Kitab Suci
Kata pertama Quran adalah iqra’, kan? Membaca Kitab Suci bisa tak usah repot sering bersila membacanya di kamar terkunci. Sebab kita bisa membaca ruhnya. Di tengah pekerjaan lain dan di mana saja, sambil kerja di kantor, sambil menjala ikan, sambil mengedarkan Pepsodent, sambil nyopir bus kota, atau sambil berjualan membantu Engkoh di toko. Atau mencangkul di sawah adalah membaca ruh Kitab Suci itu sendiri. Meneropong preparat di ruang praktikum adalah membaca Kitab Suci itu sendiri. Tak usah eret-eret Quran ke mana-mana. Sebab ruhnya bisa bersila dalam ruang ingatan kita. Wong salah satu gelar Quran itu ialah Adz-dzikr. Ingatan. Atau peringatan. Kalau ruhnya sudah nge-pos dalam jiwa kita, maka dialah yang jadi masinis kereta api hidup kita.
Ruh Quran adalah abad Tuhan. Napas-Nya yang segar dan membahagiakan. Maka, rasanya si Aku ini bersatu dengan Allah dalam mengendalikan setiap gerak dan keputusan kehidupan. Ruh itu rasanya kita sediakan kursi tersendiri di tengah sidang Kabinet, di tengah rapat pentas teater, rembug pembangunan irigasi, atau seminar bagaimana menanggulangi anak pertama kita yang nakalnya audzubillah ini. Ruh itu berperan di mana-mana. Kenapa tidak? Kenapa tidak seharusnya demikian?
Tetapi, kalau Kitab Suci hanyalah seonggok kertas yang tergeletak di atas meja, atau semacam lukisan abstrak pajangan di ruang depan yang kita sendiri tak mengapresiasinya, atau seperti lipstik yang lenyap sehabis kehujanan, dan ruhnya tak ada kaitannya dengan jiwa kita, maka di kantor dengan kalem kita lakukan manipulasi tanah atau menelepon koran Anu melarangnya memuat perihal berita korupsi besar-besaran untuk supaya tidak kita berangus.
Coba bayangkan, ruh itu bersama-sama kita ke mana-mana. Bertemu dan terlibat dengan peristiwa demi peristiwa. Pengalaman demi pengalaman. Nuansa demi nuansa. Dimensi demi dimensi. Keterlibatan itu akan selalu memberi intensitas baru. Suasana baru. Hubungan baru antara jiwa kita dengan ruh itu. Saraf-saraf pengalaman yang begitu ragam, jaringan-jaringan komputer rohani kita, yang berangkat dari latar belakang, melangkahi hari demi hari, yang berbeda antara satu dengan lainnya. Semua itu adalah dunia-dunia tersendiri, yang dalam proses pergaulannya dengan si ruh Kitab Suci, merupakan gerak ke cakrawala tanpa pernah henti. Nanti sampai di rumah, sesekali kita baca fisik Quran itu dengan tartil, dan tiba-tiba lahir sesuatu yang baru. Jiwa kita menjadi baru. Ruh itu pun menumbuhkan kekayaannya yang baru. Dunia ini lahir kembali.
Dengan bahasa yang populer sekarang: ‘Marilah kita galang persatuan dan kesatuan… dengan ruh Kitab Suci. Persatuan ini macam-macam tekanannya. Ada yang bersatu secara lebih intelektual. Ada yang emosional. Nilai-nilai dasar yang dikandung Kitab Suci itu sudah tertera dalam naluri jiwa manusia secara fitrah. Jadi asal setia penuh pada hati nurani, insyaAllah sesuai dengan Kitab Suci. Ada lagi orang yang sekadar bisa baca Quran saja: punya tradisi nderes Quran berjam-jam, bersila dan tubuhnya bergoyang-goyang ke kiri ke kanan, fly, bercinta begitu khusyuk dan romantik dengan Tuhannya. Memang ia tak bisa mengartikan bahasa Arab, tetapi percintaan itu sudah terlangsung dengan sistem komunikasi tersendiri. Ini sudah sangat lumayan. Di desa saya anak di bawah umur 10 tahun sudah lancar baca Quran. Menderes Al Quran …….. adalah kebudayaan religi yang paling digemari. Dikerjakan amat sering. Habis Magrib sampai Isya tiba. Malam jauh sesudah jumpritan atau latihan pencak usai, atau sehabis subuh. Atau kalau Ramadlan sehari-harian nderes di surau, dan malam tadarrusan berlomba banyakan khatam.
