Kitab Suci
Meskipun kitab itu sama dengan buku, tapi Kitab Suci tak sama dengan Buku Suci. Kalau Kitab Suci itu diturunkan dari atas langit oleh Tuhan, sedang Buku Suci diturunkan dari percetakan oleh panitia Plonco. Tapi, memang ada juga persamaannya. Kalau Buku Suci yang terjatuh, Panitia Plonco saya di UGM dulu naik pitam, membentak-bentak saya dan menyuruh agar saya menciuminya (maksud saya mencium Buku Suci itu) dan mengangkatnya di atas kepala. Persis dengan tindakan Ibu saya zaman kanak-kanak saya dulu. Kalau Quran saya terjatuh karena kurang berhati-hati waktu berlari-lari dari rumah menuju masjid di magrib hari, dengan wajah sedih Ibu saya menyuruh saya mencium dan nyunggi Kita Suci itu di kepala saya sambil membaca istighfar, minta maaf, sorry pada Tuhan.
Sehabis tamat SMA dulu saya menganggap tindakan Ibu saya itu hanya suatu kekenesan atau romantisme religius ala pemeluk Islam yang fanatik. Sedangkan tindakan Panitia Plonco itu adalah ‘seni tanpa dasar’ atau ‘agama tanpa sumber’ yang kemudian tenggelam di lumpur kenangan. Tetapi, tatkala saya ingat juga bagian masa silam yang lain, yakni ketika saya mencuri krai (semacam mentimun) di sawah sehabis pulang sekolah, saya berpikir lain jadinya. Perbuatan jahat saya itu ketahuan Ibu, dan beliau naik pitam. Saya dengan adik saya digiring ke rumah Mak Tun, pemilik krai itu, dan disuruh mohon ampun habis-habisan. “Quranmu jatuh dari ubun-ubunmu!” kata Ibu, “kamu harus membayar ongkosnya dengan nderes Quran tujuh kali khatam!” Saya pun malam itu nglembur baca Quran sampai tamat tujuh kali.
Saya terhenyak mengingat kenangan itu. Tiba-tiba saya punya pengalaman yang lain perihal mencium dan menyunggi Kitab Suci itu. Quran ternyata betul-betul bukan hanya sebiji buku. Quran ternyata adalah semacam keranjang amat besar yang di dalamnya terkandung krai, terkandung napas semua manusia, napas alam, napas dunia semesta.
Kalau Kitab Suci itu lepas dari tangan kita, entah karena terjatuh atau disengaja, misalnya dengan korupsi, melacur, mencuri duit iuran rakyat, memaksakan penggusuran rumah, menghukum orang lain yang tak bersalah sebagai ganti anak sendiri yang bersalah meledakkan pistol di jantung sahabatnya, memotong subsidi, pura-pura bikin proyek atas nama rakyat untuk memperoleh 10 persen plus nyadap sekian persen lagi, dan seterusnya, maka sangat masuk akal kalau Ibu lantas amat sedih dan menyuruh kita mencium dan nyunggi Quran di atas kepala. Apalagi kalau ternyata sang Kitab Suci itu sehari-harinya tersaruk-saruk di kaki kita, murung dan penuh debu, maka pasti Ibu pingsan, sehingga tak ada lagi yang menyuruh kita mencium Kitab Suci.
Kalau tiap hari sudah nyunggi Kitab Suci, tetapi tangannya tetap saja petakilan curi dan korupsi sana-sini, maka itu namanya dia tidak tahu malu kepada Kitab Suci itu dan kepada kepalanya sendiri yang sudah payah-payah nyunggi. Itu namanya rai gedeg, mirip kambing yang kencing di sembarang tempat. Kucing masih lebih terhormat karena dia kencing dan berak di tempat yang semestinya. Kepala yang setengah mati nyunggi Kitab Suci, bibir dengan mesra menciuminya, tapi kok sang perut saja yang dikasih perhatian berlebih. Sang perut yang selalu dapat dispensasi. Sang kepala dan bibir bisa sakit-hati, merasa tak diperlakukan secara adil, di anak-tirikan, tak dipikirkan nasibnya. Salah-salah dia bisa jadi ekstremis, anarkis, dan mulai menyukai teror.
Tetapi, kita memang harus berlindung kepada Tuhan dari orang-orang yang kepalanya pura-pura nyunggi Kitab Suci, yang bibirnya akting mencium-cipoki ayat-ayatnya; tetapi itu semata-mata demi persekongkolannya dengan sang perut, kemudian mereka nanti bagi hasil dari penipuan-penipuannya. Orang yang begini masih mendingan setan atau demit. Sebab hantu-hantu jahat itu tidak mungkin bisa jadi menteri, gubernur, bupati, kepala bagian keuangan, camat maupun lurah. Apalagi jadi presiden. Jadi istri presiden pun tak bisa. Mana ada wewe-gombel jadi istri presiden!
Ternyata hal cium-mencium Kitab Suci ini memang soal serius. Dulu saya bertanya ponggah: Ngapain sih mesti mencium kertas buram bertulisan Arab itu? Ngapain mencium benda keluaran percetakan? Ternyata itu karena saya menganggap saya mesti mencium Kitab Suci sebagaimana mencium pipi dan bibir si Neny. Ternyata waktu itu dalam hal cium mencium saya hanya tahu hasrat kegairahan fisik. Ya. Kenapa kok tidak mencium ruh.
Memang mencium fisik Quran makin lama makin terasa bau keringat, apak, karena sering dipakai. Sudah sobek-sobek dan nglokro. Tapi mencium ruhnya, sekarang dan nanti, esok dan lusa, minggu depan dan bulan berikut, makin semerbak kembang Quran selalu memberi pengalaman baru. Memberi rasa baru, rasa baru yang riil. Memberi kehidupan baru. Terus-menerus. Ayat-ayat Allah itu senantiasa lahir kembali di dalam diri kita. Kata orang lahir kembali dan lahir kembali itulah kehidupan. Selalu ada gerak. Dinamik. Progresif. Ritmik. Tak mandek. Tak jumud. Namanya saja ayat. Ayatullah, atau bisa dituliskan Ayatulloh. Tanda-tanda. Isyarat. Petunjuk. Suluh. Ilham. Inspirasi. Krenteg. Hanya satu ayat wujud fisiknya, tapi beratus ayat pengalaman dan kelahiran hidup yang dianugerahkannya. Itu asal dibaca terus. Dibaca setia. Didalami. Dieksplorasi. Diobservasi. Diamati. Diselidiki. Dipersepsi. Dirasai. Dititi.