KIAIKANJENG, Terus Berjalan, dan Terus Berjalan
Konser KiaiKanjeng, 22 tahun lalu di Tennis Indoor Senayan, tahun 2001, tepat setahun berjalannya acara Kenduri Cinta, 2000, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, sehingga Konser Gamelan KiaiKanjeng pun dinamai ”Konser Kenduri Cinta”.
Adalah Candramawa Production yang menghelat acara besar ini yang dirancang dengan sangat terencana. Pengarah acara oleh Naratama sebagai sutradara, perancang busana dipercayakan kepada desainer hebat, Aji Notonegoro. Sementara Gamelan KiaiKanjeng dimainkan secara orkestra. Gamelan Orchrestra KiaiKanjeng, dengan 100 lebih player, vocalis, koor dan sinden. Selain anggota KiaiKanjeng, Cak Nun dan Bu Novia, didukung pula oleh seniman-seniman muda dan mahasiswa ISI Yogyakarta.
Konser Kenduri Cinta, bukan kali pertama perform bagi KiaiKanjeng. Pada tahun 1995, KiaiKanjeng tampil pada pembukaan JakJazz Festival bersama Dwiki Dharmawan Orchestra. Pada tahun-tahun berikutnya, tour 6 kota di Mesir (2003), Malaysia (2003, 2005, 2006), Inggris (6 kota, 2004), Skotlandia (serangkai dengan Jerman dan Italia, 2005), Finlandia (2006), Hong Kong (2007), Belanda (2009) dan Abu Dabi (2009), Indonesian Jass Festival (2013) dan Maroko (2013).
Sebagai pengantar bahwa eksplorasi musik KiaiKanjeng hampir tidak membatasi dirinya pada jenis atau aliran musik tertentu, karena secara musikal Gamelan KiaiKanjeng memiliki berbagai kemungkinan. Outputnya adalah pengembaraan karya yang sangat beragam; dari eksplorasi musik tradisional Jawa, Sriwijaya, Bali, Sunda, Melayu dan Cina, termasuk penggalian dari berbagai etnik lain seperti Madura, Mandar, Bugis dan lainnya. Gamelan KiaiKanjeng juga tidak menutup dirinya untuk memainkan nomer-nomer barat modern seperti Pop, Blues, Jazz, Rock, bahkan genre musik Arabic; sehingga tepatlah aliran musik KiaiKanjeng disebut sebagai musik dunia (World Music).
Bebunyian bilah-bilah besi dipukul secara ritmik membentuk nada-nada melodius, menggantikan petikan qanun. Disusul dengan gesekan biola, tiupan seruling bambu dan pukulan darbuka. Lagu Al Athlal milik Umi Kultsum dinyanyikan secara bergantian oleh Zainul, Yuli, Nia dan Islamiyanto.
Coba kita nikmati blending genre musik yang beda dari KiaiKanjeng. Diawali dengan ketukan demung secara ritmis, nada-nada membentuk lagu milik Rod Stewart, Sailing; I am sailing, I am sailing. Home again, ‘cross the sea. I am sailing stormy waters. To be near you, to be free. Jalinan musik teranyam dengan indahnya. Kemudian disambung dengan Shalatullah, shalamullah, tanpa mengubah irama yang sudah terbentuk. Paduan nada-nada barat menyambung tanpa cela dengan alunan shalawat.
Generasi Maiyah, akan melihat bahwa KiaiKanjeng dengan Cak Nun, dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Telah banyak karya kolaborasi musik-puisi yang telah dihasilkan dalam bentuk album kaset, vcd, cd dan platform musik seperti spotify, apple music, youtube dan seterusnya. Pengajian Cak Nun, dua puluh tahun terakhir, tanpa henti berkelililng ke kampung-kampung di seluruh wilayah Indonesia, yang bahkan para pejabat pun belum pernah melakukannya. Sedekah dakwah Cak Nun terasa lebih safe bersama KiaiKanjeng.
Hal yang sama antara KiaiKanjeng dengan Novi Budianto. Bukanlah KiaiKanjeng tanpa adanya Novi Budianto. Juga dua sisi mata uang, Novi Budianto-KiaiKanjeng. Gamelan KiaiKanjeng, awalnya bukanlah sebuah nama grup musik, melainkan nama sebuah konsep nada pada alat musik “tradisional” gamelan yang diciptakan oleh Novi Budianto.
Teater Dinasti
Mari kita menilik ke belakang. Adalah Tertib Suratmo, seorang anggota Bengkel Teater, berinisiasi melatih anak-anak remaja untuk berkesenian di Aula RK (Rukun Kampung) Dipowinatan. Berlatih teater dan bermain musik. Terbentuklah Teater Dipo dengan iringan musik Karawitan Dipo. Dari Kampung Dipowinatan lahirlah seniman-seniman besar: Novi Budianto, Joko Kamto, Jemek Supardi, Vincensius Dwimawan.