Di sini Kitab Suci itu semacam ungkal. Kita pakai untuk mengasah clurit batin kita. Mengasah kesetiaan. Iman takwa. Racinta. Komitmen. Kelembutan intuisi dan ketajaman insting keilahian kita. Memang otak kurang kesibukan. Kecerdasan kurang dikembangkan. Tetapi, setidak-tidaknya nderes itu melatih kekariban kita dengan Allah, melatih kesatuan gerak hidup kita dengan gerak iradah-Nya. Setidaknya langkah- langkah kita lebih dijaga dan dipelihara oleh Allah. Tapak kaki dituntun, perilaku tangan kita dibimbing, mulut kita diberi kendali. Kenapa tidak. Wong Allah amat mencintai hamba-hamba-Nya, dan hamba-Nya ini pun sudah demikian cinta, bahkan melatih kekuatan cinta itu dari hari ke hari. Cinta itu begitu penuh, total, bahkan boleh disebut bagaikan cinta buta.
Cerita memang sedikit bergeser ketika suatu hari ke desa saya itu datang seorang cowboy dari kota. Seorang mubalig modern. Pioneer yang menjajakan inovasi, pembaruan: Ini Islam Baru! Ini Baru Islam!
Untuk apa baca Al Quran cas-cis-cus kalau enggak tahu artinya! Itu kalimat pertama advertensinya. Dengan pola tablig yang ‘enak dibaca, dan perlu’ bagaikan majalah Tempo, agar bisa menjadi ‘bagian dari gaya hidup Anda’ seperti majalah Femina, koboi kita ini menuturkan bagaimana beragama yang benar. Enggak boleh cinta buta saja. Mesti paham apa isi Quran. Islam modern dong. Islam intelektual. Islam penalaran. Islam rasional. Islam yang pakai otak, enggak hanya dengkul saja. Jangan taklid. Orang taklid itu bagaikan bebek, ikut ke sana ke mari tanpa tahu apa yang diikutinya.
Nah, orang-orang desa yang ‘tak berotak’ itu pun terperangah. Kendor tradisinya. Turun intensitasnya. Tapi, rupanya menjalankan tren intelektual ini bukan masalah gampang. Sebab kaitannya sangat erat dengan kondisi tingkat pendidikan keseluruhan masyarakat. Intelektualisme adalah suatu disiplin baru yang harus dijamin terlebih dahulu implementasinya oleh keberhasilan lembaga pendidikan formal kita. Nah, sementara nderes mengendor, Islam intelektual pun tak smooth berjalan. Bahkan juga di kota-kota, tempat orang-orang pandai. Di bagian lain ‘inovasi’ itu menjadi alasan klise untuk membikin sebagian putra-putri kita malas ngaji Quran. ”Yang penting kan tahu artinya” —mereka berkilah. Disangkanya Quran bisa diterjemahkan keutuhannya. Disangkanya jiwa bahasa Quran bisa dialihkan ke bahasa Indonesia. Disangkanya membaca terjemahan Quran itu berarti mengenali seluruh aspek yang dimilikinya. Lihatlah makin sedikit orang mau belajar bahasa Arab. Lihatlah makin banyak anak-anak kita mendekati Islam dari tangan kedua. Second hand. Lihatlah ada bobot first hand dan second hand. Lihatlah beda cinta kasihnya. Lihatlah beda kedalaman dan keluasannya.
Padahal di desa pun orang bukannya sama sekali tak mengerti terjemahan Quran. Pelajaran tafsir selalu menjadi bagian yang tak pernah ditinggalkan. Di tulisan Quran selalu ada ruang-ruang yang disediakan untuk menuliskan terjemahannya. Nulis ayat Quran selalu dengan double-spasi. Mending tetangga saya yang fasih baca Quran dan nderes terus meskipun tafsir tak begitu dikuasainya. Ia tinggal memperdalam tafsir itu. Dibanding paman Polan yang hanya tahu baca terjemahan Quran.
Ini paralel dengan makin menipisnya wadah-wadah kultur bagi ‘emosi beragama’ di desa (itulah tetumbuhan agama yang sesuai dengan alam kejiwaan dan juga struktur masyarakat desa), sementara sasaran baru ‘Islam intelektual’ bukannya makin tercapai. Atau ini sekadar ongkos pertama dari setiap inovasi? Semacam uang pangkal begitu?
Saya sih enggak berpihak. Maunya semua, ya emosional ya intelektual, kalau bisa. Jangan melepaskan perkutut di tangan, elang di angkasa tak berpegang. Beragama itu utuh. Total. Hidup kan juga utuh. Ya emosional, ya intelektual, ya romantis, ya nylekutis…. ya semuanya. Bersatu dengan ruh Quran juga dengan semua itu. Cuma kadarnya berbeda-beda. Ngedril zikir sampai sukma mabuk. Tapi, saat lain menghadapinya dengan pikiran, mencari pengertian, menemukan makna-makna rasional.
Lho, cinta sama Tuhan ‘kan tak berarti harus seharian nguthek di depan sajadah dan Quran. Belajar ilmu peternakan kan juga berarti mempelajari Quran. Quran itu bagaikan wanita hamil, beratus kali hamil, bayinya adalah kelahiran demi kelahiran kehidupan.
Beratus kali, bahkan beribu kali, tetapi terjadi dalam hidup kita yang hanya sekali.