annya secara rasional, ilmiah atau akademik. Para pemimpin, para pemuka Agama dan kaum cendekiawan, membiarkan wacana “klenik” tetap sebagai bola liar kultural, di mana masyarakat harus melayani dan menanggung risikonya sendiri. Belum ada pihak yang menolong publik untuk memproporsikan pemahaman, pangertian, dan hakikatnya.
Jangankan menuhankan keris pusaka, akik atau benda macam-macam lain, sedangkan menuhankan Nabi Muhammad, menuhankan Malaikat Jibril, menuhankan pemimpin Negara atau mantan Presiden, menuhankan tokoh dan apapun saja selain Allah, semua itu berstatus musyrik.
Kalau Anda bertanya kepada siapapun dari bangsa dan masyarakat, tidak seorang pun akan menjawab bahwa ia menuhankan tokoh ini itu atau jenis-jenis “Latta Uzza” apapun. Mereka tidak secara eksplisit dan naratif mensyahadati itu semua sebagai Tuhan.
Yang mereka lakukan adalah mentaati, mengagumi, mensubya-subya, menjunjung-junjung, membela mati-matian dan seterusnya dengan kadar dan taraf yang bisa disebut menuhankan. Bahasa umumnya mungkin memberhalakan. Mereka bukan sekedar mengabdi, tapi sudah sampai pada kadar dan tingkat menyembah.
Memang makhluk manusia memiliki kerapuhan mental, akal, dan spiritualitas yang bukan tidak parah. Sedemikian rupa sehingga mereka sangat mudah digiring, dipengaruhi, dihanyutkan, kemudian dirusak, bahkan oleh tuhan-tuhan kecil seperti Internet, Facebook, Twitter, Instagram atau TikTok.
Masyarakat ultramodern milenial pun memiliki keterjebakannya sendiri oleh klenik-klenik manual maupun digital. Bahkan manusia sendiri yang menyebut dan mengistilahkan “dunia maya”. Cyberspace, cyberworld. Manusia modern berinteraksi sangat aktif dengan hantu-hantunya sendiri, dengan kuntilanak, wewe gombel dan sundel bolongnya yang mereka ciptakan sendiri.
Memang begitulah mental dan peradaban berhala. Orang bikin berhala sendiri, disembah-sembah sendiri, kemudian dihancurkan sendiri dan diganti dengan berhala baru bikinannya sendiri pula.
Sangat jamak bahwa para Pejabat Negara menggantungkan dirinya pada Dukun. Bahwa banyak pengusaha-pengusaha yang kaliber besar maupun kecil memiliki hubungan dengan klenik-kleniknya sendiri. Gunung Kawi misalnya adalah “ka’bah”nya dunia klenik nasional. Dari sejumlah pihak di Gunung Kawi, yang sampai hari ini belum ada penjelasannya di kurikulum-kurikulum Universitas manapun — para pengusaha memperoleh nama merk produksinya. Tidak tertutup kemungkinan para Dosen atau pejabat Pendidikan tertentu justru menjadi “jamaah” Gunung Kawi untuk melancarkan kariernya, menyikut pesaingnya atau bahkan untuk mengalahkan kompetitornya.
Saya pernah sedikit terlibat konflik dengan sebagian dari 39 Dukun yang melatarbelakangi kekuatan salah seorang Presiden. Bahkan tidak sedikit orang tersesat yang datang minta tolong kepada saya, karena mereka menganggap saya adalah Dukun, atau sekurang-kurangnya memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk melawan Dukun. Kalau dilihat dari sudut keawaman saya, maka jelas mereka itu orang-orang yang tersesat.
Bahkan di forum-forum Maiyah sendiri terkadang saya menemukan dan merasakan bahwa ada nuansa anggapan dan perlakuan mereka kepada saya seolah-oleh saya ini seorang Dukun.
Kepada mereka selalu saya uraikan penjelasan yang prinsipnya adalah menghindarkan interaksi kami terserat ke wilayah “syirik”. Bahwa “la haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adhim”. Parameter syirik sebenarnya sederhana: yang selain Allah tidak dianggap dan memperlakukan sebagai Allah. Akan tetapi banyak orang cenderung sembrono menyimpulkan kesyirikan hanya dari tanda-tanda fisik atau jasadiyah-nya.
Seringkali tuduhannya lebih mengandung substansi “syirik” dibanding yang dituduh.
Emha Ainun Nadjib
19 Mei 2023.