“Kita Tahu Isi Pikiran Tuhan”
بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ(Al-Fatihah: 1-7)
Para ilmuwan kelas dunia itu semuanya adalah pejuang-pejuang ilmu yang bersungguh-sungguh. Mereka Mujtahidin, sehinggaa mereka juga Mujahidin. Jihad bermakna perjuangan menyeluruh, termasuk kemungkinan perjuangan fisik atau perang. Ijtihad adalah perjuangan kreativitas, aktivasi keilmuan, inovasi hingga invensi. Buah padi membutuhkan ratusan tahun diproses oleh ijtihad manusia sehingga menemukan dan menjadi nasi. Demikian juga hal-hal apa saja unsur-unsur alam: tanah, logam, udara, api, dan semuanya.
Itulah fadhilah Tuhan yang dianugerahkan kepada manusia sehingga ia mencapai level ahsanu taqwim. Sedemikian hebatnya manusia sampai-sampai ilmuwan super Inggris Stephen Hawking di puncak kesungguhannya sampai mengemukakan bahwa “Tidak perlu meminta Tuhan untuk mengatur bagaimana alam semesta bekerja”.
Kita tidak punya legacy dan ekspertasi, tidak berani serta tidak berniat membantah atau mengkritik pernyataan Hawking itu. Hanya saja kita mengetahui referensi yang berbeda dan kita mempercayainya.
Allah menggelari diri-Nya sebagai Rabbun, yang membuat kita biasa mengucapkan idiom Ilahi Rabbi, atas fakta bahwa Ia yang menciptakan alam semesta ini, mengatur atau menyusun aturan-aturannya dengan sunnah-Nya, menentukan sebab akibat dan susunan algoritmanya, merawatnya, menjaganya, sampai hal yang sekecil-kecilnya bahkan seremeh-remehnya.
Bahkan bayi tidak keluar dari Rahim Ibunya ke dunia dengan berangkat dari niat atau pengetahuannya yang membuat ia tahu lewat mana jalan keluarnya ke dunia. Juga tatkala bayi menyusu puting susu Ibunya, kita percaya itu adalah peristiwa Rububiyyah, peristiwa bimbingan, tuntunan, penginformasian oleh hidayah Tuhan.
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَسۡتَحۡيِۦٓ أَن يَضۡرِبَ مَثَلٗا مَّا بَعُوضَةٗ فَمَا فَوۡقَهَاۚ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ فَيَعۡلَمُونَ أَنَّهُ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّهِمۡۖ وَأَمَّا ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ فَيَقُولُونَ مَاذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِهَٰذَا مَثَلٗاۘ يُضِلُّ بِهِۦ كَثِيرٗا وَيَهۡدِي بِهِۦ كَثِيرٗاۚ وَمَا يُضِلُّ بِهِۦٓ إِلَّا ٱلۡفَٰسِقِينَ
“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: ‘Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?’ Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik”.
Kita tidak mau berbantah dengan siapapun tentang angin yang berhembus tidaklah karena iktikad angin itu sendiri. Juga segala mekanisme dalam peristiwa alam, keseimbangan dan disiplin putaran benda-benda langit termasuk tata surya di mana bumi kita menjadi satu “mesin” dengan matahari, planet-planet lain dan rembulan. Automasi berfungsinya miliaran saraf di otak kita atau triliunan sel-sel segala ragam jasad.
Bahkan manusia dikasih sunnatullah untuk tahu bahwa ia akan berhajat buang air kecil atau besar. Manusia tidak pernah mampu mengetahui semalam ia tidur jam berapa menit dan detik ke berapa. Di sebagian hal dan urusan manusia diberi peluang free-will, tapi selebihnya ia adalah objek automasi sunnatullah.
Fungsi Rububiyyah-nya Allah bahkan sampai ke level jaminan hidup bagi makhluk-makhuk-Nya, yang semuanya tidak mampu mengadakan atau menciptakan dirinya sendiri kecuali patuh kepada sunnatullah:
وَمَا مِن دَآبَّةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزۡقُهَا
وَيَعۡلَمُمُسۡتَقَرَّهَا وَمُسۡتَوۡدَعَهَاۚ كُلّٞ فِي كِتَٰبٖ مُّبِينٖ
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allahlah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Hud: 6)
يَسَۡٔلُهُۥ مَن فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ كُلَّ يَوۡمٍ هُوَ فِي شَأۡنٖ
“Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” (Ar Rahman 29)
Kita bisa mengasumsikan bahwa pernyataan berikut ini hanyalah “klaim” Allah. Di rentang jarak antara kita dengan klaim Allah itu hanya bisa ditempuh dengan iman kemudian syahadah. Percaya hingga mempersaksikan.
Ketika Pak Hawking menyatakan “Tidak perlu meminta Tuhan untuk mengatur bagaimana alam semesta bekerja”, kita tidak membantah atau menyalahkan. Kita sekadar bisa merespons bahwa memang seluruh alam-alam semesta ini hingga diri kita, bahkan sampai adanya cacing-cacing hingga bakteri-bakteri terkecil, semua sampai yang mikro dan nano — tidak siapapun pernah meminta kepada Tuhan untuk menciptakannya. Salah satu sebabnya adalah: kalau mereka tidak ada atau belum ada atau belum diadakan alias belum diciptakan, bagaimana mungkin mereka meminta.
Bahkan wawancara Allah dengan setiap Janin di Tadabbur sebelum ini, tidak mungkin berlangsung kalau Janin tidak terlebih dulu diciptakan.
Tetapi kita tetap membuka diri untuk mendengarkan kesungguhan Mr. Hawking menyatakan lebih lanjut: “Jika kita memenemukan teori yang lengkap, itu akan jadi kemenangan tertinggi manusia karena dengan demikian kita tahu isi pikiran Tuhan”.
Kita jadi mengerti, manusia modern terutama ilmuwan memang manusia super sehingga berani dan mampu mengucaplan “kemenangan manusia” atau
“kita tahu isi pikiran Tuhan”.
Emha Ainun Nadjib
19 Juni 2023.