Di sisi lain, beberapa mantan anggota Bengkel Teater merasa gelisah, mereka antara lain, Azwar AN, Gajah Abiyoso, Fajar Suharno; kemudian membentuk sebuah teater baru, yakni Teater Dinasti. Diikuti anggota-anggota baru yang lain: Simon HT, Cak Nun, Eko Winardi, Agus Istiyanto, Halim HD, Indra Tranggono, Isti Nugroho dan lain-lain. Sementara anggota Teater Dipo ikut bergabung dalam Teater Dinast, yakni: Joko Kamto, Novi Budianto, Jemek Supardi, Godor, SiUs dan yang lainnya. Keanggotaan Teater Dinasti dari berbagai kalangan, sangat beragam, baik intelektual, aktivis mahasiswa, LSM, pengusaha, penyair, pencopet, tukang parkir, maupun pengangguran.
Rentang waktu 1970-1980-an, Teater Dinasti boleh dikatakan menjadi satu-satunya teater yang sangat produktif. Dikenal sebagai kelompok teater yang konsisten terhadap pilihan sikap kepedulian sosial dan budaya. Oleh karena itu naskah drama yang dipentaskan adalah hasil pergulatan konsep teater pembebasan yang dikerjakan secara kolektif dan atau mementaskan naskah sendiri. Tema-tema yang diangkat merupakan isu-isu sosial politik yang sedang hangat kala itu. Para penulis naskah dikenal sebagai seniman atau penyair yang sudah dikenal secara luas, sebutlah: Cak Nun, Fajar Suharno, Gajah Abiyoso, Simon HT, Yamawidura, Agus Istiyanto; dengan judul-judul: Dinasti Mataram, Geger Wong Ngoyak Macan, Patung Kekasih, Sepatu Nomor Satu, Sosok Diam di Kandang Bobrok, Keajaiban Lik Par, Calon Drs Mul, Mas Dukun.
Musik Puisi
Kelompok Teater Dinasti bukan sekedar sanggar kesenian. Pertemuan para anggota diisi dengan diskusi, pengkajian dan sharing berbagai hal yang menjadi perhatian para akademisi dan aktivis, yakni: sosial, politik, kebudayaan, filsafat dan ideologi-ideologi pembebasan. Bahkan kelompok teater ini, secara berkala menerbitkan buletin kebudayaan: Refleksi.
Selain mementaskan naskah-naskah drama, Teater Dinasti disebut merupakan pionir untuk pementasan Musik Puisi. Sebuah proses pembacaan puisi, kemudian ditambah dengan elemen tetabuhan musik. Tak terhitung kali, puisi-puisi Cak Nun dibacakan dalam Musik Puisi bersama Karawitan Dinasti.
Gamelan KiaiKanjeng
Proyek Orde Baru, membangun Waduk Kedung Ombo yang menenggelamkan 37 desa dan 7 kecamatan pada 3 kabupaten: Grobogan, Sragen dan Boyolali. Kedungombo merupakan salah watu waduk terbesar di Indonesia yang dibangun pada 1985. Pembangunan Waduk Kedungombo menyisakan luka bagi warga sekitar yang lahannya tergenang air. Salah seorang korban bernama Pak Jenggot yang kala itu masih bertahan tidak mau pindah, mengisahkannya kepada Cak Nun. Kemudian Cak Nun merespons dengan menulis naskah monolog sebagai bentuk kritik terhadap penguasa Orde Baru yang bertindak semena-mena terhadap rakyat kecil, yang hak-haknya ditindas demi pembangunan Orde Baru.
Naskah Monolog dengan judul Pak Kanjeng diperankan oleh tiga orang aktor yang sukses dipentaskan di Purna Budaya Yogyakarta, pada medio 1993. Pementasan tersebut dipersiapkan oleh Komunitas Pak Kanjeng. Komunitas Pak Kanjeng adalah laboratorium budaya. Komunitas Pak Kanjeng menjadi pelopor penggunaan kata “komunitas” untuk sebuah perkumpulan di Indonesia–dan di kemudian hari bermetamorfosa menjadi Gamelan KiaiKanjeng (1994). Adalah Cak Nun, Toto Raharjo dan Novi Budianto disebut sebagai pendiri KiaiKanjeng.
29 tahun kemudian, 2023, KiaiKanjeng masih tetap eksis, dengan player dan vokalis: Novi Budianto, Joko Kamto, Azied Dewa, Joko SP, Bayu Kuncoro, Giyanta, Ari Sumarsono, Bobiet, Yoyok, Agus Pathub, Novan, Imam Fatawi, Yuli Astuti, Nia, Islami dan teranyar Fakih putera dari almarhum Zainul memberi warna baru pada jajaran vokalis.
Pekan ini, pada Sabtu, 21 Oktober 2023, KiaiKanjeng akan tampil kembali di Kenduri Cinta. Semoga menjadi oase di panasnya suhu perpolitikan Indonesia menjelang Pilpres 2024.